19 October 2008

Goodbye $!


Isu santer yang menjadi perhatian publik dunia sekarang ini adalah krisis ekonomi negara super power, Amerika Serikat.Betapa tidak, Amerika yang dikenal memiliki fondasi ekonomi yang kuat dibuat tidak berdaya oleh resesi ekonomi yang disebabkan oleh lilitan hutang Amerika yang mencapai US$ 10 triliun. Nampaknya trauma krisis ekonomi di tahun 1929 yang sering disebut ‘Great Depression’ kembali menghantui. Krisis tersebut menjadi krisis nasional bagi rakyat Amerika Serikat, seperti kesulitan keuangan karena lapangan pekerjaan sedikit hingga kelaparan. Seperti mengulang ‘Great Depression’, sekarang inipun banyak saham-saham yang menjadi maskot wall street berjatuhan satu per-satu seperti perusahaan sekaliber Lehman Brothers dan Washington Mutual.

Krisis ekonomi global ini perlu kita waspadai, karena pengaruh resesi ekonomi Amerika Serikat terhadap negara-negara lain cukup besar. Dimana perekonomian kebanyakan negara masih berkiblat kepada negara adidaya tersebut, tak terkecuali Indonesia. Bukti kongkrit dampak tersebut bagi Indonesia sendiri adalah melemahnya rupiah yang jatuh pada kisaran 9.800 per-dollar Amerika Serikat.

Mega krisis yang tengah menggelembung tersebut petanda nyata kebobrokan etika dagang plus sinyalemen kematian sistem kapitalis yang penuh persoalan. sistem ribawi, paradoksial keadilan, dan praktek monopoli adalah wajah perekonomian yang akhirnya akan seperti saat ini kita rasakan.

Semua itu terjadi karena ketergantung pada nilai urang kertas dollar yang sangat ambivalen. Penggunaan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik murni jelas hanya akan mengakibatkan perekonomian suatu bangsa bahkan dunia, tidak berjalan pada titik keseimbangan. Fluktuasi nilai tukar terus terjadi. Akibatnya, akan semakin sulit merealisasikan keadilan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat. Inilah rapuhnya sistem uang kertas yang kita anut saat ini.

Berbanding terbalik dengan dengan itu, Dinar- Dirham adalah solusi untuk keseimbangan nilai tukar, stabilitas serta keadilan ekonomi. Bukti nyata antara lain saat krisis peso meksiko 1995, nilai dinar naik 107%, ketika krisis rupiah 1997, nilainya naik melonjak 375%, ketika krisi rubel di Rusia 1998 nilainya naik 30%. Nilai dinar ini setara dengan nilai dan kenaikan harga emas. Karena dinar itu terbuat dari emas. Bahkan sejak zaman Rasulullah sampai sekarang, harga seekor kambing tetap, 1-2 dinar.

Disaat negara lain mencari obat mujarab dengan berpaling ke UERO, dan timur tengah kembali Dinar-Dirham, beranikah negara kita untuk menceraikan dollar, untuk selanjutnya mengawini alat standar perekonomi yang sehat.

Disfungsi Zakat, Amilîn dan Baitul Mâl

Oleh: Agus Taufik Rahman

Saat pojok kantor Persis dihangatkan dengan diskusi keabsahan zakat fitrah dengan nilai uang (qiemah), dilain tempat kawan mahasiswa mungkin sedang mengobarkan semangat juang mendatangi Masjid yang tercium aroma musa’adah, walau harus lelah menyusuri lorong sempit, tak jadi soal! lagi, Disaat batasan pembagian zakat alot diperbincangkan dengan mengurai sejarah teks konteks masa silam, justu di tanah air nan jauh terdengar berita memilukan, tragedi zakat Pasuruan, 21 koraban jiwa! Apa hendak dikata, zakat yang mestinya menyuburkan kehidupan malah menegasikan fakta, bentuk ubudiayyah yang mestinya memakmurkan justru mematikan.

Sebagai catatan, tragedi bembagian zakat yang menelan korban jiwa bukan pertama kali ini saja, pada tahun 2003 silam di Jalan Raya pasar Minggu, saat itu sebanyak empat orang tewas berikut belasan orang pingsan. Demikian pula pembagian zakat yang dilakukan keluarga Muzakki di Gresik 28 September 2007, saat itu, satu orang tewas dan beberapa mustahik terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena terinjak-injak.

