Nalar Femenisme dan Westernisasi di Dunia Timur

Oleh : Yuli Yasin Thayyib
Dalam sebuah artikel yang dimuat di al-Ahram Weekly, penulis pernah mendapatkan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada masyarakat Muslim, mengapa harus bersikap apriori terhadap sesuatu yang berlabel Barat? Jawabannya dengan jelas diabadikan dalam al-Qur'an (2:120), bahwasanya, bangsa Yahudi dan Nashrani tidak akan tinggal diam sampai kalian (umat Islam) mengikuti keyakinan mereka. Atas dasar ayat ini, sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa produk Barat yang diimpor ke Timur memiliki tendensi untuk menghancurkan Islam. Tapi tidak sedikit masyarakat Muslim yang menjadikan Barat sebagai kiblat peradaban dan modernitas. Sebut saja Turki yang mati-matian menghapus nuansa Islam dari negaranya karena ingin diakui eksistensinya di dunia Barat. Dimulai dari pelarangan menggunakan jilbab sampai merubah undang-undang yang tidak sesuai dengan aturan main Barat.
Salah satu produk Barat yang mendapat sambutan hangat di dunia Timur adalah gerakan feminisme. Gerakan ini pertama kali muncul di Prancis tahun 1880 –kemudian diikuti Inggris dan Amerika Serikat pada awal dekade abad 20. Pada awal kemunculannya, gerakan ini menuntut persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, agar perempuan tidak lagi dianggap golongan kelas dua. Tentu saja apa yang diserukan oleh mereka tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan ajarannya yang mengakui persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan hanya kwalitas taqwalah yang membedakan mereka (QS. 49:13).
Karena dominasi Islam di dunia Timur, maka yang diserukan oleh para feministnya adalah bagaimana penguasa mau mengaplikasikan ajaran Islam yang memang sudah mendudukkan perempuan dan laki-laki dalam posisi yang sama. Maka mulailah para feminist di Timur membela hak-hak perempuan yang tertindas dan termarginalkan.
Usaha para feminist untuk menyeragamkan saham laki-laki dan perempuan dalam mirâts difahami oleh sebagian ulama Muslim sebagai kendaraan yang ditunggangi Barat dalam menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam. Lihat saja konsekwensi dari alasan yang diutarakan sudah tidak terbatas lagi kepada masalah warisan tetapi sekaligus menyentuh kewajiban nafkah yang dibebankan al Qur'an di pundak suami (QS. 65:7). Secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa bukan hanya laki-laki saja yang mampu mencari nafkah, sekarang perempuan pun mampu. Oleh karenanya, dalam pandangan mereka pemberian nafkah suami terhadap istri merupakan salah satu usaha mendiskriditkan wanita (?)
Demikian halnya dengan poligami. Para Feminist beranggapan poligami hanyalah salah satu cara penindasan laki-laki terhadap perempuan. Maka mulailah mereka menyerukan tuntutan untuk mengharamkan poligami. Usaha mereka membuahkan hasil, beberapa negara Muslim mengharamkan poligami dalam undang-undang nya. Dari sini kita dapat melihat bagaimana para feminist tidak memandang sebuah permasalahan secara integral. Dengan tidak menutup mata atas adanya pelaksanaan poligami yang tidak Islami (poligami dalam Islam memiliki syarat-syarat tertentu, tidak semua Muslim boleh poligami. Jika syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan maka mengakibatkan munculnya poligami yang sekarang digugat oleh para feminist), kita juga tidak bisa memungkiri dalam banyak kasus –pemerannya perempuan juga- poligami bisa dijadikan solusi. Artinya trauma satu dua orang perempuan terhadap pelaksanaan poligami yang tidak Islami tidak dapat dijadikan dasar pengharaman poligami yang bisa menjadi solusi bagi banyak perempuan. Ironisnya, belum lama ini, Turki berniat untuk mengundang-undangkan kriminalitas zina. Telah maklum dalam kasus perzinahan yang menjadi korban adalah perempuan. Tapi herannya yang pertama menentang niat pemerintah Turki untuk mengundangkan kriminalitas zina adalah kaum perempuan? Mereka berteriak bahwa pemerintah tidak berhak untuk ikut campur dalam hal hal yang merupakan urusan personal. Mungkin perempuan di Turki takut, dengan adanya undang-undang yang menyatakan zinah adalah kejahatan yang harus diganjar dengan hukuman, akan kehilangan mata pencaharian. (Na'ûdzubillâh!). Artinya, di mata perempuan Islam (dalam hal ini di Turki) zinah lebih baik daripada poligami (?)
Kaitannya dengan
<< Home