Salafiyah dan Pembaharuan Fiqih

Oleh: Dedi Hariadi Hidayat
Salafiyah dalam kesejarahannya, merupakan pioner pembaharuan pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaharuan Fiqih. Gerakan Salafiyah atau yang lebih kenal dengan gerakan puritanitas Islam mencoba mencairkan berbagai kebekuan dan kejumudan akut yang dihadapai umat, serta menggairahkan kembali ijtihad-ijtihad yang sempat lesu. Muhammad ibn Abdul Hawâb (1703-1792 M) dan Ibn Taimiyyah (1263-1328 M) merupakan founding father gerakan Salafiyah yang mencoba mendobrak berbagai kemapanan yang ada. Muhammad ibn Abdul Wahab berkonsentrasi lewat purifikasi ajaran Islam dangan mengembalikan Islam kepada dua sumber pokok, al-Quran dan al- Sunnah. Sedangkan Ibnu Qoyim lebih mengakses kepada pembukaan kran-kran ijtihad yang pada waktu itu sempat macet.
Thoriq Basyari, al-Islâm wa al-Zamân; al-Simât al-Fikr al-Târîkh, mengelompokan Salafiyah sebagai gerakan pembaharu Islam yang memberi banyak imspirasi terhadap gerakan pembaharu Islam yang lain. Salafiyah mempunyai karakteristik – yang lebih jauhnya disebut manhaj – pemikiran, diantaranya; argumentasi harus berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah (istdlâl bi al-kitâb wa al-sunnah), mendahulukan teks atas rasio (taqdîmu al-naql min al-'aql), dan berpegang pada pemahaman shahabat (al-tamassuk bi fahmi al-shahâbah). Dengan demikian, pembaharuan fiqih yang digagas Salafiyah bisa dilacak dari berbagai usaha yang telah dirumuskan, diantaranya:
1. Kembali kepada alQuran dan alSunnah.
Dalam hal ini, teks al-Quran dan al-Sunnah merupakan dua sumber mutlak dalam menggodok produk-produk hukum. Akan tetapi, dalam suasana interaksi yang terlalu meng"super'kan teks, muncul sikap ekstrim (terutama generasi belakangan) adanya penundukan teks secara total atas realitas. Sehingga menurut Muhammad Imarah (Tayârât al-Fikr al-Islâmî : 968), Salafiyah dinamakan aliran literalis (manhaj al-nushûshî) karena otoritas teks yang ada dalam al-Quran dan al-Sunnah menjadi panglima hingga menolak otoritas ta'wil (ta'wîl kalâmî), qiyas dan pintu ijtihad yang bebas. Lebih ekstrem lagi, Dr. Kamal Abdul Majid (Tajdîd al-Fikr al-Islâmî: 2001) melihat bahwa telah terjadi "keasyikan" total menerima teks al-Quran dan al-Sunnah secara taken for granted, serta mencurigai ijtihad-ijtihad yang menggunakan unsur rasionalitas.
2. Menghilangkan sikap fanatik madzhab
Manhaj Salafiyah untuk mengembalikan pemahaman keagamaan kepada generasi awal Islam (Rasulullah, Shahabat dan Tabi'in) sebagai generasi terbaik, membangun dinamika keagamaan yang sehat, yaitu menghilangkan sikap fanatik buta terhadap madzhab-madzhab yang ada. Walaupun salafiyah cukup dekat dengan madzhab Ahmad ibn Hanbal -karena peletak dasar pemikiran Salafiyah adalah para penganut madzhab Hanbali- tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara fanatik karena Salafiyah tetap konsisten menolak simpul-simpul madzhab yang ada dalam rumah tangga fiqih.
Paradigma berfiqih seperti itu merupakan gebrakan yang luar biasa, karena fiqih yang seharusnya terus progresif dan dinamis mengalami kemandegan akibat dikapling dalam rumah madzhab-madzhab yang ada. Di satu sisi hal tersebut menunjukan keseriusan para Imam madzhab untuk melakukan ijtihad merumuskan berbagai hukum fiqih, namun di sisi lain – secara tidak langsung – mengebiri berbagai kreasi dan inovasi yang seharusnya dilakukan, karena pada akhirnya pemahaman umat akan terseret kepada produk-produk fiqih yang telah dimapankan oleh para muassis madzhab yang ada.
Salafiyah yang walaupun dalam perkembangan selanjutnya – dianggap -- mengalami pergeseran paradigma dan reduksi makna "salafiyah" hingga terkesan ada missing link sejarah antara generasi awal dan generasi belakangan, namun diakui ataupun tidak, Salafiyah merupakan pioner gerakan pembaharu pemikiran Islam kontemporer. Walâhu A'lâm.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home