Dalam bingkai normatif, muslim mana yang meragukan dan menyangkal bahwa zakat pada hakikatnya mampu mengentaskan kemiskinan dan kefakiran. Namun, lagi-lagi dogma tersebut sepertinya hanya terdapat dalam diskursus ekonomi yang amat sulit untuk diejawantahkan dalam dialektika hidup yang benar-benar nyata. Di tanah air misalnya, dalam peta pengentasan kemiskinan zakat mungkin saja hingga saat ini fikh zakat tak lebih dari sekedar pelipur lara.

Minimnya pemberlajaran yang konprehensif dalam berbagai hal menyembabkan kita terlalu asik dengan epik romantisme zakat yang terjadi di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz tanpa dibarengai hasrat untuk mengambil ibroh kenapa bisa sedemikian sukses. Apakah potret kehidupan seperti itu akan terulang kini? sejuta harapan kosong masih menyelimuti asa itu. karena kita lebih tertarik dengan pola kehidupan yang dinamis dimana tangan si lemah menengadah untuk minta dikasihani sementara orang kaya dengan bangganya menyantuni.

Sejauh ini, kita tahu persis kewajiban zakat yang 2,5 persen dan bagaimana dikumpulkan, namun bagaimana penyaluran dan pendistribusian yang yang arif tidak pernah mau mencontoh salafu asshalih, yang pada akhirnya selalu saja menyisakan persoalan yang akut. Itu, tidak hanya terjadi di Indonesia sana, disinipun, ditengah cipitas mahasiswa pengkaji literatis Islam demikian adanya. Tengok saja pembagian zakat yang memaksa mustahik untuk rela antri bejam-jam.

Teknis pembagian zakat yang mestinya mamanjakan mustahik, fakir miskin dan ashnaf yang lainnya kini tinggal lagu lama yang sangat langka kita temukan. padahal dalam beberapa teks konteks sejarah Islam misalnya, terekam beberapa nash yang berbicara keharusan menyalurkan zakat kepada orang yang lebih dekat, disini menyiratkan betapa Islam sangat menekankan pada muzakki serta amilin untuk lebih peka terhadap kondisi sekitarnya sehingga tidak ada fakir muskin yang terabaikan.

Hati kita mengharu biru ketika mendengar potret sejarah Islam kala itu saat salah sorang kholifah Abbasiyyah mengutus amilin zakat untuk mendistribusikan kesalah satu propinsi namun ditolak karena ditempat itu ternyata jauh lebih makmur, salah satu penyebabnya adalah faktor pemberdayaan zakat yang profesional. kenapa etos kerja amilin yang menjemput mustahik saat ini seakan menjadi tabu.

Orang kaya yang berperan sebagai muzakki sepertinya saat ini lebih memilih dielu-elukan dalam kondisi duduk santai dikursi goyang sambil menyaksikan peluh pilu orang miskin sambil menunggu epilog belaian mesra ungkapan terima kasih setealah harta ‘kotor’ itu tersalurkan. Sang mustahik, tentus saja bukan hanya tetangganya saja, manusia dari berbagai pelosok pun bila perlu sembah sujud ditapak kakinya setalah lulus dalam perjuangan heroik saling sikut antar manusia yang senasib.

Potret ‘parade kemiskinan’ yang sarat jadi tontonan diatas berbanding terbalik dengan kondisi yang dilakoni kholifah Umar. Malam-malam ia datangi rumah warga untuk melihat keadaannya. Hal itu mencerminkan betapa Ia tahu betul bagaimana menjaga muru’ah kaum dhuafa hingga tak perlu menghinakannya dihadapan orang lain. Begitupun Rasulullah dan para sahabat tidak memfungsikan baitul maal sebagai pusat berduyun-duyun orang miskin mencari penghidupan. Tengok saka bagaimana Rasulullah mengoptimalkan fusngsi amil zakat untuk pengambilan dan pendistribusian langsung. Seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, diutus ke Bani Sulaim. Ali bin Abi Thalib untuk Yaman. Muaz bin Jabal yang diutus ke Yamamah.

