28 January 2007

Kaum Feminis Menggugat;

Islam Memihak Wanita (?)

Oleh: Aan Aningsih, SH.


Persoalan wanita tak akan ada habis-habisnya untuk dieksplorasi dan dikaji lebih mendalam karena selalu menyisakan terma menarik. Bukan saja karena umat Islam semakin menyadari pentingnya memahami wawasan Islam seputar wanita, tetapi juga akibat adanya anggapan (prejudice) bahwa Islam berasal dari budaya Arab yang penuh kisah pendiskreditan terhadap martabat kaum wanita. Pernyataan ini, diantaranya muncul dari sebuah kelompok yang menamakan dirinya pembela wanita (baca: feminisme) dengan mengusung isu kesetaraan gender (gender equality(.

Pemahaman dan pandangan kaum feminis terhadap ajaran Islam, jelas sangat subversif (bersifat tuduhan). Perlakuan tidak adil pada kaum wanita, wanita senantiasa terjajah dan selalu dinomorduakan, dan isu lainnya. Mereka menguraikan bukti-bukti sejarah peradaban pra-kenabian (masa Jâhiliyyah) sampai masa dakwah Nabi (turunnya Al-Qur'an), bahwa wanita acap tidak dihargai dan dianggap hina. Salah satu contoh kebiasaan dan tradisi kaum Jâhiliyah yang dianggap kejam dan mengabaikan hak wanita ialah, pembunuhan bayi perempuan (wa'du 'l-banât), (QS. 16: 58-59).

Kaum feminis tidak hanya mengkritisi sejarah peradaban pra-Islam. Setelah datang Islam pun –saat kodifikasi Al-Qur'an—mereka masih banyak mempertanyakan ayat-ayat Al-Quran. Terutama yang terkesan memiliki bias gender seperti hak waris, hak kepemimpinan, poligami, dan lain sebagainya. Berdasarkan pandangan di atas, timbul pertanyaan, apakah benar Islam memihak wanita? Sejauh mana pula posisi pria dalam Islam? Pertanyaan ini tentu saja penting untuk dijawab, agar pandangan stereotype kaum feminis terhadap Islam dapat terbantahkan.

Sebenarnya, paham yang dianut kaum feminis itu sejalan dengan Islam. Sama-sama mengakui persamaan derajat antara kaum pria dan wanita. Namun, jika dicermati lebih dalam, makna persamaan derajat di sini memiliki nilai yang berbeda. Kaum feminis lebih menitikberatkan persamaan-kesetaraan gender secara kuantitatif; peran pria dan wanita harus sama (fifty-fifty) dalam segala hal tanpa mempedulikan faktor nature seorang wanita seperti menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Sementara Islam, mengartikan persamaan (kesetaraan) itu dalam proses pemilikan potensi dalam pengabdian kepada Allah Swt. (QS. 49: 13).

Perbedaan di atas, selamanya tidak akan menemukan titik temu. Misalnya saja, jika kaum feminis menggugat kandungan ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap bias gender, tentunya akan selalu bertentangan dengan paham kesetaraan yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an itu sendiri. Disinilah perlunya penafsiran kembali, tidak semata tafsiran tekstual (dhâhiriyyah), tapi berdasarkan konteks kesejarahan diturunkannya ayat-ayat tersebut. Yakni, dalam sebuah konteks kebebasan hakiki seorang manusia yang tidak dibangun di atas paradigma egoisme (hawâ-iyyah) yang semu (Lihat, Yusuf Burhanudin dalam "Diskursus Wanita Muslimah" [2001]).

Islam datang untuk menyelamatkan kaum wanita dari kehinaaan. Budaya kaum Jâhiliyyah pra-Islam, selalu menghiasi potret peradaban wanita yang penuh kekejaman tragis dan kelam. Hak-hak wanita tidak dipenuhi dan kebebasannya pun terkekang oleh hukum adat yang berlaku. Dari keterpurukan inilah Islam memberikan semacam "pembebasan" pada kaum wanita dari pelbagai bentuk diskriminasi berupa penghargaan dan penghormatan yang luhur (QS. 4: 32/9: 71).

Pada dasarnya, tidak hanya kaum wanita yang mendapatkan hak serta kewajiban di sisi Allah Swt. Kaum pria pun demikian. Firman-Nya, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, (QS.2: 228).

Kaum pria mendapat satu porsi tingkatan atas wanita dalam hak kepemimpinan (al-qiwâmah), poligami (ta'addud-u 'l-zawjât) ataupun hak waris (al-irts). Ini bukan soal terma adil atau tidak. Hal itu ditetapkan Islam semata kesesuaian dengan fitrah dan kodrati wanita. Islam menempatkan pria dan wanita dalam kesetaraan (al-musâwât). Keduanya berkedudukan sama di hadapan Allah, sama-sama memiliki potensi untuk melakukan pengabdian kepada-Nya. Berpotensi beribadah, beramal (pahala-dosa), pendidikan maupun pengajaran (QS. 49: 13).

Sebagai makhluk Allah, wanita memiliki kebebasan asasi dalam memilih dan berekspresi, baik dalam kehidupan sosial maupun beragama. Wanita berhak bahkan dituntut untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Sebab, wanita dituntut berperan aktif dalam masyarakat, setidaknya masyarakat keluarga. Juga, memiliki tugas untuk meregenerasikan umat, sehingga diperlukan wawasan yang luas untuk mencetak generasi yang berkualitas.

Subhânal-Lâh, begitu adilnya Allah terhadap kita kaum wanita! Menjadi tugas kita berikutnya mengerahkan segala daya dan upaya guna mengisi berbagai kesempatan dan peluang yang ditawarkan Islam itu dalam perwujudan peran optimal kita di masyarakat. Wallahu A'lam


The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com