Moral, Agama dan Kriminalitas

Saya sangat terenyuh ketika menyaksikan sejumlah kriminalitas yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air sana. Dari mulai kekerasan pada anak (chil abuse), pelecehan seksual, pencurian, perampokan dan, bahkan pembunuhan maha sadis dengan memotong-motong organ tubuh korban (Mutilasi).
Barangkali kita masih ingat, kasus penyiksaan yang dilakukan majikan terhadap anak pembantunya yang baru berumur 1 tahun 10 bulan. Ia kerap kali menerima siksaan berupa pemukulan, menggunting bulu alis hingga pembakaran. Sang ibu meski mengetahui tindakan biadab majikan tetap saja ia enggan melapor karena takut dipecat.
Kita tinggalkan bocah malang itu, dilain tempat bocah lima tahun tewas di tangan bapaknya sendiri karena membiarkan anjing liar memakan nasi di dapurnya.
Kejadian miring lainnya adalah seorang bocah yang disiksa gurunya sendiri karena mencoret tas milik temannya, guru tersebut menyeret murid ke kantor setelah menerima pengaduan dari pemilik tas. apa yang terjadi di kantor?. menurut pengakuan korban dan beberapa saksi, ia disuruh Push Up sebanyak 50 kali kemudian dibenturkan ke dingding dua kali. Ironisnya, aksi kriminal tersebut dilakukan di kantor serta disaksikan beberapa orang guru dan tak satu orangpun mencoba mencegah.
Ketiga kasus di atas bukan hot crime saat ini, ada yang lebih gila lagi, yaitu kasus pembunuhan berantai (multiple killer) terhadap 11 orang korban yang dilakukan Verry Idham Henyaksyah alias Ryan, beserta kasus “pasutri gunung batu” yang menelan korban pasangan suami istri yang dilakoni Firman. Ryan dan Firman, selain menghabisi nyawa sejumlah korban ia juga tanpa tedeng aling memutilasi organ tubuh korban.
Sedemikian “perkasakah” nyali penduduk negeri kita saat ini, menghabisi nyawa saudara sendiripun seakan menjadi lumrah. Di manakah fungsi moral dan adat ketimuran di negeri melayu yang kedudukannya sangat diagung-agungkan itu. Sedemikian mandulkah peran dan fungsi agama untuk mencegah terjadinya kriminalitas dan dosa.
Dalam tulisannya Dampak Negatif Kemajuan Teknologi Terhadap Pola Tingkah Laku Manusia, Beny Suntoyo mengemukakan alasan psikologis dan psikososial yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindak kejahatan, Faktor endogen dan eksogen.
Endogen adalah faktor dalam diri layaknya egosentris dan fanatis yang berlebihan. Seseorang dapat saja melakukan kejahatan ketika mendapat stimulus negatif yang menyudutkan. Sementara itu, eksogen adalah faktor luar yang sangat kompleks dan bervariasi. Kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dsb. adalah diantara sekian banyak realitas yang sangat rentan menyulut terjadinya konflik yang berujung dengan aksi kriminalitas.
Jika mengurai kriminalitas dari kaca mata moral dan agama yang bersumber dari nash-nash al-Qur’ân dan al-Hatîts, 14 abad silam sebetulnya telah dinyatakan bahwa ada dua faktor yang bisa menjadi embrio kejahatan dan dosa, yakni perut dan kelamin.
Perut dan kelamin dalam pemahaman Islam disinyalir kuat menjadi akar kemaksiatan dan kriminalitas. Peringatan ini dapat dimaklumi bersama karena pada prinsipnya kedua organ tersebut adalah organ vital yang menjadi alasan binatang untuk bertahan hidup. Tak ada aturan main, tak ada kepastian hukum, hanya hukum rimbalah yang berlaku untuk meladeni hajat insting hewani tersebut. Tidak peduli kakak mencabuli adiknya, anak mencabuli induknya atau sebaliknya.
Diantara nash yang menyinggung korelasi perut dengan kejahatan ialah pengaruh makanan yang terkandung di dalam firman Allah Swt. yang menyeru umat manusia untuk mengkonsumi makanan yang halal dan baik (halâlan Thayyiban) QS Al-Baqarah [2]: 169-168, QS Al-Baqarah [2]: 172-173 dst. Makanan yang halal dan baik, disamping menjamin terjaganya kesehatan jasmani, juga akan semakin mendorong meningkatkan kualitas takwa dan syukur kepada Allah Swt.
Faktor psikologis endogen (dorongan dalam) sebetulnya sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi. Pepatah You are what you eat semakin memperkuat sinyalemen diatas bahwa manusia akan menjadi atau mirip dengan apa yang dimakannya.
Sabda Rasulullah Saw tentang hubungan makanan dengan tingkah laku, “Tidak ada tempat dalam tubuh anak cucu Nabi Adam yang lebih jelek daripada perutnya.” (HR. Tirmidzi) semakin mempertegas bahwa syahwat perut memiki tingkat sensitifitas yang rentan mendorong empunya untuk berbuat maksiyat.
Untuk standarisasi halal dan thayyib Islam terlebih dahului memberi rambu yang ketat, yaitu tidak hanya halal sebatas substansi, tapi cara mendapatkannya pun mesti jelas. Makanan haram (substansi maupun cara memperolehnya) meskipun secara lahiriyah mengandung gizi dan vitamin yang cukup, tetap saja akan melahirkan perilaku yang buruk dan merusak, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, didunia kini dan di akhirat nanti.
Sampai disni, kiranya bisa ditarik kesimpulan prematur bahwa jika ingin mengurangi angka kriminalitas, paling tidak setiap individu mesti memiliki kesadaran kolektif untuk bisa komitmen mengontrol syahwat hewani tersebut. Bukan dengan maksud untuk mengebiri, tapi berikanlah hak setelah terpenuhinya kewajiban, Kewajiban dan hak perut beserta kelamin dalam koridor syar’i.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home