Dari Gender Equelity Hingga Homoseksual

Efek globalisasi yang mengikis batas geografis dan ideologis kini sangat nyata, gerakan gender equelity yang dikampanyekan dibarat, kini sudah mengehembus ketimur. Gerakan yang menuntut kesetaraan hak perempuan sejajar dengan kaum Adam tumbuh subur diberbagai tempat. Lagi-lagi agama yang dinilai mapan harus menjadi objek perdebatan, persoalan waris harus ditinjau ulang, pasalnya karena diskriminatif, tidak mengusung nilai keadilan dan persamaan. Pada akhirnya Islam menjadi kambing hitam karena dianggap memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua.
Sachiko Murata, seorang muslimah Jepang telah mengupas habis diskursus realasi gender ini dalam bukunya The Tao of Islam dengan lebih objektif dan konfrehensiv.
Setelah kesetaraan gender mendapat respon yang positif. kini episode seksualitas yang pernah tabu marak diperbincangkan ditengah publik. Bukan lagi persoalan seks education yang menjadi sorotan, tatapi homoseksual sebagai orientasi seks yang dianggap menyimpang, abnormal dan asusila mulai dipertanyakan dan diperjuangkan. Anggapan bahwa heteroseksual hanya satu-satunya orientasi seks yang sah kini mendapat gugatan ekstra dari komunitas yang termarjinalkan itu.
Pelegalan homoseksual kian terasa dan terorganisir sedemikian rapih. Mereka ingin mendapatkan tempat yang layak ditengah publik yang terkadang mencibir, merendahkan dan mengeliminir.
Untuk mendapatkan restu dari pelbagai pihak, gerakan homoseksual ini mencari dalih bahwa perilakunya tidak seburuk opini yang selama ini mengakar dimasyarakat. Bukan penyimpangan tapi, normal. bahkan skandal ini juga dinilai fitrah yang dianugrahkan tuhan pada sebagian makhluk-Nya.
Mulai dari studi psikologis kejiwaan homoseksual, hingga studi literatur teks keagamaan menjadi objek pengkajian destruktif untuk mendapatkan legalitas publik.
John Shelby Spong misalnya, seorang uskup kristen New Jersey USA yang liberal melakukan kritik terhadap teks Bibel yang dinilai diskriminatif. Spong menegaskan bahwa gereja mestinya merangkul semua realitas kemanusiaan, baik dia hitam ataupun putih, jahat dan baik, karistus dan anti kristus, homoseksual, biseksual dan heteroseksual. Namun karena keputusannya itu melawan arus geraja, pada akhirnya ia harus menelan pil pahit vonis yang memecatnya dari keuskupan pada Februari 2000 setelah 24 tahun ia mengabdi.
Jika kita kritisi, Pendapat Shelby spong tersebut sepintas “menyilaukan” bagi kalangan awam, karena rentan dianggap membawa visi kemanusiaan yang penuh kasih sayang. Namun untuk uskup yang berpuluh tahun berprofesi sebagai agamawan yang bergelut dengan Bibel, pikirannya diniali dangkal. Saat ia mengeluarkan steatement itu, ia pada dasarnya membawa pesan keabsurdan nilai agama yang harusnya menyeru manusia kepada kebajikan dan mencegah tindakan pengrusakan dan penyimpangan, bukan justu sebaliknya menjadikan agama yang nihilistik.
Dengan hadirnya buku Indahnya Kawin Sesama jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005) Fakta ini membuktikan bahwa gerakan ini bukan saja hadir dizona out side Islam tapi in side juga ada. Ironisnya mereka adalah orang yang notabene aset umat yang bernaung di Universitas berlebelkan Islam yang mestinya menjadi cikal bakal ulama yang bertanggungjawab menjaga kemurnian Islam.
Kini, yang menjadi dalih bukan saja atas nama HAM dan kebebasan lagi, tapi syari’at agama yang mapan pun mulai dipertanyakan. Kritik epistemologi pernikahan, hukum KUHP Pernikahan, Studi lingustik padanan kata liwath, tafsir teks yang diskriminatif, kaidah-kaidah ushul fikh, bahkan studi historis fakta sadom dan gomora yang dibisansakan mulai dimitoskan adalah sejumlah alasan “non metodologis” yang sama sekali tak berdasar.
