Menguak Fakta Di Balik Hukuman Mati Amrozi Cs

“The Smilling Assassin”, terpidana yang suka tersenyum. Media massa Australia menyebut Amrozi, pelaku Bom Bali (BB) yang meledakkan Paddi`s Bar dan Sari Club di Legian Kuta Bali, (12/10/02) silam, dua tempat rehat turis yang melancong ke Pulau Dewata. Ledakan dahsyat itu melumat 47 bangunan, merenggut 202 jiwa, dan mencederai 300-an orang. Dari korban yang tewas, 38 orang pribumi, selebihnya turis. Warga Australia, Inggris, dan Amerika Serikat menempati urutan teratas daftar turis yang tewas dalam tragedi itu.
Sosok Amrozi sejak kasus BB memang kian meroket bukan hanya karena aksi nekadnya membunuh manusia dalam jumlah massal, namun sikapnya yang acuh mengikuti prosesi persidangan juga menuai perspektif miring. Persidangan perdana Kasus BB digelar Pengadilan Negeri (PN) Denpasar di Gedung Nari Graha, Renon, Denpasar, (12/5/03) yang diketuai I Made Karna, Ketua PN Denpasar. Sesuai surat dakwaan, berkas, dan barang bukti yang dilimpahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke PN Denpasar, Amrozi diancam dengan pasal-pasal pidana berlapis. Dengan dakwaan menggunakan pasal-pasal peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Amrozi diancam hukuman mati. Kamis, (07/08/03) PN Denpasar menggelar kembali sidang lanjutan kasus Bom Bali dengan terdakwa Amrozi bersama dua rekannya, Muklas dan Imam Samudera. Pada persidangan itu, ketiganya dijatuhi hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar yang menyidangkan mereka secara berturut-turut sejak Mei hingga September 2003.
Putusan hukuman mati Amrozi langsung mendapat respon Australia. Surat kabar di Negeri Kanguru itu pada edisi Jumat (8/8) memuji pengadilan Indonesia yang menjatuhkan hukuman mati untuk Amrozi, pelaku peledakan bom Bali. Pujian juga datang dari pemerintah Amerika Serikat. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Tara Rigler menyatakan otoritas pengadilan Indonesia telah menunjukkan profesionalitas dalam bekerja. “Putusan pengadilan itu menjadi pesan yang jelas bahwa Indonesia serius memerangi terorisme,” kata Rigler.
Vonis hukuman mati ternyata belum final, 04Juli 2004 Mahkamah Agung (MA) menyatakan undang-undang yang digunakan untuk memvonisnya tidak berlaku lagi. Di masa-masa putusan eksekusi yang mengambang, Amrozi semula mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kerobokan, Kab. Badung, Bali kemudian mereka dipindahkan penahanannya ke Lapas Batu, Nusakambangan (11/09/05) sembari menunggu proses hukum lebih lanjut. Dalam proses hukum lanjutan itu memungkinkan melaksanakan banding, kasasi, hingga permohonan Peninjauan Kembali (PK) terkait putusan PN Denpasar atas terdakwa Amrozi dkk.
Dilema
Dari sinilah (putusan hukuman mati) terdakwa kasus BB, saya pakai sebagai “bahan cermatan” sekadar menguak kejanggalan proses peradilan yang dengan sendirinya akan memunculkan persepsi bahwa kasus BB—diakui atau tidak—sarat bermuatan tekanan pihak-pihak yang memiliki kepentingan makro terhadap Indonesia. Meskipun, saya sendiri menyesalkan perilaku nekad Amrozi, sebagai seorang muslim saya menolak tindak kekerasan terhadap warga asing (yang bermaksiat) di negara yang tidak menerapkan sistem syariat, ada jalur lain yang bisa kita tempuh.
Keanehan pertama, seperti yang dikemukakan salah seorang pengamat hukum, Harun Nyak Itam Abu, SH., bahwa Perpu No 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam kasus Peledakan Bom di Bali (12/10/02) yang digunakan untuk menuntut Amrozi dkk. bertentangan dengan; Pertama, Pasal 28 I ayat (1) amandemen kedua UUD 1945, yang antara lain disebutkan: "... hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
Kedua, Pasal 4 UU No 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan: "... hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun ...."
Ketiga, Asas “nullum delictum noela poena sine previa lega poenali”, asas sentral dalam hukum pidana yang telah dijadikan norma dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Asas nullum delictum ini berarti seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada peraturan yang mengatur perbuatan itu lebih dulu. Digunakannya Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam peristiwa BB I melalui Perpu No.2/2002 terkesan "sangat dipaksakan", sebab sampai sekarang malah menciptakan problematika yuridis-normatif, antara lain pemberlakuan asas retro aktif yang bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Atas dasar itu pula Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Perpu No.2/2002 tersebut.
Seyogyanya untuk menangani kasus “terorisme”, terutama dalam upaya menjerat pelaku BB I dan menghukum mati Amrozi dkk. Penuntut Umum —Tri Arif Gunawan Cs.— masih dapat menggunakan beberapa pasal KUHP, UU No.12/Drt 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak atau dapat pula menggunakan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM —yang saat terjadi peristiwa BB I sudah berlaku di NKRI—, mengingat aksi Amrozi dkk. dalam peristiwa BB I dapat pula dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.
Keanehan kedua, bila kasus Bom Bali kita kaitkan dengan kasus Balinine, yaitu sembilan orang penyelundup Narkoba (heroin) seberat 8.3 kg seharga Empat Juta Dollar Australia yang ditangkap di Denpasar, Bali 17/04/05. Stephen Smith, Menteri Luar Negeri Australia, menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Ia berupaya melobi pemerintah Indonesia agar memberikan clemency (pengampunan) terhadap tiga terpidana mati warga Australia yang terlibat kasus Balinine.
Australia memang telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di negerinya. Keikutsertaan mereka dalam berbagai konvensi HAM Internasional dan pandangan mereka bahwa hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan membuat mereka menolak hukuman mati. Menurut Heru Susetyo, Staf Pengajar Fakultas Hukum UI, sebagai suatu pandangan yang sah-sah saja dan harus dihargai. Namun, ketika Australia memandang secara berbeda hukuman mati terhadap Bali Nine dan terhadap tiga terpidana mati kasus Bom Bali Amrozi, tentunya ini adalah sikap yang tidak adil, ambivalen, dan diskriminatif. Wallahu a`lam []
1 Comments:
Apakah hukuman mati itu melanggar HAM?
Post a Comment
<< Home