19 October 2008

Menggagas Kewajiban Asasi

Upaya Untun meminimalisir Kriminalitas
Oleh: Agus Taufik Rahman

Entah kenapa, tradisi kekerasan menjalar kian deras justru di saat peradaban kemanusiaan lantang dikumandangkan. Moralitas, kekerasan dan kejahatan kini menjadi persoalan yang lebih dekat dengan urat nadi sekalipun. Episode pembantaian tidak saja terjadi di negeri terjajah, di atas tanah yang telah menghirup udara bebaspun tak jarang terjadi pertumpahan darah walau dengan motif sepele.

Pembunuhan adalah kriminalitas pertama yang dilakukan di muka bumi, disaat Qabil menghabisi nyawa adik kandungnya sendiri, Habil. Plot inilah yang sempat menjadi “kritik” malaikat kepada Allah Swt, karena dalam sepengetahuannya, manusia sangat rentan untuk berbuat onar, represif dan menumpahkan darah (QS.2:30)

Meskipun kritik malaikat saat itu ditolak dengan dalih kemahatahuan kehendak-Nya, tabiat asli manusia -seperti prasangka para malaikat- lambat laun mulai terkuak. Sepanjang perjalanan sejarah kemanusiaan, selalu saja dihiasi intrik kisah getir pertumpahan darah. Tragedi kemanusiaan yang merenggut jutaan manusia dalam Perang Dunia I (PD) (1914-1918) dan PD II (1939-1945).

Qabilisme Mengintai

Banyak faktor yang melatarbelakangi hiruk pikuk suburnya kriminalitas. Tanpa terkecuali, include-nya standar ganda pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) yang teramat kabur untuk diterapkan, atau hukum konvensional yang masih menyisakan PR besar dalam perundang-undangan yang menyangkut kejahatan dan kriminalitas.

Verrry Idham Henyaksyah alias Ryan (30) bukanlah anti klimaks dari sekian kejahatan yang merenggut sejumlah nyawa, Karena di tengah proses hukum dan penyidikan kasus tersebut sedang berlangsung, kasus-kasus serupa yang tak kalah sadisnya ikut meramaikan media informasi untuk andil bagian menjejali saraf-saraf otak.

Jika menganalisa sejumlah kriminalitas yang terjadi, setidaknya ada lima faktor yang rentan menenggarai. Pertama, Pengaruh negatif media massa. Jujur saja, bahwa tontonan yang disajikan kini sangat minim pencitraan nilai positif yang mencerdaskan, malah sebaliknya cenderung menyesatkan. Fenomena miring tersebut diamini oleh Menpora Adiyaksa Dault yang menegaskan bahwa “sembilan dari 10 film-film yang beredar memperlihatkan kriminalitas, mistis dan adegan-adegan amoral”.

Sekalipun grassroot sering memprotes film semacam itu, nyatanya masih banyak produser serta sutradara yang ngotot membuat film dengan tema yang sejenis. Tidak bisa disalahkan, karena bagi mereka hanya ada satu prinsip, yaitu kepentingan pragmatis. walau nantinya berdampak pada kerusakan moral konsumen. Sungguh naif!

Kondisi di atas diperparah lagi dengan persentase penguasaan media massa yang mayoritas di blow up pihak luar, dengan demikian unsur kepentingan tidak bisa dinafikan lagi. Pemberitaan yang tak berimbang serta pemutarbalikan fakta menjadi hal yang sulit dielakkan. Kondisi pers seperti itulah yang kemudian menjadi kritik tajam Edwar S. Said dalam bukunya Covering Islam.

Kedua, Sosilogis. Lingkungan tempat tinggal sangat berpengaruh terhadap karakter dan perilaku seseorang. Adalah keharusan seseorang untuk memilih dan menciptakan iklim lingkungan yang sehat, “bergaul dengan tukang minyak akan terbawa wanginya, bergumul dengan pandai besi akan tertular wataknya”.

Dalam kasus Ryan yang berorientasi seksual sejenis misalnya, ia sangat rentan melakukan tindak kriminal (crime of passion) terhadap pasangannya, karena ditenggarai rasa takut yang berlebihan.

Hal tersebut lazimnya bisa saja terjadi karena minimnya pasangan yang memiliki orientasi seksual serupa. Terlebih dengan sifat asmara yang cenderung platonis, atau mencintai untuk menguasai sesama homoseks. Prinsip hubungan jadah ini hanya ada prinsip lose lose solution, dengan kata lain, dalam kasus perebutan, perselingkuhan, dan pertengkaran asmara, kaum homoseks umumnya berprinsip, “kalau saya tidak dapat, maka kamu pun tidak akan mendapatkan dia”.

