Refleksi sejarah wanita masa Kerasulan*

Diskursus tentang wanita selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan karena dia merupakan separuh dari jiwa masyarakat (nisfu al-mujtama') yang bahkan secara kuantitatif lebih banyak dari laki-laki. Namun sepertinya jarang sekali kita mengangkat tema tentang peranannya dengan perubahan sosial yang ada sehingga tema dalam tulisan ini diharapkan mampu menjawab beberapa pertanyaan yang lahir dari keragu-raguan akan eksistensinya sebagai anggota masyarakat.
Ada beberpa hal yang menjadi penyebab keraguan seperti ini, diantaranya lembaran sejarah yang kelam tentang wanita pada umat-umat terdahulu sebelum Islam datang. Meskipun kita tidak menafikan kalau pada masa itu tercatat beberapa kisah yang menggambarkan keterlibatan wanita dalam bermasyarakat, seperti Ratu Bilqis, yang kisahnya diabadikan dalam AlQur'an, namun untuk sekedar menutupi sejarah suram yang begitu panjang tentang dunia perempuan tidak akan mampu merubah pandangan masyarakat tentang ketidakberdayaan perempuan yang digambarkan pada masa itu, yang tidak jauh bedanya dengan barang dagangan, hina dsb. Demikian pula dengan keterkekangan wanita pada masa kemunduran umat Islam, yang pada masa itu dimana agama dirasa sangat membatasi ruang aktifitas wanita yang mungkin hanya berkisar sumur, dapur dan kasur yang tak lain merupakan natijah dari interpretasi terhadap agama yang sempit (taqyied al-Fuqahaa) sebagai manifestasi dari kondisi pemikiran masyarakat pada waktu itu, seperti ditutupnya pintu ijtihad, berkembangnya berbagai aliran madzhab, sempitnya methodology pendidikan yang hanya terpaku dengan methode salafy. (al-Kailany,1983:234) Maka dari sini timbullah sebuah pertanyaan apakah wanita turut andil dalam perubahan social (yang positif) yang terjadi dengan latar belakang perempuan yang serba terbatas itu?.
Untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan wanita dalam perubahan social yang ada, kita tidak bisa terlepas dengan sejarah wanita itu sendiri. Tentang sejarah wanita ini Yusuf Qardhawy membaginya menjadi dua bagian,: sejarah jauh (ams al-ba'ied), yaitub sejarah pada masa kejayaan umat Islam dan sejarah dekat (ams al-qarieb), yaitu sejarah pada masa kemunduran umat Islam. (AMR:2004) Perubahan Sosial (at-Taghyier al-Ijtimaai') adalah sebuah perubahan yang terjadi dalam infrastruktur social atau perubahan kelas social atau perubahan peran kelompok social tertentu seperti kaum wanita atau kaum minoritas. (Hibah Ra'uf 'Izzat, 2003:237).
Sementara Abd. Shabbur Marzuq menyebutkan bahwa para ulama dan pemikir Muslim Arab mengartikannya dengan Kebangkitan (an-Nahdhah), atau kemajuan (at-Taqaddum). (kairo, 2003 : 399).
Dengan demikian, karena wanita adalah separuh dari komponen masyarakat seperti halnya laki-laki, maka keberadaannya tidak bisa diabaikan atau dipisahkan satu sama lain juga keduanya tidak dilebihkan atas yang lain akan tetapi masin-masing memiliki perannya sendiri-sendiri sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing.
Keluarga sebagai institusi terkecil dalam suatu Masyarakat memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap proses perubahn social termasuk peran wanita didalamnya.
Keluarga dalam Perspektif Islam berperan sebagai link masyarakat muslim yang mengikat individu dengan kelompok, sebagai penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya sebagai penghubung dari beberapa tipe kelompok yang berbeda.
Wanita yang merupakan bagian dari suatu keluarga mewmiliki peranan yang sangat vital, baik sebagai isteri maupun sebagai ibu dalam melahirkan sebuah generasi, karena keberadaannya bersama anggota keluarga yang lainnya (anak) lebih dominant dari pada suami, dia adalah penanggung jawab dalam urusan anak dan rumah suaminya. Hafidz Ibrahim mengatakan:
Al ummu madrasah idza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal I'raaq
Ibu sebagai sumber informasi (madrasah) pertama dari suatu generasi membutuhkan persiapan yang memadai, disamping kesiapan alami yang dimilikinya dalam mendidik anak semenjak dalam rahiemnya sehingga punya keekatan sendiri secara otomatis saat dan sesudah kelahirannya.
Namun naluri keibuannya saja tidak cukup sebagai bekal untuk mengemban tugas mulianya sebagai seorang ibu, akan tetapi kesiapan intelektual juga moral disamping kesiapan yang bersifat lahiriah serta sumber dari segala kesiapan itu bermuara pada sejauh mana hubungan vertical dia sebagai Hamba dengan Tuhannya Qs.2: 197. Dengan bekalan seperti ini diharapkan mampu mencetak generasi Rabbani yang tangguh.
Ada satu hal yang perlu dicatat mengingat perananya yang sangat dominant ini, sehingga ada sebagian pihak yang ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pada keluarganya (anaknya), pihak tertuduh prtama adalah wanita, padahal kalu kita perhatikan bagaimana Rasulullah saw menjelaskan tentang peranan orang tua dengan lafadz Abawaahu (menunjukan kedua belah pihak) yang berperan dalam menjadikan tipe anaknya, seorang yahudikah, nasranikah, atau majusi?. Demikian dalm syair diatas dikatakan bahwa keberhasilan peran ibu itu tergantung pada sejauh mana kita mempersiapkan sosk ibu itu.
Keluarga sebagai elemen asasi dalam masyarakat merupakan titik tolak bagi seorang wanita dalam mengemban tugas mulianya sebagai anggota Masyarakat, ketika dia mampu menjalani peran domestic dalam keluarga dengan baik maka dia tidak akan mengabaikan peranannya dalam masyarakat bersama-sama dengan laki-laki dalam mengemban misi manusiawinya sebagai khalifah Allah dibumi. Meskipun dalam peranannya di masyarakat ini ada sebagian yang berpedapat bahwa tempat terbaik wanita adalah di rumahnya (Qs.33:33), kiranya hal ini bisa terjawab dengan realitas sejarah pada masa kenabian yang terdapat dalam Alquran dan Hadits bahwa hampir di semua aspek kehidupan wanita mempunyai peran dalam massyarakat, baik aspek politik, ekonomi, social, budaya dsb.
Siti Khadijah sosok saudagar, Aisyah sosok alim dan raawiyah, Zainab penderma dari hasil usahanya sendiri, Ummu Salamah dalam memberikan solusi kepada Rasullah ketika peristiwa Hudaibiyyah, juga keikutsertaan wanita dalam hijrah dan berperang sebagai juru rawat dan masih banyak lagi peran-peran yang lainnya yang mengindikasikan keikut sertaan wanita dalam berbagai lini kehidupan yang semuanya hanya terdapat pada masa kejayaan umat Islam ('Ahdir Risaalah).
Penyadaran akan Eksistensi wanita akan tugas mulianya ini lebih menjadikannya sebagai seorang wanita yang berkepribadian Islamy. Akan tetapi dia tidak mampu berjalan sendiri, karena permasalahan wanit atidak cukup dimengerti oleh wanita saja melainkan oleh semua pihak yang berinteraksi dengannya sehingga tugas sebagai Khalifah Allah di bumi ini bisa tertunaikan. Wallaahu "alam bishshawwab.
<< Home