08 October 2006

Nalar Femenisme dan Westernisasi di Dunia Timur

Oleh : Yuli Yasin Thayyib

Dalam sebuah artikel yang dimuat di al-Ahram Weekly, penulis pernah mendapatkan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada masyarakat Muslim, mengapa harus bersikap apriori terhadap sesuatu yang berlabel Barat? Jawabannya dengan jelas diabadikan dalam al-Qur'an (2:120), bahwasanya, bangsa Yahudi dan Nashrani tidak akan tinggal diam sampai kalian (umat Islam) mengikuti keyakinan mereka. Atas dasar ayat ini, sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa produk Barat yang diimpor ke Timur memiliki tendensi untuk menghancurkan Islam. Tapi tidak sedikit masyarakat Muslim yang menjadikan Barat sebagai kiblat peradaban dan modernitas. Sebut saja Turki yang mati-matian menghapus nuansa Islam dari negaranya karena ingin diakui eksistensinya di dunia Barat. Dimulai dari pelarangan menggunakan jilbab sampai merubah undang-undang yang tidak sesuai dengan aturan main Barat.

Salah satu produk Barat yang mendapat sambutan hangat di dunia Timur adalah gerakan feminisme. Gerakan ini pertama kali muncul di Prancis tahun 1880 –kemudian diikuti Inggris dan Amerika Serikat pada awal dekade abad 20. Pada awal kemunculannya, gerakan ini menuntut persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, agar perempuan tidak lagi dianggap golongan kelas dua. Tentu saja apa yang diserukan oleh mereka tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan ajarannya yang mengakui persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan hanya kwalitas taqwalah yang membedakan mereka (QS. 49:13).

Karena dominasi Islam di dunia Timur, maka yang diserukan oleh para feministnya adalah bagaimana penguasa mau mengaplikasikan ajaran Islam yang memang sudah mendudukkan perempuan dan laki-laki dalam posisi yang sama. Maka mulailah para feminist di Timur membela hak-hak perempuan yang tertindas dan termarginalkan. Para feminist mengajak untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Quran yang bias gender. Sampai di sini menurut hemat penulis gerakan feminisme masih ada dalam kebenaran. Tapi sayangnya, ketika mereka melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat al Quran, mereka tidak lagi mengacuhkan klasifikasi antara tsawâbit dan mutaghayyirât. Maka muncullah diskusi dan silang pendapat antara para ulama Muslim dalam masalah yang sebenarnya bukan medan ijtihad, validitas saham perempuan yang hanya setengah saham laki-laki dalam warisan dipertanyakan (?) Demikian halnya dengan poligami. Dua contoh masalah ini dianggap oleh kaum feminist sebagai bukti dominasi laki-laki dalam interpretasi teks agama. Mereka beralasan bahwa pemberian saham perempuan hanya setengah saham laki-laki sudah tidak cocok lagi dengan tuntutan hidup sekarang. Alasan pemberian saham laki-laki dua kali lipat saham perempuan karena laki-laki berkewajiban menafkahi keluarga sudah tidak relevan lagi di zaman di mana perempuan bekerja bersama laki-laki untuk menafkahi keluarga. Apalagi kalau kita meruntut secara historis kondisi perempuan ketika ayat mirâts diturunkan, hanya sebagai komiditi yang diwariskan, lain sekali dengan kondisi perempuan saat ini.

Usaha para feminist untuk menyeragamkan saham laki-laki dan perempuan dalam mirâts difahami oleh sebagian ulama Muslim sebagai kendaraan yang ditunggangi Barat dalam menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam. Lihat saja konsekwensi dari alasan yang diutarakan sudah tidak terbatas lagi kepada masalah warisan tetapi sekaligus menyentuh kewajiban nafkah yang dibebankan al Qur'an di pundak suami (QS. 65:7). Secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa bukan hanya laki-laki saja yang mampu mencari nafkah, sekarang perempuan pun mampu. Oleh karenanya, dalam pandangan mereka pemberian nafkah suami terhadap istri merupakan salah satu usaha mendiskriditkan wanita (?)

Demikian halnya dengan poligami. Para Feminist beranggapan poligami hanyalah salah satu cara penindasan laki-laki terhadap perempuan. Maka mulailah mereka menyerukan tuntutan untuk mengharamkan poligami. Usaha mereka membuahkan hasil, beberapa negara Muslim mengharamkan poligami dalam undang-undang nya. Dari sini kita dapat melihat bagaimana para feminist tidak memandang sebuah permasalahan secara integral. Dengan tidak menutup mata atas adanya pelaksanaan poligami yang tidak Islami (poligami dalam Islam memiliki syarat-syarat tertentu, tidak semua Muslim boleh poligami. Jika syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan maka mengakibatkan munculnya poligami yang sekarang digugat oleh para feminist), kita juga tidak bisa memungkiri dalam banyak kasus –pemerannya perempuan juga- poligami bisa dijadikan solusi. Artinya trauma satu dua orang perempuan terhadap pelaksanaan poligami yang tidak Islami tidak dapat dijadikan dasar pengharaman poligami yang bisa menjadi solusi bagi banyak perempuan. Ironisnya, belum lama ini, Turki berniat untuk mengundang-undangkan kriminalitas zina. Telah maklum dalam kasus perzinahan yang menjadi korban adalah perempuan. Tapi herannya yang pertama menentang niat pemerintah Turki untuk mengundangkan kriminalitas zina adalah kaum perempuan? Mereka berteriak bahwa pemerintah tidak berhak untuk ikut campur dalam hal hal yang merupakan urusan personal. Mungkin perempuan di Turki takut, dengan adanya undang-undang yang menyatakan zinah adalah kejahatan yang harus diganjar dengan hukuman, akan kehilangan mata pencaharian. (Na'ûdzubillâh!). Artinya, di mata perempuan Islam (dalam hal ini di Turki) zinah lebih baik daripada poligami (?)

Kaitannya dengan Indonesia, belum lama ini telah muncul draft KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang disusun oleh para Feminist Indonesia yang isinya jauh sekali dari ajaran Islam. Seperti pemberian mahar dan nafkah yang bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan sesuai kesepakatan, penghalalan nikah mut'ah, pembolehan nikah tanpa wali. Semua ini –menurut mereka- dalam rangka mendudukkan perempuan dan laki-laki Indonesia dalam posisi egaliter. Hanya saja usaha mereka terjegal oleh keberanian Mentri Agama baru untuk mempeti-eskan draft tersebut.

Dari deskripsi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Barat dengan isu feminismenya telah demikian berhasil mencuci otak kaum perempuan –Muslimah-. Mereka sudah tidak bisa membedakan mana yang membawa maslahat dan mudharat, yang mereka lakukan hanya mengamini apa yang dikatakan Barat. Di akhir tulisan ini, penulis ingin mengingatkan, bahwa Islam adalah agama yang paripurna, hal ini dijamin oleh Sang Pemilik bumi dan langit. Jadi yakinlah bahwa Islam bari' dari segala bentuk penindasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat Muslim. Akhirnya sebagai kelompok yang bertafaqquh fi al-dîn kita berkewajiban untuk mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Wallâhul Musta'ân

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com