Ketiga, gangguan psikologis. Psikotis atau psikosa seringkali menjadi pemicu kriminalitas “barbar” dalam bentuk Agresi hostile. Perilaku keji ini bisa saja timbul kapan saja karena tersangka mengalami gangguan kejiwaan yang sangat berat. Jangankan hukum Islam, hukum konvensionalpun dalam kondisi serupa memberikan toleransi cukup luas karena dilakukan tanpa ada intervensi akal dan kesadaran.

Lain halnya dengan Ryan. Menurut analisa psikiater Polda Jatim dr. Roni Subagia, ia sama sekali tidak mengalami psikosa. Jika dilihat dari perilakunya yang imfulsif ada kecenderungan memiliki empati dan kontrol prilaku yang minim (psikopat). Tentu saja ia tidak bisa lepas dari jeratan hukum begitu saja, karena psikopat masih memiliki sense of reality yang normal. Artinya, apa yang dilakukan tersangka itu disadari dan dipahami yang bersangkutan, karena itu tersangka melakukan pembunuhan secara sadar dan tahu akibatnya.

Keempat, kebutuhan ekonomi. Tuntutan ekonomi selalu saja disinyalir menjadi faktor terbesar timbulnya kriminalitas. Tidak bisa disalahkan memang, namun dalam prakteknya terkadang seseorang melakukan tindak kejahatan ekonomi karena adanya kesempatan. Dalam berbagai kasus mutilasi yang telah terjadi misalnya, penganiayaan bermotif dendam adalah akar persoalan yang sebelumnya dilatarbelakangi oleh stimulan negatif, sehingga kejahatan yang dilakukan cenderung direncanakan. Akan tetapi karena ada celah paska menghabisi nyawa sikorban ia mendapati beberapa barang berharga yang teramat sayang untuk dibiarkan.

Kelima, jebolnya benteng moral dan relijius. Alasan terakhir ini mestinnya menjadi “sentral problem” yang sejatinya disimpan dimuka, karena keempat faktor di atas tidak akan muncul andai saja moral dan relijius tidak hanya sebatas lipstik penghias an sich.

Demikian halnya dengan kriminalitas yang dilakukan oleh orang yang memiliki mentalitas, moral dan keagamaan yang dinilai cukup. Peristiwa pelecehan seksual seorang guru ngaji pada anak didik bukan satu atau dua kali saja terjadi. Begitu jua dengan Ryan yang dikenal para tetangga sebagai guru ngaji PTQ desa jatiwates. Bagaimana bisa seorang yang dinilai relijius dan santun oleh tetangganya, namun dalam kesempatan berbeda justru melaksanakan praktek hubungan amoral dan asusila layaknya Sadom dan Ghamara yang diluluhlantahkan. Apa alasan dibalik itu, jika bukan moral dan perikalu selama ini hanya kamuplase yang sama sekali tidak menyentuh aspek kejiwaan dan rohani terdalam.

HAM & Kewajiban Asasi Manusia

Bagai gayung bersambut satu kasus belum tuntas yang lain sudah mengintai. Patologi sosial yang mulai kronis tersebut diperparah lagi dengan dagelan para pembela HAM yang cukup unik jadi tontonan.

HAM yang lahir dari rahim Barat paska Perang Dunia II masih saja menyisakan persoalan yang cukup pelik. Karena pada prakteknya, persoalan yang dijungjung HAM adalah nilai-nilai equality antar individu, minus penekanan kewajiban asasi yang sebetulnya jauh lebih penting.

Dalam beberapa kasus, HAM kerap kali ditonjolkan bak pahlawan kesiangan yang menjadi pembela “antitesa” persoalan yang muncul kepermukaan. Mega kasus Ahmadiyyah yang berujung di tragedi monas 1 Juni lalu, vonis hukuman mati, penyimpangan homoseksual serta, beberapa kasus penting lainnya menjadi bukti bahwa HAM selalu ditampilkan sebagai organ reaksioner. Beberapa contoh kasus di atas menjadi bukti nyata bahwa selama ini HAM sangat abai memperhatikan kewajiban individu.

