Disfungsi Zakat, Amilîn dan Baitul Mâl

Oleh: Agus Taufik Rahman
Saat pojok kantor Persis dihangatkan dengan diskusi keabsahan zakat fitrah dengan nilai uang (qiemah), dilain tempat kawan mahasiswa mungkin sedang mengobarkan semangat juang mendatangi Masjid yang tercium aroma musa’adah, walau harus lelah menyusuri lorong sempit, tak jadi soal! lagi, Disaat batasan pembagian zakat alot diperbincangkan dengan mengurai sejarah teks konteks masa silam, justu di tanah air nan jauh terdengar berita memilukan, tragedi zakat Pasuruan, 21 koraban jiwa! Apa hendak dikata, zakat yang mestinya menyuburkan kehidupan malah menegasikan fakta, bentuk ubudiayyah yang mestinya memakmurkan justru mematikan.
Sebagai catatan, tragedi bembagian zakat yang menelan korban jiwa bukan pertama kali ini saja, pada tahun 2003 silam di Jalan Raya pasar Minggu, saat itu sebanyak empat orang tewas berikut belasan orang pingsan. Demikian pula pembagian zakat yang dilakukan keluarga Muzakki di Gresik 28 September 2007, saat itu, satu orang tewas dan beberapa mustahik terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena terinjak-injak.
Dalam bingkai normatif, muslim mana yang meragukan dan menyangkal bahwa zakat pada hakikatnya mampu mengentaskan kemiskinan dan kefakiran. Namun, lagi-lagi dogma tersebut sepertinya hanya terdapat dalam diskursus ekonomi yang amat sulit untuk diejawantahkan dalam dialektika hidup yang benar-benar nyata. Di tanah air misalnya, dalam peta pengentasan kemiskinan zakat mungkin saja hingga saat ini fikh zakat tak lebih dari sekedar pelipur lara.
Minimnya pemberlajaran yang konprehensif dalam berbagai hal menyembabkan kita terlalu asik dengan epik romantisme zakat yang terjadi di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz tanpa dibarengai hasrat untuk mengambil ibroh kenapa bisa sedemikian sukses. Apakah potret kehidupan seperti itu akan terulang kini? sejuta harapan kosong masih menyelimuti asa itu. karena kita lebih tertarik dengan pola kehidupan yang dinamis dimana tangan si lemah menengadah untuk minta dikasihani sementara orang kaya dengan bangganya menyantuni.
Sejauh ini, kita tahu persis kewajiban zakat yang 2,5 persen dan bagaimana dikumpulkan, namun bagaimana penyaluran dan pendistribusian yang yang arif tidak pernah mau mencontoh salafu asshalih, yang pada akhirnya selalu saja menyisakan persoalan yang akut. Itu, tidak hanya terjadi di Indonesia sana, disinipun, ditengah cipitas mahasiswa pengkaji literatis Islam demikian adanya. Tengok saja pembagian zakat yang memaksa mustahik untuk rela antri bejam-jam.
Teknis pembagian zakat yang mestinya mamanjakan mustahik, fakir miskin dan ashnaf yang lainnya kini tinggal lagu lama yang sangat langka kita temukan. padahal dalam beberapa teks konteks sejarah Islam misalnya, terekam beberapa nash yang berbicara keharusan menyalurkan zakat kepada orang yang lebih dekat, disini menyiratkan betapa Islam sangat menekankan pada muzakki serta amilin untuk lebih peka terhadap kondisi sekitarnya sehingga tidak ada fakir muskin yang terabaikan.
Hati kita mengharu biru ketika mendengar potret sejarah Islam kala itu saat salah sorang kholifah Abbasiyyah mengutus amilin zakat untuk mendistribusikan kesalah satu propinsi namun ditolak karena ditempat itu ternyata jauh lebih makmur, salah satu penyebabnya adalah faktor pemberdayaan zakat yang profesional. kenapa etos kerja amilin yang menjemput mustahik saat ini seakan menjadi tabu.
Orang kaya yang berperan sebagai muzakki sepertinya saat ini lebih memilih dielu-elukan dalam kondisi duduk santai dikursi goyang sambil menyaksikan peluh pilu orang miskin sambil menunggu epilog belaian mesra ungkapan terima kasih setealah harta ‘kotor’ itu tersalurkan. Sang mustahik, tentus saja bukan hanya tetangganya saja, manusia dari berbagai pelosok pun bila perlu sembah sujud ditapak kakinya setalah lulus dalam perjuangan heroik saling sikut antar manusia yang senasib.
Potret ‘parade kemiskinan’ yang sarat jadi tontonan diatas berbanding terbalik dengan kondisi yang dilakoni kholifah Umar. Malam-malam ia datangi rumah warga untuk melihat keadaannya. Hal itu mencerminkan betapa Ia tahu betul bagaimana menjaga muru’ah kaum dhuafa hingga tak perlu menghinakannya dihadapan orang lain. Begitupun Rasulullah dan para sahabat tidak memfungsikan baitul maal sebagai pusat berduyun-duyun orang miskin mencari penghidupan. Tengok saka bagaimana Rasulullah mengoptimalkan fusngsi amil zakat untuk pengambilan dan pendistribusian langsung. Seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, diutus ke Bani Sulaim. Ali bin Abi Thalib untuk Yaman. Muaz bin Jabal yang diutus ke Yamamah.
Pembagian langsung atau terpusat memang akan selalu debateble, terlepas dari kepercayaan muzakki pada badan yang mengurusi hal itu. Akan tetapi ada satu hal yang lebih menarik selain bagaimana mengoptimalkan amilin dengan baik. Adalah ungkapan Umar bin Al Khattab yang menyebutkan bahwa zakat sebetulnya bukan hanya sekedar santunan konsumtif, tapi bagaimana ia mampu meningkatkan tarap hidup masyarakat yang tadinya berprofesi dari mustahik menjadi muzakki dikemudian hari.
Istilah penyaluran zakat seakan menjebak. Karena akhirnya zakat benar-benar disalurkan dan didistribusikan dalam bentuk uang. Padahal ditetapkannya amil azkat adalah untuk memetakan, merencanakan, mengembangkan dan memberdayakan zakat sebagai suatu komponen sumberdaya yang akan memakmurkan ummat. Jadi zakat memang harus didayagunakan, bukan sekedar disalurkan. Bukankah pembangunan struktur dan infra struktur sebagai saran dakwah pada masa Islam diambil dari hasil pemuntutan zakat, infak dan sedekah? Wallhu ‘alam bi As-Shawwab.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home