15 November 2006

Tafahum Untuk Dakwah Kita

Oleh: Ai Sulastri

Setelah diresmikannya FOSPI menjadi Pwk-Persis Mesir, otomatis status dan identitas sebagai organisasi afiliatif semakin jelas. Peresmian ini menyiratkan bahwa genderang dakwah semakin kuat. Maka dari itu, konsolidasi intern sebagai langkah awal dan utama menuju dakwah sya’biyah (dakwah yang menyeluruh ke seluruh lapisan masyarakat) menjadi kebutuhan primer dan mendesak bagi kita saat ini. Meski barangkali terlalu cepat ide ini digulirkan, tapi paling tidak penulis melihat ada beberapa point penting yang penulis kira cukup mendesak dan bisa diagendakan pada Musyawarah Luar Biasa nanti.

Pertama, Pasca Pwk-Persis, peranan dan tanggung jawab kita sebagai organisasi afiliatif tentu semakin jelas, terutama dalam mensosialisasikan (baca: dakwah) keberadaan kita. Hal ini harus mendapat perhatian khusus sekalipun kita tidak secara langsung dakwah dari mimbar ke mimbar atau menjadi sosok panutan langsung bagi umat. Tapi paling tidak dengan mengevaluasi perjalanan Persis selama ini serta dengan memperhatikan akselerasi dakwah abad ini, setidaknya kita bisa merumuskan secara bersama-sama tentang manhaj dakwah yang kita butuhkan sebagai salah satu bentuk peduli kita akan dakwah sya’biyah. Sehingga umat merasakan bahwa dakwah bisa menjadi solusi krisis multidimensional yang melanda negeri kita saat ini.

Di samping itu, kita tidak bisa lagi membiarkan opini yang berkembang tentang dakwah PERSIS selama ini, yang hanya bisa diterima oleh kalangan tertentu saja. Artinya dakwah butuh akan manhaj yang jelas sebagai interpretasi dari Sabda Rasul: خا طبوا النا س على قدر عقولهم yang kalau boleh penulis artikan bukan saja sesuai taraf berpikir tapi juga memperhatikan sosio kultural umat itu sendiri, supaya dakwah tidak dirasa sebagai sesuatu yang menakutkan (baca: phobi) hanya karena dakwah yang tidak bermanhaj.

Kedua, Sudah saatnya kita berpikir how to act dengan menjabarkan konsep-konsep yang sudah disodorkan baik itu dari buku maupun dari majalah yang ada. Saat ini, bagaimana kita bisa lebih banyak beramal jamâ'i mengaplikasikan dakwah bil hâl sebagai persiapan untuk terjun lebih jauh ke arena dakwah sya’biyah. Sebab umat tidak akan melihat seberapa besar kepintaran kita, tapi lebih kepada apa yang kita amalkan. Sudah saatnya kita menjabarkan konsep-konsep itu dalam bentuk yang riil supaya agenda besar dakwah kita tidak lagi hanya sebatas wacana yang euporia untuk direalisasikan.

Ketiga, Optimalisasi peningkatan potensi SDM anggota yang ada. Hal ini penulis lihat sebagai upaya kaderisasi dan bentuk dakwah kita selaku mahasiswa. Paling tidak dalam majalah Al-Izzah Indonesia edisi 21/thn2/30 September 2001, disebutkan bahwa kita memiliki tiga peranan penting di kampus (konteks Indonesia. Untuk konteks Masisir silahkan analogikan masing-masing) yaitu sebagai da’I, sebagai cadangan SDM masa depan, dan sebagai agent of change tentunya. Ideal memang, tapi demikianlah tuntutan riilnya. Dan penulis kira bukan euporia yang berlebihan ketika kita menginterpretasikannya sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas kita masing-masing.

Keempat, Point yang sangat urgen dan sensitif tapi perlu kita pikirkan bersama, kita selaku pengusung Pwk-Persis saat ini harus berjalan seiringan terutama dalam menarik roda oragnisasi dakwah ini ke arah yang lebih baik. Butuh kecermatan, perhatian, dan kesungguh-sungguhan dalam menapakinya. Kehadiran akhwat yang masih relatif baru untuk warga Pwk-Persis perlu disikapi dengan penerimaan yang penuh pertimbangan mental juga spiritual. Sehingga kehadiran para srikandi ini bisa menjadi partner dakwah yang memberi warna tersendiri dan bukan malah menjadi fitnah bagi dakwah tersebut.

Maka dari itu, perlu ada ketafahuman dan kesadaran dari masing-masing anggota Pwk-Persis dalam menyikapinya. Bagaimana bisa memetakan, mana yang sifatnya berjalan seiringan dalam dakwah dan mana yang sekedar partner bergaul. Sehingga tidak terjadi pencampuran yang bukan semestinya, mengatasnamakan organisasi demi pergaulan yang melanggar batas syar'i.
Aplikasinya adalah memahami bersama pola komunikasi. Sekalipun bagi kita (terutama etnis sunda) yang terbiasa banyak mujamalah dan ramah tamahnya akan sangat sulit, akan tetapi, penulis kira (terutama akhwat) komunikasi seperlunya adalah solusi yang sangat tepat demi menjaga keutuhan dakwah itu sendiri. Sebagaimana disitir dalam Alquran QS. Al-Ahzab;32, bahwa perempuan dianjurkan untuk berkata yang ma’ruf, untuk tidak melembut-lembutkan kata-katanya (lihat Tafsir Ibnu Katsier dan Tafsir Imam al-Qurthubi terutama dalam menafsirkan lafadz al-Khudu’ dalam ayat tersebut). Maka jangan heran kalau ada perempuan yang bicaranya seperti sombong.

Kemudian perkataan sayidina Ali r.a yang dikutip oleh KH. Aceng Zakaria dalam bukunya Tarbiyyatun Nisâ; ada tiga perkara yang baik untuk perempuan dan jelek bagi laki-laki diantaranya : Sombong, pelit, dan penakut.
Selanjutnya, pendapat serupa yang dinukil Ibnu al-Abidin dalam kitabnya ar-Raddu al-Mukhtar dari kitab as-Sima’ karangan Imam Abu al-Abbas al-Qurthubi menyebutkan, “Tidak akan disangka oleh orang-orang cerdik cerdas manakala kami mengatakan bahwa bicara adalah aurat, itu tidak benar. Sesungguhnya kami membolehkan wanita berbicara dengan lawan jenisnya pada saat dibutuhkan, ….”

Ikhwah dan akhwat fillâh, mari kita renungkan bersama untuk selanjutnya kita beramal jamâ'i bersama tentang hal-hal di atas. Dan senantiasa kita jaga ghaddul bashar juga hati kita supaya komunikasi itu tidak menodai nilai-nilai dakwah yang selama ini dibangun. Namun ketika semua itu kita abaikan maka perhatikanlah sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa wanita itu sumber fitnah padahal beliau juga mengatakan bahwa perempuan juga sumber kemaslahatan suatu negara. Dan tentunya kita tidak mau menjadikan bangunan dakwah kita akhirnya rapuh. Wa Allâhu A’lamu bi ash Shawâb. [F]

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com