Pembagian langsung atau terpusat memang akan selalu debateble, terlepas dari kepercayaan muzakki pada badan yang mengurusi hal itu. Akan tetapi ada satu hal yang lebih menarik selain bagaimana mengoptimalkan amilin dengan baik. Adalah ungkapan Umar bin Al Khattab yang menyebutkan bahwa zakat sebetulnya bukan hanya sekedar santunan konsumtif, tapi bagaimana ia mampu meningkatkan tarap hidup masyarakat yang tadinya berprofesi dari mustahik menjadi muzakki dikemudian hari.

Istilah penyaluran zakat seakan menjebak. Karena akhirnya zakat benar-benar disalurkan dan didistribusikan dalam bentuk uang. Padahal ditetapkannya amil azkat adalah untuk memetakan, merencanakan, mengembangkan dan memberdayakan zakat sebagai suatu komponen sumberdaya yang akan memakmurkan ummat. Jadi zakat memang harus didayagunakan, bukan sekedar disalurkan. Bukankah pembangunan struktur dan infra struktur sebagai saran dakwah pada masa Islam diambil dari hasil pemuntutan zakat, infak dan sedekah? Wallhu ‘alam bi As-Shawwab.

Mulailah Dari Diri Sendiri

Oleh: Shofy Arinie Mutammiman


Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan pencipta langit, bumi beserta isinya. Tuhan yang Maha mengatur alam, manusia dan kehidupan. Shalawat beserta salam atas Nabi Muhammad Saw, sahabat-sahabatnya dan para pengikut jejak langkah dakwahnya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt merupakan sebaik-baiknya ciptaan. Sesuai dengan fitrahnya, setiap manusia tentu memiliki kecenderungan untuk berbuat kebaikan. Namun sudah menjadi karakter dan tabiat manusia itu sendiri, mempunyai potensi baik dan buruk. Sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya" (QS. 91:8).

Tidak ada sesuatupun yang telah Allah ciptakan adalah sia-sia. Baik itu berupa kebajikan ataupun kejahatan. Allah memberitahukan jalan-jalan yang mesti dilalui dan ditinggalkan dengan berbagai konsekwensinya. Dan manusia mempunyai kebebasan memilih antara kedua jalan itu, tentu saja dengan kesiapan menerima akibatnya.

Allah menjadikan madharat ada pada kejahatan oleh karenanya harus ditinggalkan. Begitu pula Allah ciptakan berbagai manfaat yang terkandung dalam kebaikan. Dan, adalah kewajiban manusia untuk saling mengingatkan satu sama lain demi terciptanya kemashlahatan seluruh umat manusia yang terjauh dari kerusakan."Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". (QS. 03:104).

Kriminalitas adalah salah satu bentuk kemadharatan. Merupakan segala bentuk tindakan kejahatan yang jauh dari manfaat, menimbulkan kerusakan di muka bumi, memecah belah persaudaraan, menebarkan fitnah dan melanggar syari'at Islam. Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas melarang segala bentuk kejahatan karena jauh dari niali humanis ajaran Islam.

Kejahatan harus dihadapi dengan penuh kesabaran, sabar untuk tidak terbawa pengaruh dan terjerat di dalamnya namun tetap dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan."Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya".(QS. 05:02).

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi)

Rasulullah sebagai suri tauladan umat manusia telah mengajarkan segala bentuk kebaikan dan bagaimana bersikap ketika berhadapan dengan orang kafir. Ketauladanan Rasulullah ini pun diakui oleh dunia bahkan, sang Pencipta memberi gelar dengan sebutan Uswatun Hasanah yang tertera dalam al-Quran. Oleh karenanya, keberadaan beliau bagaikan sumber hukum dalam bertindak. Sebagaimana kita ketahui pahit getir dalam perjuangan, Rasulullah berdakwah dengan kesabaran dan kesungguhannya, ia tak goyah menegakan syi'ar Islam walau dengan bermacam tekanan orang-orang kafir. Justru dengan kesabarannya itulah yang pada akhirnya mengantarkan pada kegemilangan dan tegaknya syari'at Islam.

Rasulullah adalah sosok yang lemah lembut dalam berucap tetapi tegas dalam bersikap. Begitu pula terhadap orang-orang kafir, Rasulullah diperintahkan agar bersikap keras dan tegas akan tetapi tetap menebarkan kasih sayang sesama mereka. Itulah yang diajarkan Rasulullah dalam mengerjakan kebaikan, menjaga persaudaraan dan menghindari kejahatan serta perpecahan.

