Bila FOSPI Menjadi Pwk-Persis

Oleh: Arif Rahman Hakim
Pada tahun ini, Persis genap menginjak usianya yang ke delapan puluh. Usia yang sudah bisa dibilang tua. Meski sarat umur, organisasi yang lahir pada 12 September 1923 ini, bisa dibilang masih tetap kalah besarnya dengan ormas yang serupa dan sewarna yaitu Muhamadiyah dan NU. Hal ini selain disebabkan karena Persis sebagai ormas Islam yang tidak terlalu mementingkan kuantitas (lebih mementingkan kualitas) juga karena visi dan misinya yang agak berbeda dengan ormas Islam lainnya. Kalau Muhamadiyah condong kepada upaya peningkatan sosial masyarakat dan NU lebih kepada gerakan kultur masyarakat, maka Persis lebih condong kepada upaya pemurnian kembali akidah dan ibadah mayarakat yang sudah terkontaminasi oleh penyakit syirik dan bid'ah. Kendati kecil, Persis tidak bisa dipandang sebelah mata, buktinya organisasi yang sudah memiliki 230 cabang ini sering dilirik oleh orpol-orpol yang ada. Tidak hanya itu, malah sudah banyak ketua orpol yang datang meramal Persis agar bersedia menjadi pendukungnya. Ini menunjukkan bahwa peran persis di panggung politik khususnya patut diperhitungkan.
Organisasi yang besar, dalam menjaga eksistensinya, tentulah tidak lepas dari upaya melakukan regenerasi dan kaderisasi guna mencapai visi dan misi yang diembannya. Karena visi dan misi yang harus dicapai, tentu tidak langsung tercapai dengan mudah dan dalam waktu yang sebentar. Tetapi memerlukan tenaga yang ekstra dan waktu yang lama. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi kewajiban itu lebih banyak dari waktu yang tersedia.
Tujuan yang dicita-citakan para founding father organisasi tidak bisa langsung dicapai oleh mereka, akan tetapi memerlukan perjuangan yang kontinyu. Di sinilah pentingnya regenerasi dan kaderisasi digalakan. Hal tersebut tiada lain untuk membina para pewaris organisasi yang akan meneruskan perjuangan selanjutnya. Semakin bertambahnya umur sebuah organisasi dengan diiringi berbagai kemajuan, menunjukkan keberhasilan para pendahulu organisasi dalam mengadakan regenerasi dan kaderisasi.
Persis sebagai ormas yang konsen bergerak di bidang dakwah dan tarbiyah –yang mana dakwah dan tarbiyah merupakan proses yang memerlukan estafeta usaha yang kontinyu- memandang penting regenerasi dan kaderisasi yang intensif. Agar melahirkan para penerus yang mampu mengejewantahkan visi, misi dan falsafah organisasi sekaligus mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap perjuangan Persis.
Berbicara mengenai regenerasi, Persis sebenarnya sudah memiliki sarana yang mengarah ke sana. Banyaknya pesantren yang tersebar di setiap pelosok daerah yang ada di Indonesia merupakan sarana yang tepat untuk menggalakan usaha regenerasi guna melahirkan kader-kadernya yang tangguh dan berloyalitas tinggi. Pasalnya, santri-santri yang menuntut ilmu di pesantren-pesantren tersebut adalah benih-benih segar yang siap dipetik buahnya di kemudian hari. Dan sekarang semuanya tinggal bergantung pada usaha Persis itu sendiri, sejauh mana keseriusan dan keintensifan dalam upaya melakukan proses regenerasi tersebut.
Terlebih kini, melihat animo banyaknya santri-santri lulusan pesantren Persis yang meneruskan studi ke perguruan-perguruan tinggi baik itu perguruan tinggi Islam maupun umum seharusnya merupakan fenomena yang sangat menguntungkan. Karena di sini terlihat kesadaran kader-kader Persis untuk terus meningkatkan citra diri masing-masing dan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kinerja masing-masing dalam menyelesaikan tugas-tugas yang akan diembannya nanti. Tapi sayang, kenyataan justru berkata lain. Tidak sedikit para lulusan pesantren Persis yang telah menamatkan studinya lebih memilih aktif di organisasi lain atau malah membuat yayasan sendiri, seolah kacang lupa kulitnya. Kelemahan dan kekurangan dalam tubuh Persis yang selama ini berhasil terditeksi oleh mereka, bukan semakin menyadarkan mereka untuk kembali ke rumah dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, akan tetapi malah asyik mencari dan memilih rumah yang baru.
