Fiqih Profetik; Independensi Fiqih Persis

Oleh: Rifqi Fauzi
Berdirinya Persis di Indonesia sama seperti Ormas lainnya- seperti NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad dan lain sebagainya- yaitu sebagai rival atas imprealis yang berupaya meng-kerdil-kan masyarakat
Keterbelakangan pengetahuan masyarakat Muslim Indonesia tentang agamanya bukan saja diakibatkan tekanan para imprealis saja, tetapi semua ini juga diakibatkan ketidaktuntasan para wali dalam berdakwah, karena para wali pada waktu itu merasa sulit untuk mengubah agama asli mereka kepada Islam secara langsung. Sehingga para wali terpaksa berdakwah dengan cara memformulasikan ajaran Islam dengan adat istiadat dan kepercayaan mereka, yang akhirnya melahirkan keberagamaan yang masih bercampur baur dengan kemusyrikan.
Kedua, ketika suatu permasalahan tidak didapatkan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah, mereka menggunakan jalan ijtihad- yang merujuk kepada al-Qur`an dan al-Sunnah- dalam memutuskan hukum. Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur`an
Ketiga, tidak menjadikan faham para madzhab Islam sebagai suatu keputusan final yang undebateable, karena ijtihad para ulama tidak termasuk tasyri` melainkan hanya bayan li at-tasyri` dan dikarenakan referensi pada masa sekarang lebih lengkap dibandingkan dimasa mereka, seperti referensi dalam menentukan ke-shahih-an suatu hadits dan lain sebagainya. Sebagai contoh, imam Syâfi`I pernah berkata tentang Ashaĥ al-Ahâdits, "tidak ada yang lebih shahih dari kitab hadist kecuali kitab al-Muwatha (karangan Imam Malik)". Perkataan tersebut dapat dimaklumi karena pada zaman tersebut belum lahir kitab Shahih Bukhari dan Muslim yang mana kitab tersebut merupakan kitab hadits paling shahih dari kitab lainnya pada zaman sekarang. Ini menandakan bahwa referensi sekarang lebih lengkap daripada zaman dimana hidup para imam madhab.
Keempat, memperbolehkan ikhtilaf hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah dan jika ada kesamaan dalil yang tidak memungkinkan untuk disatukan, ditarjih atau dimansukh. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan Rasululloh- yang diriwayatkan oleh Bukhari- bahwa jika seseorang melakukan ijtihad kemudian benar maka pahalanya dua dan jika salah maka pahalanya hanya satu.
Kelima, tidak memandang hal-hal yang bersifat keduniaan- yang tidak ditentukan oleh al-Qur`an dan al-Sunnah- dan sifat basyariyah Rasulullah sebagai syari’at. Seperti Rasulullah suka memakai jubah dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan sabda nabi "antum a`lamu bi umûri dunyâkum".
Keenam, ijtihad Persis tentang suatu hukum bersifat debatable dan bukan merupakan keputusan final, siapapun berhak mengkritiknya jika ada dalil yang lebih kuat.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home