11 June 2007

Ketika Hedonisme Merambah Kaum Hawa

Oleh: Rahimah

Hedonisme ialah sebuah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi merupakan tujuan utama dalam hidup. Secara naluriah, manusia tercipta dengan kecenderungan yang sama, yaitu mencintai sesuatu yang menyenangkan (ali-Imran :14). Mustofa Bisri, dalam tulisannya yang berjudul "Gebyar Iming-ming itu Ujian" mengatakan bahwa di antara perangai dasar manusia adalah memiliki kecenderungan untuk hidup berlebih-lebihan, serba mewah, egois dan pelupa. Sebuah kecenderungan untuk menikmati kesenangan hidup di dunia adalah suatu keniscayaan. Bertolak dari hal ini maka bukanlah suatu yang aneh jika objek yang menjadi sasaran dari budaya hedonisme adalah manusia, terutama komunitas kaum hawa. Adanya pengkhususan ini tentu berdasarkan fakta yang real dan tidak dapat dipungkiri siapapun.

Pemerhati pusat-pusat perbelanjaan pasti akan mengatakan bahwa mayoritas pengunjung tempat tersebut adalah perempuan. Bagaimana tidak? Kebutuhan perempuan terhadap materi memang sangat banyak. Hal tersebut merupakan salah satu implikasi dari media elektronik yang selalu menampilkan kehidupan matrealis baik dari sinetron ataupun iklan. Setiap hari selalu saja ada barang-barang dengan model terbaru yang membuat ‘gatal’ tangan perempuan, ingin segera memilikinya. "Hah, kok uangku tinggal segini lagi, sih ???” ujar seorang perempuan yang baru selesai belanja dari supermarket seolah baru menyadari bahwa ia telah menghabiskan uang yang banyak dengan membeli barang-barang yang barangkali kurang begitu diperlukan, hanya disebabkan tergiur dengan beberapa model barang keluaran teranyar. "Aduh kayaknya aku harus ganti hp deh, abis modelnya udah kuno, sih!" Begitulah kira-kira ungkapan yang dilontarkan mayoritas kaum hawa korban iklan hingga membawanya pada kehidupan yang menghambakan materi. Sepertinya fenomena ini sudah dianggap biasa di kalangan kita. Salahkah? Barometer kita untuk mengukur hal tersebut tentunya kembali kepada ajaran Islam.

Islam sebagai ajaran yang sempurna tentu memiliki jawaban terhadap pertanyaan di atas. Fenomena kecenderungan wanita yang berlebihan terhadap materi (sophaholic) termasuk kepada perbuatan yang tidak bermanfaat. Sementara al-Quran sendiri telah melarang perbuatan tersebut dengan jelas dan mengkategorikannya sebagai perbuatan syaitan (al-Isra' 26-27). Syaitan telah mengikrarkan janjinya kepada Allah bahwa ia akan senantiasa menggoda, melalaikan dan menjerumuskan manusia dengan cara apapun, termasuk melalui hawa nafsu (keinginan). Kita semua tentu ingat dengan suatu ayat yang mengisahkan tentang sebagian istri Rasulullah yang meminta tambahan nafkah, kemudian Rasulullah menyodorkan dua pilihan kepada mereka; kehidupan dunia yang berimplikasi kepada perpisahan (cerai) mereka dengan Rasul atau memilih Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi mereka menyatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya lah yang mereka pilih. Dari kasus ini kita dapat melihat dua realita; Pertama, kecenderungan wanita yang menginginkan sesuatu yang lebih. Mungkin hal ini dijadikan dalih atau alasan oleh sebagian wanita dengan mengatakan "Tuh kan, istri nabi juga kayak gitu...". Tapi, pernyataan ini dapat terjawab dengan realita kedua yang kita ambil dari kasus di atas yaitu ketaatan seorang wanita yang menyadari kekeliruannya dengan segera kembali pada komitmen awal.

