29 January 2007

Don’t Judge a Moslem by It’s Dress !

[Catatan kecil tentang Shabina Begum,

Hak Asasi Manusia dan Simbol Perlawanan]

Oleh: Ganna Pryadharizal Anaedi Putra

Isu-isu menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) memang selalu menyisakan sejuta ‘persoalan’ dan selalu menarik untuk dikaji, karena erat kaitannya dengan problematika kehidupan umat manusia. Manusia merupakan makhluk dinamis yang senantiasa berupaya untuk menciptakan hal-hal baru. Karena itu, dirasakan sangat perlu untuk menciptakan sistem-sistem pada tataran undang-undang internasional, yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan terhadap gerak manusia agar tidak terjadi tumpang-tindih dan over lapping, dalam kaitannya dengan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Karena, kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain (!).

Atas dasar itu, James W. Nickel dalam bukunya Making Sense of Human Rights; Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights, memaparkan bahwa, pada tanggal 1 Januari 1942 lahir Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (Declaration by United Nations) yang berisi tentang pentingnya untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan. Lahirnya deklarasi tersebut dikarenakan pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II. Maka setelah itu, muncullah berbagai undang-undang dan perjanjian mengenai HAM di berbagai belahan dunia, seperti; Piagam PBB (UN Charter) mengenai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) dalam Konstitusi Amerika Serikat, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights), dan lain-lain.

Baru-baru ini, di Inggris, persoalan mengenai HAM mencuat kembali. Shabina Begum, pelajar Inggris asal Bangladesh berusia 16 tahun, akhirnya bisa bernafas lega, setelah dirinya dinyatakan tidak bersalah dan memenangkan gugatan di Pengadilan Tinggi Inggris (The Royal Court of Justice). Pertikaian antara Shabina dengan Kepala Sekolah dan petinggi The Denbigh High School itu bermula ketika sekolah tempat Shabina belajar tersebut, mengeluarkan dirinya dari sekolah pada September 2002, karena Shabina dianggap telah melanggar peraturan sekolah mengenai ketentuan seragam, dengan memakai jilbab ke sekolah.

Pada sidang pengadilan tersebut, pihak sekolah dinyatakan bersalah, karena telah melanggar pasal 9 ayat 1 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights) mengenai kebebasan berpikir, berekspresi dan beragama. Lebih jelasnya, isi pasal tersebut menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.

Perlu diketahui, Konvensi Eropa untuk Hak Asasi Manusia adalah Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada tahun 1950, dimana Konvensi tersebut menjadi sistem paling berhasil yang dibentuk demi penegakan Hak Asasi Manusia (James W. Nickel: 1987).

Menyusul kemenangan Shabina dalam sidang tersebut, Kepala Lembaga Perlindungan Hijab (Assembly for Protection Hijab), Nabila Ferhat mengatakan, ” Hari ini adalah hari kemenangan untuk konsolidasi komunitas di seluruh Inggris. Kita harus bekerja sama dengan seluruh pihak sekolah untuk menangani segala macam permasalahan dan jangan sekali-kali membiarkan pihak pengadilan menduduki tempat pertama. Dalam prakteknya, Inggris telah menetapkan standar untuk diversifikasi budaya dan religius. Pada tataran praktis, Protect Hijab mendukung usaha-usaha masyarakat beragama untuk bekerjasama dengan pihak sekolah untuk memfasilitasi seluruh format hijab dalam ketentuan seragam.”(Lebih lanjut lihat: Press Release Assembly for Protection Hijab di www.prohijab.net).

Mengomentari kemenangannya itu, Shabina Begum berujar, ”Saya berharap, kemenangan kecil saya ini, akan mendidik dan memberikan harapan baru bagi jutaan umat muslim, khususnya wanita-wanita muslimah di seluruh dunia.” (www.gatra.com, 06/03/2004).

Setelah kemenangan itu, beberapa sekolah di London juga ikut menyertakan jilbab dalam ketentuan umum mengenai seragam (uniform policy) dan mentolerir para siswanya untuk mengenakan jilbab ke sekolah.

Berbagai kalangan menilai, kasus Shabina Begum menarik untuk dicermati dari sisi manapun, pertama, dia masih berusia 16 tahun, ukuran umur yang relatif sangat muda untuk masuk ke dalam, sebut saja, ‘pergesekan’ ideologi dan perjuangan mempertahankan keyakinan agamanya. Kedua, dia memenangkan gugatan pengadilan di sebuah negara terbesar Eropa, yaitu Inggris. Ketiga, dia berada di lingkungan minoritas (aqalliyât al-muslimah) yang cenderung kurang kondusif untuk menerjemahkan keyakinan agamanya. Keempat, persoalan hak asasi manusia, yang sangat menarik untuk dianalisa lebih lanjut, dimana pengadilan menyatakan bahwa pihak sekolah The Denbigh High School telah melakukan sebuah pelanggaran besar terhadap hak asasi manusia, karena mencoba melarang Shabina untuk menjalankan keyakinan agamannya, yaitu mengenakan busana muslimah.

