Menggugat Pencitraan

Oleh Agus Taufik Rahman
Pencitraan timur khususnya Islam dengan terorisme memang telah mengakar dalam pandangan barat. Betapapun kita merengek mengatakan bahwa islam lebih humanis, tetap saja takkan memberikan hasil apa-apa. Perilaku ekslusif, barbar, diskriminatif dan teror adalah sejumlah stigma negatif yang sulit dienyahkan.
Hanya ada satu hubungan mesra yang abadi antara barat dan timur, kepentingan! kepentingan barat pada timur sebagai sapi perah, kerinduan barat pada timur untuk menancapkan kapitalisme global serta kecintaan barat pada timur untuk menjadikannya "boneka atau (maaf) anjing peliaraan". Pola hubungan tersebut semakin diperkuat dengan mega proyek Samuel Huntington dalam Clash of Civilization yang kerap mempertentangkan barat dan timur sebagai peradaban yang mesti berhadap-hadapan.
Ironisnya, segala tindakan amoral dan terkutuknya barat selalu saja di peyoratifkan. Penjajahan dan pembodohan negeri timur mereka namakan ekspedisi rempah-rempah. Atas nama demokrasi mereka berlindung dari ketidakberdayaan. Bagaimana bisa kita maklumi barat yang mengaku paling demokratis, dipentas Perserikatan Bangsa-bangsa bisa membombardir Irak hanya dengan dukungan 5 negara sekutu sedangkan 150 negara lainnya yang tidak setuju sama sekali diabaikan. Demokratis yang teramat lucu untuk dipertontonkan.
Bagai do'a sapu jagat, disaat mereka terpojok dengan kondisi terjepit mereka lalu berteriak dengan lantang agar segera datang mesiah atas nama kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Kasus paling mencolok adalah saat orang yang diakui oleh Michael H. Hart sebagai manusia paling berpengaruh didunia, Muhammad Saw. dilecehkan diatas kanvas karikatur Jyllands Posten yang menjijikan. Tanpa rasa malu mereka berlindung dibalik tirai kebebasan berekspresi, kreasi dan pers, disaat seluruh umat muslim sejagat mengecam.
Sungguh pencitraan yang sempurna ketika World Trade Centre (WTC) diluluh lantahkan, serta merta begitu saja menjadi hari kemanusiaan sedunia. Sedangkan pecundang dibalik semua itu adalah simbol-simbol jenggot, sorban serta atribut-atribut Islam lainnya. Apakah ada konspirasi dibalik semua itu, entahlah karena kita hanya berani menyuarakannya dibalik mimbar-mimbar dan mikrofon kecil mesjid yang sangat terbatas.
Adakah saatnya barat tertarik untuk mecitrakan islam dengan nilai-nilai humanisme yang agung? sekaranglah saatnya kita menunggu reaksi itu. Disaat seluruh umat muslim seisi saentero jagat ini melaksanakan prosesi ibadah puasa yang sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Ketika rasa simpati dan empati antar sesama lebih mengemuka untuk saling berbagi, sama rasa senasib sepenaggungan.
Satu bulan penuh Ramadlan, bagi barat adalah satu tantangan berat untuk mencitrakan Islam lebih objektif, karena disini nilai-nilai humanisme lebih menonjol sedangkan akhlah agresi sedapat mungkin untuk ditekan. Solidaritas dan kepedulian baik sesama muslim, ataupun yang lain sungguh tampak, karena setiap individu ingin mempersembahkan potensi terbaik dalam bentuk ibadah pada rabb-nya.
Sangat disayangkan, karena dalam kamus barat potret Islam yang humanis adalah mustahil, dan teramat tabu untuk dielaborasi. Asumsi ini diperuncing dengan hadirnya buku Islam Unveiled karangan Robert Spencer. Dalam bukunya tersebut Spancer menuding Islam sebagai agama yang anti HAM dan menyeru umatnya untuk melakukan “jihad demografik”.
Alih-alih mencitrakan Islam lebih objektif, yang tumbuh subut malah kritik tak berdasar yang dialamatkan pada sejunlah manifesto ajaran Islam, mulai dari pengaburan makna, penyelewangan hingga pemitosan sejumlah fakta yang berabad-abad terjamin keabsahannya. Salah satunya adalah pernyataan untuk membela kaum homoseks yang menganggap kisah sadom dan gomorah adalah mitos yang disejarahkan. Begitu pula dengan sentimentil pada Nabi Muhammad Saw. para orientalis menyanggah keabsahan sirah nabawiyyah dan menyebutnya sebagai cita-cita umat islam yang fiktif pada nabinya. (TR)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home