03 March 2007

Ada Apa Dengan PERSIS ?

Otokritik Peran Kader Persis, Menjelang Muktamar 2005


Oleh : Teguh A. Deswandi

Suatu hari, saya akan melanjutkan sekolah kejenjang menengah Atas. Saat itu saya harus memilih kira-kira sekolah mana yang mampu memberikan pendidikan bagus dan menelorkan output berkapabelitas tinggi. Apakah saya akan masuk sekolah umum dengan ragam aktivitas non-formal dan tawurannya? Atau malah masuk sekolah Islam (Baca: Pesantren) pilihan orangtua yang marak dengan nuansa religinya; Muthala'ah dan alunan musik Gambus?

Dengan desakan orangtua dan teori Maslahah yang sempat saya dengar dari seorang kyai dikampung, akhirnya saya masuk pesantren. Kendati bayangan "Santri Budug" sempat memadati cakrawala pikiran saya saat itu, namun dengan cepat hilang setelah saya memasuki komunitas santri dengan aneka ilmu yang diajarkannya. Belakangan saya bangga masuk pesantren dan saya yakin pesantren PERSIS dimanapun, mampu menciptakan kader pembaharu sebagaimana slogan PERSIS, sebagai organisasi Pembaharu.

***

Dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini, orang sudah disibukan dengan kebiasaan fragmatis dalam bertindak, terlebih sikap elite yang memiliki syahwat kuasa dan oportunisme bertegangan tinggi. Kekeruhan alam pikiran dan mentalitas para pimpinan masyarakat terdidik itu, seakan menjadi instrument pendidikan yang Amburadul, kehidupan hedonis, oportunisme dan penyakit-penyakit sosial lainnya. Hingga tatanan masyarakat menjadi tidak seimbang, mulai dari ekonomi yang carut-marut, taraf kemiskinan mencapai 32 Juta jiwa, pengangguran dimana-mana, kubangan kejumudan menggenang luas dan lebih sadisnya nilai-nilai esensi Islam berubah menjadi makna simbolik yang diusung bangga.

Dengan kondisi seperti ini, masyarakat sudah mulai tertarik dan menoleh pada gerakan-gerakan kultural yang juga menyentuh dimensi intelektualnya. Gerakan pencerahan yang diusung oleh Persatuan Islam, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, LSM-LSM dan lain sebagainya, merupakan alternatif yang diharapkan mampu mengobati penyakit-penyakit sosial yang telah akut menimpa bangsa kita. Ada semacam oase ditengah kegersangan moral masyarakat Indonesia. Hal ini akan mampu menciptakan tempat berlabuh bagi harapan-harapan rakyat yang meredup. Namun gerakan pencerahan ini tentunya harus mampu menyentuh sampai wilayah nyata di pelataran rumput. Untuk masuk ke wilayah aksi kemasyarakatan itu, memerlukan –meminjam istilah Haedar Nasir- gerak pergumulan yang panjang dan berkeringat lumpur layaknya perjuangan petani dan nelayan.

Persatuan Islam (Persis) adalah organisasi Islam yang juga memiliki agenda kesejahteraan ummat sesuai dengan koridor kalam Ilahi dan pesan-pesan profetik (kenabian). Selain itu Persis adalah salah-satu organisasi Islam yang mengklaim sebagai Ormas pembaharu dengan segala pencerahan diberbagai lini (revolusioner-radikalisme) yang akan merubah masyarakat sampai akar-akarnya, namun pencerahan ini lebih di titikberatkan kepada gerakan pemurnian akidah dan kebenaran ibadah sesuai dengan koridor diatas, meski organisasi lain pun (baca; Ormas Islam) mengklaim bahwa ritual aplikatif hasil ijtihadi mereka sesuai dengan tuntutan Islam. Disinilah letak stagnan-nya Persis yang lebih enjoy untuk terus berputar dalam masalah debatable (ikhtilafiyah). Sehingga tidak aneh jika dunia pendidikan dalam kacamata Persis harus terus berkutat pada masalah fikih praktis (fikih oriented). Dan substansi dari nilai pembaharuannya kini seolah pudar dimakan rayap.

Dunia pendidikan Persis seakan lupa atau mungkin tak mau tahu (apatis), bahwa pembaharuan dalam konteks Islam adalah mengsinkronisasikan tranformasi budaya manusia yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan juga memperhatikan nilai-nilai kekinian (al-mu’âshirah). Yang akhirnya dapat dirasakan oleh banyak manusia dalam memenuhi hajatnya. Paradigma dari pemahaman agen pembaharu tentang pembaharuan ini –menurut subjektivitas penulis- perlu dikaji ulang. Ceramah, dan dakwah saja untuk saat ini tidak cukup, zaman sudah berubah, kejayaan dalam memberantas TBC (takhayul, bid'ah, churafat) sudah menjadi nyanyian masa lalu. Yang perlu diperhatikan kini adalah bagaimana Persis menanggulangi krisis moral masyarakat, bagaimana Persis mampu memberikan sumbangsih pemikiran dalam dunia pendidikan nasional, dan bagaimana Persis dapat mengelola para alumni pesantren Persis dengan bijak dengan menghilangkan sikap skeptis akan kadernya yang 'berjuang' di luar koridor Persis.

