05 October 2006

Persis Sebagai Islam Basis Kota

Oleh: Arif Munandar Riswanto*


Tulisan ini diilhami oleh acara "Pelantikan dan Dialog Publik" yang diadakan oleh Pwk. Persis Kairo-Mesir pada tanggal 26 November sampai dengan 5 Oktober 2004. Hadir pada acara dialog tersebut adalah generasi muda Persis sekaligus mantan ketua umum PP. Pemuda Persis, Atif Latiful Hayat SH. L.LM.. Dalam rangkaian dialog yang diadakan oleh anak muda Persis tersebut, Atif sering menyebut bahwa Persis adalah "Islam basis kota".

Ungkapan tersebut tidaklah keliru. Karena, ketika awal berdirinya, Persis telah menjadikan kota sebagai pusat perjuangan dakwahnya. Inilah yang melatarbelakangi Persis diberi julukan oleh berbagai kalangan sebagai organisasi pembaru dan modernis.

Menurut Atif, setidaknya ada dua ciri yang menjadikan Persis sebagai Islam basis kota:

Pertama, basis intelektualisme yang merupakan cikal bakal berdirinya Persis.

Kedua, "kegelisahan" founding fathers Persis terhadap praktik-praktik keagamaan yang sudah menyimpang dari tuntunan Nabi dan telah dianggap mapan oleh umat Islam Indonesia.

Basis Intelektualisme yang Anti-Kemapanan

Persis lahir bermula dari kegiatan intelektualisme yang bersifat kenduri. Topik pembicaraan dalam kenduri itu bermacam-macam. Misalnya, masalah-masalah agama yang dimuat di majalah Al-Munir yang terbit di Padang, majalah Al-Manar yang terbit di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jamiat Khair di Jakarta, dan berbagai persoalan lainnya (Wildan: 2000). Kegiatan tersebut terutama dimotori oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Setelah Ahmad Hassan bergabung ke dalam study club tersebut, tradisi intelektualisme yang dibangun oleh Persis pun semakin besar. A. Hassanlah orang yang selama ini memobilisasi kajian keagamaan tersebut menjadi lebih hidup. Kita bisa melihat bagaimana polemik A. Hassan-Mohammad Natsir—murid A. Hassan—dengan Soekarno pada tahun 30-an tentang sekularisme dan nasionalisme. Bahkan, tidak bisa dipungkiri lagi, A. Hassanlah "guru agama" Soekarno. Hal ini bisa dilihat dari kumpulan surat-menyurat antara Soekarno dan A. Hassan dan direkam oleh Soekarno sendiri dalam bukunya yang berjudul "Di Bawah Bendera Revolusi".

Sedangkan anti-kemapanan adalah gejolak hati para diskusan kajian keagamaan tersebut. Para pendiri Persis tersebut gelisah dengan status quo, kemapanan, taklid, dan kejumudan umat Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya. Baik dalam bentuk taklid, bidah, khurafat, bathiniyyah, isira’iliyyat, tawashshul dalam arti syirik, fanatisme mazhab, kasta kiyai, "kitab kuning" yang terlalu diagung-agung dll.

Para diskusan tersebut menginginkan perubahan, pembaruan, dan modernisasi. Dengan demikian, diskusi tersebut dibangun atas dasar pembaruan (tajdid), rekonstruksi (i'adah al-nazhr), dan kritik (naqd) terhadap wacana agama yang berkembang saat itu. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya diskursus "kembali kepada Quran-Sunnah" yang diusung oleh Persis. Diskursus tersebut tiada lain merupakan terjemahan dari basis intelektualisme yang anti-kemapanan dan dimobilisasi oleh Persis.

Karena basis kota itulah, Persis memiliki berbagai paradigma fiqih (khashaish fiqhiyyah) yang bernafaskan pembaruan. Jika hendak dirunut, paradigma fiqih tersebut antara lain: bebas dari mazhab (taharrur min ta`ashshub al-madzahib), moderat (al-wasathiyyah), memegang tradisi dan kemodernan (al-alshalah wa al-mu`ashirah), mudah (taysir), dan realistis (al-waqi`iyyah).

