16 November 2006

Siapkah Kita Menjadi Duta Persis?


Oleh: Naimullah Akhyar

Mari kita sedikit bernostalgia pada masa lalu, tepatnya masa kita remaja. Orang mengatakan, masa remaja merupakan masa seseorang tengah disibukkan dalam mencari jati dirinya. Dan pada situasi yang sama, dalam diri remaja itu mulai tumbuh nilai-nilai produktifitas yang kelak akan sangat berguna bagi dirinya. Oleh karena itu, remaja cenderung ingin memamerkan nilai-nilai produktifitas itu ke orang lain. Segala cara ia lakukan untuk dapat menonjolkan kelebihannya, sehingga tak jarang kita melihat para remaja sering berkumpul dan berkelompok. Barangkali karena kelompok itulah yang dapat menerima dia dan dia akan bahagia kalau kelebihan-kelebihannya itu diterima orang lain.

Kita ambil satu contoh. Deni adalah seorang murid Aliyah di salah satu Pondok Pesantren. Ia baru berusia sekitar 16 tahun dan duduk di kelas satu Aliyah. Salah satu yang menonjol dari Deni itu adalah kesukaannya pada hal-hal yang berbau jurnalistik. Secara tidak disadari, bahwa semenjak kecil Ia suka membaca buku, baik itu puisi, cerita, dan lain-lain. Berawal dari membaca inilah, Deni suka menginterpretasikan bacaannya itu dengan menulis ulang apa yang sudah dibacanya. Kecenderungan ini berlanjut hingga dia masuk pondok Pesantren. Di Pondok itu kebetulan ada kegiatan kepesantrenan yang bergerak di bidang penyiaran yang diakomodasikan dalam bentuk Mading (Majalah Dinding) sebagai sarana informasi dan pengembangan bakat bagi para santri di Pesantren itu.

Deni mulai melirik kegiatan tersebut karena itu sesuai dengan kecenderungannya sejak dulu. Akan tetapi, Ia belum berperan aktif secara langsung karena saat itu kegiatan mading dikelola oleh seniornya dan belum mendapat kepercayaan dari para seniornya karena masih duduk di kelas satu. Segala cara ia lakukan untuk bisa berperan aktif di kancah jurnalistik "ala santri" tersebut hingga akhirnya para seniornya mulai mengetahui dan mempercayai akan kemampuan Deni. Tak ada hal yang paling menggembirakan bagi Deni kecuali ketika diangkat menjadi kru Mading. Dan kini Deni bisa berkreasi dan berekspresi sesuai dengan keinginannya dan keahliannya.

Kalau kita kaitkan perjalanan Deni menjadi kru Mading dengan situasi Perwakilan Persis (Pwk-Persis) yang belum lama ini dikukuhkan, ada sedikit persamaan. FOSPI (saat itu) merupakan salah satu organisasi afiliasi yang ikut memberi peran aktif dalam situasi kegiatan kemahasiswaan dan dipadati oleh orang-orang yang produktif. Layaknya seorang remaja, organisasi yang sudah menginjak usia tujuh tahun ini sudah selayaknya menuju pada proses pendewasaan. Sebagai organisas afiliatif, FOSPI seharusnya mempunyai ikatan struktural dengan pihak Persis yang ada di Indonesia, karena saat itu (sebelum dikukuhkan menjadi Pwk-Persis) ikatan FOSPI dan Persis Pusat hanya sebatas emosional an sich. Berangkali seperti apa yang dirasakan oleh Deni, FOSPI belum mendapat tempat di hati Persis itu sendiri sehingga FOSPI harus berjalan mandiri tanpa ada pengayoman dari atas.

Akhirnya, hari bersejarah pun ditorehkan oleh FOSPI. Disaksikan oleh kesederhanaan gedung Dar el Munasabat, pada tanggal 13 September 2003 lalu, FOSPI secara resmi dikukuhkan menjadi Pwk-Persis Mesir. Peresmian yang ditanda tangani langsung oleh Ketua umum Persis ini setidaknya telah merubah wajah mahasiswa Persis di Mesir.

Namun, perjuangan belum selesai. Tantangan besar menghadang di pelupuk mata. Tugas-tugas berat sudah menanti. Pwk-Persis Mesir sekarang harus mulai membenahi infrastruktur yang telah ada dalam proses pendewasaan organisasi afiliasi ini. Juga kehadiran mahasiswa baru kali ini menjadi PR tersendiri bagi Pwk-Persis, bagaimana kita bisa mencetak para duta persis ini menjadi insan produktif bagi kemajuan persis dan Islam pada umumnya. Alfu mabruk buat Pwk-Persis Mesir.[F]

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com