Hemat penulis, tiga permasalahan diatas adalah agenda mendesak Persis untuk segera ditindaklanjuti. Bagaimana Persis akan membangun masyarakat yang bersih dan sejahtera jika moral setiap 'warganya' masih dipertanyakan. Nampaknya dalam 'otak' Persis kekuatan moral (moral force) masih diberikan porsi setengah atau malah mengalami marginalisasi dibandingkan dengan porsi fikih yang harus mumtaz dan seragam dalam satu wadah yang plural. Sehingga wajar jika banyak komunitas Mutafaqihu fii ad-Dien namun moralnya masih tidak mencerminkan seorang fakih dalam agama. Mengenai pendidikan, seharusnya Persis dapat melahirkan kader-kader berkualitas (bukankah Persis lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas?). Hampir setiap tahunnya lembaga pendidikan Persis yang dibumbuhi dengan nomor urut ini mampu mencetak ratusan alumnus. Sebuah kekuatan besar yang kiranya dapat meloloskan Persis dari status lost contribution dalam kancah pendidikan nasional dan mampu bersaing dengan alumni lainnya. Namun kenyataannya, percaya atau tidak, suka ataupun tidak suka, pendidikan Persis masih jauh tertinggal dari yang lain. Terlebih jika dilihat output hasil 'godokan' mesin cetak (pesantren) Persis masih kurang berkualitas –jika tidak ingin dikatakan buruk-. Sebab kualitas sebuah lembaga pendidikan akan dilihat pada proses final dalam melahirkan output. Lebih miris lagi, setelah tumbuh generasi penerus berkualitas made in Persis, bukan malah dijadikan 'Bumper' kebobrokan yang terjadi dalam tubuh Persis. Mereka malah menjadi sebuah 'mimpi buruk' yang akan membawa Persis ke jurang inklusifitas. Potensi yang berada di pundak mereka seolah semu jika dipandang tidak sesuai dengan kacamata pergerakan Persis. Sehingga tidak sedikit alumni Persis yang 'tercerahkan' lebih tertarik untuk mengaktualisasikan hasil perjalanan intelektualnya ke organisasi yang lebih bisa mewadahi dan menerima mereka. Sejatinya Persis sadar bahwa perbedaan dalam pelbagai hal adalah sebuah keniscayaan. Bukankah alunan musik dari beragam alat musik jika disinergikan akan menimbulkan suara yang merdu? Bukankah benang yang berbeda warna jika disulam dengan baik akan menghasilkan kain yang indah?.

Dalam hal ini pesantren Persis memiliki peran yang sangat vital dalam mencetak generasi Persis berkualitas. Namun penggodokan intelektual dalam pesantren bukan semata mengharapkan timbalan jasa guna berbakti kembali pada pesantren. Masih banyak pos-pos kosong dalam tubuh Persis yang belum tersentuh. Dalam hal ini, tidak semestinya pesantren memaksakan seluruh alumnusnya harus kembali ke pesantren. Cibiran dan ungkapan sinis dari pihak pesantren untuk alumni yang tidak kembali ke Pesantren harus mulai diminimalisir. Penulis yakin tanpa dokrin pun, alumnus tidak akan melupakan 'labotarium intelektual' yang telah menancap dalam sanubari anak didik. Sehingga beragam potensi yang dimiliki alumnus pesantren Persis dapat dimanfaatkan bukan hanya di sektor pesantren, namun bisa dirasakan secara merata dan proporsional.

Belum lama ini Persis mengukuhkan perwakilannya di Mesir, tentunya Pwk. Persis Mesir adalah wujudan organisasi yang mewakili wajah Persis sesungguhnya. Mari kita jadikan perwakilan ini sebagai labotarium intelektual jilid II yang membuang sikap apriori akan perbedaan. Dengan perbedaan kita bisa membangun kembali bangunan tua yang sudah mulai berjamur dan berlumut.

***

Ternyata kebanggaan saya memasuki pesantren salah, apa yang saya prediksikan bertolak belakang dari kenyataan. Ekpresi diri terkekang, kejumudan merasuk dan menggigit tulang, dan akhirnya saya harus menunggu beberapa tahun dari keterpurukan ini. Padahal saya sudah memilih dengan pemahaman dan parameter-parameter Islam, konsep maslahah nampaknya tidak sesuai dalam konteks ini.

Namun buru-buru saya menyadari, bahwa pilihan saya memang salah. Salah dalam arti prediksi saya tidak tepat. Bukan SALAH dalam arti lawannya BENAR. Persepsi saya semula akan memberikan prediksi yang mendekati kebenaran ternyata masih kurang tepat. Hal ini membuat saya sadar bahwa pengetahuan saya sangat sedikit, begitu banyak yang diluar dan kemampuan kontrol manusia. Saya pikir proses 'pengkristalan' manusia tidak sebatas dibangku sekolah, kini dihadapan saya masih ada wadah yang diharapkan mampu membawa saya menuju kader Persatuan Islam yang berkualitas, semoga saya tidak salah melangkah lagi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com