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa hedonisme seolah telah membudaya di kalangan masyarakat. Sementara tragedi tsunami dan musibah-musibah lainnya masih menyisakan kisah lara yang menanti uluran tangan kita. Lantas bagaimana untuk mengatasi budaya yang sudah membumi ini? Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan, diantaranya; satu, meyakini bahwa standar kesuksesan tidak terletak pada materi, namun iman dan takwalah yang menjadi standar. Dua, tanamkan bahwa surga itu hanya dapat diperoleh dengan ibadah yang benar bukan dengan setumpuk harta. Tiga, bedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta kendalikan nafsu untuk tidak membeli barang yang tidak dibutuhkan. Empat, buatlah prioritas atau aulawiyat untuk menentukan sesuatu yang harus dibeli dan yang harus ditangguhkan. Lima, hindari tontonan sinetron atau iklan yang berbau hedonis. Enam, membuat daftar barang yang akan dibeli sebelum berbelanja untuk menghindari pemborosan atau salah membeli. Tujuh, meningkatkan tsaqofah Islam, sehingga harta lebih yang dimiliki digunakan untuk hal-hal yang Allah ridhai.

Hal ini bukan berarti kita membunuh segala keinginan duniawi yang timbul dari jiwa kita. Namun hendaklah kita bersikap proporsional dan sesuai dengan kebutuhan. Bagi orang-orang ‘elit’ (ekonomi sulit), sikap proporsional tersebut barangkali bukanlah suatu hal yang sulit untuk dilaplikasikan. Tapi, akan menjadi sebaliknya bagi orang-orang yang merasa memiliki harta berlimpah ruah. Satu hal yang perlu kita ingat kembali bahwa harta yang dimiliki akan dipertanggungjawabkan. Tidak hanya sumber harta tersebut, namun penggunaannya pun akan dipertanyakan.

Umat Islam memiliki seorang figur yang patut dijadikan teladan. Seorang wanita agung, saudagar kaya, siapa lagi kalau bukan Khadijah binti Khuwailid. Beliau meyakini bahwa harta yang dimilikinya adalah titipan Allah yang akan dipertanyakan. Sehingga hartanya digunakan untuk mendukung perjuangan Rasulullah dalam berdakwah. Begitupun dengan Asma binti Abu Bakar, beliau memilih Zubair sebagai pendamping hidup, semata-mata karena ketakwaan yang dimilikinya. Bukan karena materi. Kita juga mengenal Siti Hajar, dengan bayinya yang baru lahir beliau rela ditinggalkan suami tercinta di padang pasir yang tandus tanpa dibekali materi sedikit pun, karena beliau tahu bahwa yang dilakukan suaminya adalah perintah Allah. Subhanallah, betapa tangguhnya keyakinan mereka terhadap janji Allah. Keqana`ahan yang dimiliki mampu mengabadikan dan mengharumkan nama mereka dalam sejarah. Lantas aina nahnu minhunn?

Dalam kehidupan, wanita memiliki peran yang cukup signifikan. Dari mulai ruang lingkup terkecil yaitu keluarga, kemudian masyarakat, sampai kepada ruang lingkup negara. Dalam keluarga ia ibarat kendali yang mampu menentukan arah. Ia berpeluang besar untuk mengarahkan suami dan anak-anaknya menjadi orang yang mulia lagi terhormat. Begitupun sebaliknya, tindakan korupsi dan kolusi yang terjadi, acap kali disebabkan desakan dari seorang istri. Namun, satu hal yang harus dibarisbawahi bahwa dalam perjalanan melawan hedonisme, qawwamah seorang laki-laki sangat berperan. Fenomena ini sejatinya menjadi tantangan juga bagi kaum Adam agar selalu meningkatkan tsaqafah sehingga ia benar-benar menjadi qawwam yang mampu mengarahkan pada kehidupan yang Allah ridhai.

Sejenak kita merenung, mengingat bahkan turut merasakan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina, Libanon, dan belahan bumi yang lain. Betapa sulitnya mencari sesuap makanan untuk mengganjal perutnya yang lapar, atau mungkin benaknya sudah tidak sempat memikirkan hal itu lagi, atau barangkali kerabat dan tetangga terdekat kita sudah seharian menahan lapar sementara kita sibuk mendata hal-hal yang sama sekali tidak dibutuhkan. Tidakkah nurani kita tergerak?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com