Senada dengan esensi diatas, Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, AS menegaskan bahwa masyarakat internasional telah mengakui bahwa semua orang memiliki HAM karena terlahir dan diciptakan sama (equal) sebagai manusia, tapi kewajiban asasi masih minim diperhatikan. Orang mempunyai kewajiban bukan karena ia diciptakan dan lahir sebagai manusia, tetapi karena umumnya ia lahir di tengah sesamanya.

Pernyataan Hendardi (Dosen Universitas Indonesia) dalam tayangan debat kontroversi hukuman mati yang digelar Tv One, menjadi bukti betapa HAM yang ada saat ini hanya menaruh simpati pada pihak tersangka tanpa melirik pihak yang teraniaya. Dalam pernyataannya, Hendardi menegaskan bahwa hukuman mati bertentangan dengan nilai kemanusian, sedangkan kejahatan yang dilakukan tersangka yang pada umumnya menelan korban jiwa sama sekali tidak dikategorikan pelanggaran asasi, dan itu hanya kategori kriminal, tandasnya.

Pendek kata, dalam kaca mata HAM, kriminalitas tidak sama dengan pelanggaran hak asasi manusia. Sikap diatas, sudah lebih dari cukup untuk bukti bahwa HAM masih absurd dengan standar ganda!

Dengan bermodalkan standar ganda dalam bersikap, harapan menyelesaikan pelbagai persoalan kriminal dan patologi sosial seolah menjadi mimpi di siang bolong. Alih-alih menjadi solusi, yang ada hanya mengkristalnya preseden buruk saat orang mendengar kata sandi HAM.

Menggagas Solusi Kontemplatik

Kembali pada persoalan semula, Pada dasarnya nash-nash Qath’i al Qur’an ataupun hadîts, telah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk kriminal ataupun yang lainnya tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan. Oleh karenanya, penegakan hukum secara adil adalah kewajiban yang paling utama mesti ditegakkan, lain lagi persoalannya jika pihak yang terdzolimi memberikan maaf (al ‘Afwu) dan itupun masih ada satu kewajiban dalam bentuk diyat atau yang sejenisnya untuk ganti rugi.

Lain lagi persoalannya jika saja setiap orang atau pembela HAM mengakui teori Freud yang memandang perilaku agresi sebagai instinc yang melekat pada diri manusia, maka setiap yang melakukan kriminalitas dan dosa bisa saja dibenarkan dan dibela, karena pada prinsipnya, Freud hanya memandang manusia dari sisi negatif. Tanpa agresi manusia dapat punah atau dipunahkan pihak lain. Dengan begitu, hukum rimbalah yang berlaku. Apa bedanya manusia dengan binatang!

Teori Freud sama sekali tak berlaku, banyak pakar psikologi lain yang justru bersebrangan dengannya, apalagi sumber ajaran agama dengan tegas menyebutkan adanya pengaruh dalam dan luar yang berfungsi menjadi alat kontrol dalam pola respon yang diperoleh dari hasil pembelajaran. Dalam konteks ini hadîts yang menyitir bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah menjadi penting untuk dipahami. Fitrah dalam menunaikan kewajiban dan fitrah untuk berislam, maka dengan sendirinya pelanggaran HAM dalam bentuk kriminal takkan pernah terjadi. (TR)

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

[url=http://firgonbares.net/][img]http://firgonbares.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]can i buy photoshop in, [url=http://firgonbares.net/]autocad job ireland[/url]
[url=http://firgonbares.net/][/url] software 2008 canada cheap microsoft office student
web sales software [url=http://firgonbares.net/]education discount software[/url] Leopard FileMaker Pro
[url=http://firgonbares.net/]hacking software for sale[/url] 3d software for sale
[url=http://firgonbares.net/]education discounts on software[/url] your software super store
adobe acrobat 9 pro [url=http://firgonbares.net/]adobe software for linux[/b]

6:15 AM  
Anonymous Anonymous said...

[url=http://sunkomutors.net/][img]http://sunkomutors.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]windows vista freeware, [url=http://sunkomutors.net/]academic software reseller[/url]
[url=http://sunkomutors.net/][/url] education software store cites software store
software oems [url=http://sunkomutors.net/]ism office software[/url] sms discount software
[url=http://sunkomutors.net/]adobe photoshop cs4 for mac serial code[/url] software sales 2007
[url=http://sunkomutors.net/]software of macromedia flash[/url] discount software windows xp
software rights for sale [url=http://sunkomutors.net/]newbyte educational software[/b]

1:49 PM  

Post a Comment

<< Home

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com