Antara Shiyam Sufi dan Shaum Fuqaha

Bila kita perhatikan firman Allah Swt ataupun sabda Nabi Saw tentang kewajiban melaksanakan ibadah puasa, maka kita akan mendapati kata yang digunakan adalah kata shiyam dan bukan kata shaum. Perhatikan misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 183 : ياأيهاالذين أمنوا كتب عليكم الصيام dan bukan ياأيهاالذين أمنوا كتب عليكم الصوم. Demikian pula dengan hadits-hadits Nabi, hampir semuanya menggunakan kata shiyam dan jarang sekali yang menggunakan kata shaum. Di antaranya seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Imam Ahmadإن الله تبارك و تغالى قرض صيام رمضان. Pertanyaannya, mengapa Allah selalu menggunakan kata shiyam ( صيام ) dan bukan kata shaum( صوم )? Apakah keduanya mempunyai pengertian yang berbeda?
Dalam bahasa Arab, kata shaum yang bersighat fa'lan berarti al-imsak ‘anil kalam seperti pernyataan Siti Maryam sebagaimana terekam dalam firmanNya dalam surat Maryam ayat 26: إنى نذرت للرحمن صوما. Dari sini kita dapat mengambil sebuah asumsi bahwa pengertian kata shaum lebih tertuju kepada menahan sesuatu yang sifatnya khalqiyyah dan dhahiriyyah seperti menahan makan, minum dan bicara. Sedangkan kata shiyam mempunyai pengertian yang jauh lebih dalam dan lebih dari sekedar hal di atas. Karena dalam bahasa Arab, semua shigat fi’al ( فعال) dan al-mufa’alah ( المقاعلة) mengandung pengertian al-musyarakah, almujahadah wal muqawamah. Dalam bahasa lain, kata shiyam lebih membutuhkan almujahadah (kesungguhan) karena yang dihadapi bukan yang lahir semata tetapi juga kekuatan lain yang tersembunyi berupa hawa nafsu.
Karenanya, musuh yang dihadapi oleh kata shaum terkesan pasif, diam dan tidak mengadakan perlawanan yang berarti. Makanan, munuman dan isteri misalnya, adalah musuh-musuh yang bisa dihadapi dengan mudah karena sifatnya yang terkesan menunggu. Oleh karena itu, dalam menghadapi musuh shaum ini hampir semua orang bisa menghadapinya tidak terkucuali anak-anak dan laki-laki "nakal" sekalipun.
Berbeda halnya dengan shiyam. Dalam shiyam, musuh yang dihadapi adalah aktif dan selalu mengadakan perlawanan, karena kata al-mujahadah dan al-musyarakah mensyaratkan adanya dua pihak yang saling mengalahkan. Bila anda tidak hati-hati menghadapinya, anda akan mudah dikalahkan. Coba anda bayangkan, bagaimana anda sadar kalau sesungguhnya berbohong, mengeluarkan kata-kata kotor yang kerap kita lakukan sesungguhnya adalah musuh halus yang aktif. Oleh karenanya, dalam menghadapi musuh shiyam ini, jangankan anak-anak, orang tua juga banyak yang kedodoran; jangankan orang awam, dai-dai dan penyiar agama juga banyak yang dikalahkan.
Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa Allah dalam surat al-Baqarah di atas mewajibkan puasa Ramadhan dengan memakai kata shiyam dan bukan shaum. Tiada lain kecuali Allah bermaksud untuk membawa manusia agar mampu menahan semua hal yang dapat merusak shiyam baik yang lahir maupun yang bathin. Bukan hanya itu, Allah juga berkehendak agar atsar shiyam ini membekas dan terbawa dalam kehidupan sehari-hari karena menahan diri dari musuh-musuh bathiniyyah tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, ia harus terus dibawa dalam semua aspek kehidupan selama nyawa masih di kandung badan. Oleh karena itu, sungguh tepat hadis riwayat Imam Ahmad yang mengatakan: “Barangsiapa yang selama puasanya tidak meninggalkan kata2 keji dan tidak berguna, maka tidak ada balasan bagi puasanya selain rasa lapar dan dahaga saja”. Ini sebuah legitimasi bahwa yang dituntut adalah shiyam dan bukan shaum.
Inilah yang kemudian berwujud dan diterapkan dalam tradisi sufi. Dalam konteks sufi, puasa berwujud dalam bentuk menjaga semua hal yang bisa membatalkan puasa baik lahir maupun bathin (makna shiyam). Dimaksudkan dengan lahir adalah hal-hal yang berwujud seperti makanan, minuman, dan jima di siang hari. Sedangkan yang dimaksud dengan bathiniyyah adalah semua aspek yang bertentangan dengan syara yang sifatnya tidak berwujud semisal, berbohong, mengeluarkan kata-kata keji dan sejenisnya. Oleh karenanya, dalam term sufi, yang membatalkan puasa itu bukan sekedar makan, minum dan jima di siang hari, tapi juga mencakup aspek lain yang sifatnya bathiniyyah. Dengan bahasa lain puasa (shiyam) dalam tradisi sufi mencakup dua aspek: khalqiyyah dan khuluqiyyah. Khalqiyyah dalam pengertian menahan hal-hal yang sifatnya lahiriah seperti makan, minum dan jima, sedangkan khuluqiyyah mengandung hal-hal untuk kesempurnaan akhlaq. Makanya, jangan heran, dalam kalangan sufi, shaimin yang berbohong menjadi batal puasanya dan ia diharuskan mengqodlanya di hari yang lain.
Lain halnya, dengan lingkungan fuqaha yang membedakan antara hal-hal yang membatalkan puasa dengan hal-hal yang mengurangi pahala puasa. Dalam term fuqaha yang termasuk hal yang membatalkan puasa adalah makan, minum dan jima' di siang hari, sedangkan berbohong, berkata keji dan sejenisnya diketegorikan sebagai hal-hal yang mengurangi pahala puasa dan bukan yang membatalkannya. Dari sini tampak bahwa dalam tradisi fuqaha, puasa identik dengan kata shaum, sedangkan dalam tradisi sufi merupakan penjelmaan dari kata shiyam.
Terlepas dari perbedaan dua kubu di atas, yang jelas keduanya sependapat bahwa hakikat puasa bukan semata menahan diri dari hal-hal yang lahiriyah semata, tapi juga harus berwujud dalam laku dan amal, berupa peningkatan pola hidup dalam kehidupan di masyarakat kelak. Hanya saja, bila para sufi memasukan hal-hal bathiniyyah sebagai pembatal puasa, sedangakan para fuqaha mengkategorikannya sebagai hal-hal yang dapat merusak dan menghilangkan pahala puasa seseorang. Namun apalah artinya puasa seseorang bila tidak ada pahalanya?
Marilah kita mencoba berpuasa dalam makna shiyam sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan bukan semata dalam makna shaum. Karena bila kita sekedar ber-shaum, balasan yang akan diperoleh adalah sebagaimana sabda Nabi laisa lahu jaza'un illal juu' wal 'athas sedangkan bagi mereka yagn shiyam adalah gufira lahu ma taqaddama min danbihi atau kharaja min dzunubihi ka yaumin waladathu ummuh. Selamat memilih..
0 Comments:
Post a Comment
<< Home