Sungguh memprihatinkan, ketika teks suci diagungkan dalam kurun waktu berabad-abad, kini mulai diragukan keabsahannya, alih-alih karena tidak membawa pesan agama yang seharusnya membawa kemaslahatan, humanis, tidak diskriminatif, dan rahmatan lil ‘âlamîn. Pemahaman islam pada akhirnya cenderung dipaksakun untuk tunduk dibawah nalar yang dangkal hanya demi memenuhi “syahwat” dan naluri kemanusiaan.
Disfungsi Agama
Usaha mencari pelegalan pun tidak berhenti dengan hanya mengkritisi nalar teologis teks keagamaan yang disinyalir kuat memposisikan homoseks sebagai perbuatan terkutuk yang dimurkai tuhan. Bagai gayung bersambut, pada tahun 1990-an aktivitas penelitian dalam dunia psikologi dan kejiwaan para gay kian gencar sampai menyentuh ranah genetik pengidap homoseksual ini. Teori Sigmun Freud seakan mendukung aksi “jaddah” ini, karena menurutnya manusia terlahir kedunia ini dengan biseksual. Yang menentukan ia menjadi heteroseks atau homoseks adalah tergantung genetik mana yang lebih dominan. Laki-laki yang mewarisi sifat feminim lebih besar cenderung menjadi seorang gay, dan perempuan yang lebih dominan menerima maskulinitas bapaknya akan menjadi seorang lesbian.
Faktor penyebab homoseksualitas sebagai orientasi seks sampai sekarang memang masih debateble, namun banyak peneliti seks yang percaya bahwa itu disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor-faktor sosiokultural dan biologis.
Adian Husaini dalam kolom Catata Akhir pecan (CAP) gerakan homoseksual IAIN Semarang menegaskan bahwa Persoalan homoseks bukanlah persoalan kodrat manusia. Kodrat bahwa seorang berpotensi sebagai homo atau lesbi adalah anugerah dan ujian Tuhan. Tetapi, penyaluran seksual sesama jenis merupakan dosa yang dikecam keras dalam ajaran agama. Dan orientasi seksual ini sangat bisa dikendalikan dan dirubah.
Berbagai kecaman yang terkandung dalam nash-nash qhat’i kini seakan menemui ajalnya, kalam tuhan tidak lagi dihiraukan, sabda Nabi menjadi mandul, entah apa yang akan menjadi napigator hidup jika kedua sumber nilai yang paling agung itu tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya.
Menelususri Teks
Terdapat banyak nash al-Qur’an dan hadîts yang menggunakan logika mantiq mafhûm muwafaqoh dalam pengharaman, diantaranya, larangan menyakiti orang tua dengan menggunakan kata terndah; uffin, larangan mendekati perbuatan mesum yang akan mendekatkan pada zina serta larangan untuk tidur dalam satu selimut untuk laki-laki ataupun perempuan sebagai warning up agar tidak terjerumus pada aksi jadah yang pernah dilakoni sadom dan Gomorah.
Dari nash yang memiliki makna serupa diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa untuk pengharaman yang sifatnya sangat keras Allah Swt terlebih dahulu memberikan rambu frepentif, agar lebih diperhatikan.
Kaidah ushul fikih mempertegas bahwa jika Islam melarang sesuatu, washilah-washilah yang mendukung penghraman itupun dilarang (an-nahyu ‘an syain nahyun bi wasâilihi atau mâ yufîdû ilâ ‘l harâm fa huwa ‘l harâm.
Selain itu, dalam hadits terkadang Rasulullah memberikan pengulangan kata yang bermakna taukid untuk mempertegs kedudukan hukum. Ancaman berbuat mesum sesama jenis termasuk satu diantanya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Ya’la Rosulullah Saw bersabda; "Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth.
Terakhir, dalam bukunya ad-Dâ` Wa ad-Dawâ, Ibu Qayyim Al-Jauziyyah mengemukakan bahwa ijma' shahabat mengatakan, "Tidak ada satu perbuatan maksiat pun yang kerusakannya lebih besar dibanding perbuatan homoseksual. Bahkan dosanya berada persis di bawah tingkatan kekufuran bahkan lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan tindakan pembunuhan."
0 Comments:
Post a Comment
<< Home