Barat dan Standar Ganda Hak Asasi Manusia

Adalah menjadi rahasia umum, bahwa undang-undang hak asasi manusia versi Barat merupakan perundang-undangan yang pada dasarnya memiliki standar ganda (izdiwâjiyah al-ma’âyîr) di belakangnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan standar ganda tersebut adalah sikap pandang bulu dan membeda-bedakan berdasarkan kepentingan, ketika berinteraksi dengan negara lain (baca: negara dunia ketiga) atau ketika menyelesaikan sebuah masalah, atau ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi “tertentu” yang berkaitan dengan negara lain. Secara sederhana, Barat ingin memaksakan hegemoninya melalui label hak asasi manusia.

Dr. Walid Mahmud Abdul Nashir, seorang kolomnis berkebangsaan Mesir, dalam Jurnal Ad-Dîmûqrâtiyah edisi ke-6 tahun 2002, menyatakan bahwa penerapan standar ganda Barat dalam setiap persoalan HAM bukanlah perkara yang baru. Standar ganda Barat –dalam hal ini diwakili oleh Amerika Serikat- dimulai pada sebuah fase pasca Perang Dunia II dan berakhirnya clash antara ‘Timur’ dan ‘Barat’, dimana ketika itu kedua pasukan (AS dan Uni Sovyet) saling menuduh bahwa salah satu dari mereka telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM. Artinya, pada waktu itu, AS dan Uni Sovyet adalah negara yang sama-sama mengakui akan keberadaan HAM, tetapi dikarenakan adanya kepentingan “pribadi” dari setiap negara tersebut, mereka akhirnya memutuskan untuk terjun ke medan perang.

Kasus pelarangan jilbab Shabina Begum merupakan salah satu contoh kecil dari penerapan standar ganda pemerintahan negara-negara Barat. Membingungkan (?) Justru dari kasus tersebut, ingin menunjukkan kepada kita betapa Barat merupakan prototype negara yang sangat mengagung-agungkan HAM, karena mungkin kasus Shabina tidak terlalu erat kaitannya dengan persoalan kepentingan politik (batas territorial), ekonomi (kekayaan negara), budaya, dll. Lebih khususnya, ada analisa menarik di balik kemenangan kecil Shabina Begum, dimana Inggris ingin mempertontonkan kepada dunia bahwa pengadilan di negara tersebut merupakan pilot project untuk seluruh pengadilan di dunia. Hal ini mengingat, kemenangan Shabina dalam pengadilan tersebut merupakan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap kelompok minoritas Muslim.

Sejenak kita tengok ke belakang, pada dasawarsa 90-an, sebuah negeri bernama Bosnia Herzegovina habis diluluh-lantakkan peluru dan missile pasukan Serbia dalam rangka proses Genocide (penghapusan suatu ras, suku, dan komunitas agama tertentu). Apa yang menimpa saudara-saudara kita di Bosnia, jelas merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap HAM. Namun, PBB, AS dan negara-negara besar Eropa lainya ‘hanya’ bisa berdiam diri dan berpangku tangan serta ‘hanya’ bisa “mengutuk” pelakunya dan menyesali mengapa tragedi tersebut bisa terjadi.

Lalu pada tahun 90-an juga, di Haiti terjadi berbagai peristiwa yang telah menodai kesucian HAM, dilakukan rezim militer Presiden Jean Bernard Aristead. Akhirnya, dari beberapa peristiwa yang terjadi di Haiti, telah memberikan ‘kemaslahatan’ bagi kepentingan strategi dan militer AS serta ‘kemaslahatan’ untuk kepentingan ekonomi dan budaya bagi Perancis. (Lebih jelasnya lihat: Jurnal Ad-Dîmûqrâtiyyah, edisi ke-6, tahun 2002)

Kemudian terakhir, invasi AS ke Irak. Dengan sikap pongah dan refleksi watak unilateralisnya (melakukan segala sesuatu secara sepihak), AS yang mengaku sebagai ‘polisi dunia’ dan negara pengayom HAM, dengan seenaknya mencoreng kedaulatan sebuah negara dan melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan di dalamnya. Begitu juga persoalan Palestina yang tak kunjung henti, mana suara negara-negara Barat yang katanya pengusung panji demokrasi dan HAM tentang Palestina? Lalu bagaimana dengan proses demokratisasi dan perlindungan terhadap HAM apabila terdapat negara-negara besar anggota PBB yang memiliki Hak Veto? Itu hanya sekelumit kecil dari beberapa contoh study case inkonsistensi dan kelicikan negara-negara Barat terhadap negara-negara dunia ketiga.

Kontemplasi Paradigmatik

Shabina Begum tak lain hanyalah seorang muslimah berusia 16 tahun yang dengan sangat gigih mempertahankan keyakinan dan menjadi simbol perlawanan terhadap kebatilan untuk seluruh umat Islam di dunia. Adalah tugas kita agar mampu mengadopsi semangatnya, terlebih jika kita berada di negara yang berkependudukan mayoritas muslim.

Dan, terlepas dari berbagai analisa ‘miring’ mengenai kemenangan dirinya, kita berharap semoga kemenangan kecil tersebut merupakan gerbang awal untuk mewujudkan proses demokratisasi, penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dari kemenangan tersebut, juga diharapkan menjadi tonggak awal dimulainya niat baik para penyelenggara negara demi menjaga HAM dan kewajiban manusia mendasar tanpa diselipkan kepentingan-kepentingan licik yang semu dan menipu. And don’t judge a Moslem by it’s dress !. (Gonz-Red).


0 Comments:

Post a Comment

<< Home

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com