Dan, yang lebih jauhnya, nafas pembaruan tersebut tidak hanya diterjemahkan ke atas ranah fiqih an sich. Namun, diterjemahkan juga ke atas ranah lembaga, struktur organisasi, manajemen, program jihad, pesantren, hubungan guru-santri, ulama-jamaah, dan kurikulum pendidikan.

Dua karakteristik itulah yang menjadikan Persis sebagai organisasi civilized. Para penghuninya adalah orang-orang kota yang hidup dalam bangunan strata kehidupan sosio-kultural yang berperadaban. Atau, dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun menulis bahwa "orang kota adalah orang-orang yang memperhatikan keelitisan dan kesempurnaan. Baik dalam kondisi ataupun tradisi mereka."

Masa Depan

Saat sekarang, saya melihat bahwa kedua karakteristik tersebut sudah mulai "memudar" dalam diri Persis. Antitesisnya, pada saat sekarang, Persis menjadi organisasi yang tidak berbasis intelektualisme dan selalu merasa "nyaman" dengan berbagai praktik keagamaan yang ada. Kalaupun Persis "gelisah" dengan praktik-praktik keagamaan yang ada, kegelisahan itu biasanya "tidak realistis" dengan problematika kehidupan beragama kontemporer yang terus berkembang. Sebuah hal yang justru merupakan antitesis bagi paradigma Persis selama ini.

Implikasinya dari hal itu, pada saat sekarang, kegiatan Persis pun menjadi terkonsentrasi di desa—baca: "terpinggirkan". Inilah hal yang menyebabkan miskinnya daya jual produk-produk keagamaan kontemporer yang lahir dari generasi-generasi Persis saat ini. Berbeda dengan generasi awal yang pernah mewarnai jagat intelektualisme Islam Indonesia dengan memboomingkan berbagai produk keagamaan yang realistis untuk konteks-realita ketika itu.

Namun, meskipun seperti itu, ada generasi muda Persis yang ingin mengembalikan dua semangat di atas. Mereka adalah tunas-tunas muda yang memiliki kegiatan inetelektualisme modern, kegelisahan jiwa, anti-kemapanan, dan menginginkan perubahan. Semangat-semangat segar tersebut tiada lain merupakan warisan yang mereka dapatkan dari guru-guru pertama mereka.

Namun, seperti hukum alam lainnya, seluruh hal tersebut sering mendapatkan "halangan" dari generasi tua. Yaitu, orang-orang yang tidak gelisah, merasa nyaman, pro-status quo, dan anti-perubahan. Inilah yang menyebabkan muncul friksi tajam antara generasi tua dan muda.

Saya berpendapat, friksi tersebut harus dijembatani dengan baik. Dan, salah satu jembatan yang telah diajarkan oleh Al-Quran adalah dialog (QS 16: 125). Generasi tua harus mau mendengar keinginan yang berasal dari generasi muda. Begitu pun sebaliknya. Mempertahankan ego masing-masing dengan menganggap bahwa pendapatnya adalah yang paling benar bukanlah sebuah solusi bijak.

Dialog tersebut tiada lain merupakan cerminan masyarakat kota. Yaitu, masyarakat yang memiliki tingkat keterbukaan, partisifasi, oposisi, dan koreksi yang sangat tinggi. Hal-hal tersebutlah yang pernah ditulis oleh Robert Bellah (Beyond Belief: 1976) telah mengantarkan masyarakat Madinah menjadi masyarakat modern. Bahkan, masyarakat Madinah tersebut, untuk zaman dan tempatnya terlalu modern hingga hanya mampu bertahan selama tiga puluh tahun saja.

Basis intelektualisme yang dimiliki oleh Persis bisa menjadi bahan bargainning dengan NU dan Muhamadiyyah—yang memiliki basis massa—untuk melakukan dakwah kolektif (QS 3: 103). Sebuah peta perjuangan yang selama ini menjadi motto Persis. Namun, jika basis intelektualisme dan anti-kemapanan terhadap praktik keagamaan—yang terus berkembang dari waktu ke waktu—tidak bisa dihidupkan kembali oleh Persis, tidak berlebihan jika kita berpendapat bahwa masa depan Persis akan berubah menjadi "Islam desa". Wallahu a`lam bish-shawab.

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com