Nampaknya ikatan yang dibangun selama mereka menuntut ilmu di pesantren hanya sebatas menjalani pendidikan saja, selepas itu ma'as salamah. Atau barangkali diakibatkan kekurang-pekaan pesantren-pesantren tersebut dalam memposisikan dirinya sebagai sarana untuk mentransformasikan visi dan misi organisasi Persis kepada para santrinya. Tentu hal ini sangat disayangkan.
Deskripsi fenomena di atas sekedar pengantar untuk memberikan gambaran yang jelas dan utuh kenapa FOSPI (Forum Silaturahmi Persatuan Islam) sebagai sebuah wadah para santri alumni Pesantren Persis yang sedang melanjutkan studinya di timur tengah khususnya Mesir, berkeinginan untuk merubah statusnya menjadi Perwakilan Pimpinan Pusat PERSIS Mesir, setelah hampir tujuh tahun baru menjalin hubungan sebatas link moral an sich dengan PP. Persis di Indonesia.
FOSPI menjadi Pwk-Persis?
Semakin banyaknya alumni pesantren Persis yang meneruskan studinya ke Mesir, merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Persis, sekaligus harapan di masa depan memiliki kader-kader yang sedang mematangkan intelektualitasnya di negeri orang.
Tetapi kebahagiaan itu bisa saja sirna dan harapan akan pupus, ketika justru para kadernya tidak merasa dirinya sebagai kader dan organisasinya sendiri tidak mampu memanfatkan potensi yang ada. Karena tidak adanya hubungan secara sturktural dan sistem dengan Persis sendiri. Maka tidak aneh kalau di antara jebolan timur tengah asal Persis tidak kembali ke "rumah" karena merasa tidak punya hubungan apa-apa dengan Persis.
FOSPI yang bertujuan ingin menghimpun dan menjadi wadah bagi para alumni pesantren Persis yang sedang meneruskan sekolahnya di Mesir agar bisa menyambungkan jalur hubungan antara mereka dengan Persis, agar mereka merasa sebagai kader Persis yang harus kembali ke "rumah" untuk membenahi dan mamajukannya. Tetapi hal itu kurang dirasakan hasilnya karena selama ini hubungan FOSPI dengan Persis tak lebih dari hubungan emosional belaka yang bisa pasang dan surut sesuai keadaan hati masing-masing. Jadi tujuan untuk membangun sebuah jembatan itu tiada lain untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan yang kita harapkan.
Maka diperlukan adanya jembatan yang lebih kuat dan permanen untuk bisa menghubungkan para lulusan mesir ini dengan Persis. yaitu dengan membangun hubungan yang bersifat struktural dan berdasarkan kepada sistem yang berlaku di Persis. Bukan hanya sebatas hubungan emosional belaka. Maka menjadi harapan kita bersama setelah FOSPI meresmikan dirinya menjadi sebuah jembatan permanen secara struktural ke Persis dalam bentuk organisasi perwakilan Persis di Mesir, benar-benar bisa menciptakan kader-kader Persis yang unggul yang ingat pulang ke "rumah" untuk membangun dan memajukannya.
Tetapi tentu itu harus diawali dengan perencanaan yang matang, dilaksanakan dengan pengawasan yang jeli dan tentunya evaluasi yang teliti. Melalui konsep pengkaderan yang jelas tentunya kita bisa membangun jembatan yang kita harapkan bersama itu.
Kita sebagai duta Persis di sini setelah resmi dilamar haruslah semakin bersifat dewasa. Karena sekarang kita bertindak bukan atas nama sendiri tapi atas nama "bapak" kita. Dan itu merupakan tanggung jawab yang besar yang harus kita junjung tinggi.
Perannya sebagai duta Persis mudah-mudahan bisa diusung dengan sebaik-baiknya. Mengadakan hubungan diplomasi dengan KBRI sebagai wakil negara di sini dan membangun hubungan kerja sama dengan institusi-institusi islam yang memiliki tujuan yang sama di Mesir ini.
Mudah-mudahan setelah resminya FOSPI beralih status menjadi Pwk. Persis Mesir bisa melaksanakan amanah sesuai dengan tujuan dijalinnya hubungan stuktural dengan Persis, yaitu menjadi sarana untuk regenerasi dan kaderisasi yang benar-benar disadari oleh semua anggota serta menjadi duta Persis di wilayah Timur Tengah khususnya Mesir. Amin. [F]
<< Home