Prilaku utama harus bermula dari diri sendiri. Sebagaimana Rasulullah menyatakan "Ibda Bi Nafsik; Mulailah dari diri sendiri". Bagaimana orang lain akan mendengar ucapan kita sedangkan kita tidak berbuat dengan apa yang diucapkan. Ketika kita memerintahkan seseorang agar meninggalkan kejahatan, kita harus memulai dari diri sendiri dalam menjauhi kejahatan itu. Karena ketauladaan bersumber dari konsistensi, keluasan ilmu dan sinkronisasi antara teori dan praktik."Apakah patut kamu menyuruh manusia berbuat kebaikan sedangkan kamu sendiri tidak melakukannya, padahal kamu membaca kitab. Apakah kamu tidak berakal?".(QS. 02:44)

“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Seuntai petuah singkat yang sudah akrab ditelinga kita. Bahwa kekuatan terbangun diatas dasar kerjasama dan ukhuwah, bukan sebaliknya bergerak sendiri-sendiri tanpa peduli dengan nasib sesamanya. Begitu pula dalam proses menebarkan kebaikan, kita perlu melakukannya secara bersama-sama. Dengan persatuan dan kesatuan itulah akan terbangun kekuatan yang diharapkan mampu mengantarkan kepada perdamaian dan kegemilangan Islam seperti semula. "Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai". (QS. 03:103).

Bertambah usia tentunya harus diimbangi dengan kematangan berfikir dan bertindak. Maka sejak dini, marilah kita bersama-sama menanamkan prinsip hidup seperti yang diajarkan Rasulullah dan sahabatnya. Mulailah dari diri sendiri untuk memperbaiki amal ibadah kita dengan tidak mengabaikan kandungan nilai ibadah tersebut untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kita galakkan nilai-niali yang terkandung dari missi shalat, shaum, sedekah dan amalan lain yang menebarkan benih-benih kebaikan dan persaudaraan. Kita bangun pribadi yang kuat dengan nilai-nilai Islam yang anti terhadap kekerasan atau tindak kriminalitas. Kita bangun ketauladanan didalam masyarakat kita. Karena krisis keteladanan akan menjadikan masyarakat tak lagi peduli terhadap pemimpin dan negerinya. Dan semua itu...Mulailah Dari Diri Kita!

“Sesungguhnya Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali kepada keasingan sebagaimana awalnya maka maka bergembiralah bagi orang-orang yang asing.” Rasulullah ditanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Jawab beliau: “Yaitu yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak.” (Shahih HR Abu Amr Ad Dani dari sahabat Ibnu Mas’ud). Wallahu a'lam bisshawab.

Menguak Fakta Di Balik Hukuman Mati Amrozi Cs

The Smilling Assassin”, terpidana yang suka tersenyum. Media massa Australia menyebut Amrozi, pelaku Bom Bali (BB) yang meledakkan Paddi`s Bar dan Sari Club di Legian Kuta Bali, (12/10/02) silam, dua tempat rehat turis yang melancong ke Pulau Dewata. Ledakan dahsyat itu melumat 47 bangunan, merenggut 202 jiwa, dan mencederai 300-an orang. Dari korban yang tewas, 38 orang pribumi, selebihnya turis. Warga Australia, Inggris, dan Amerika Serikat menempati urutan teratas daftar turis yang tewas dalam tragedi itu.

Sosok Amrozi sejak kasus BB memang kian meroket bukan hanya karena aksi nekadnya membunuh manusia dalam jumlah massal, namun sikapnya yang acuh mengikuti prosesi persidangan juga menuai perspektif miring. Persidangan perdana Kasus BB digelar Pengadilan Negeri (PN) Denpasar di Gedung Nari Graha, Renon, Denpasar, (12/5/03) yang diketuai I Made Karna, Ketua PN Denpasar. Sesuai surat dakwaan, berkas, dan barang bukti yang dilimpahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke PN Denpasar, Amrozi diancam dengan pasal-pasal pidana berlapis. Dengan dakwaan menggunakan pasal-pasal peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Amrozi diancam hukuman mati. Kamis, (07/08/03) PN Denpasar menggelar kembali sidang lanjutan kasus Bom Bali dengan terdakwa Amrozi bersama dua rekannya, Muklas dan Imam Samudera. Pada persidangan itu, ketiganya dijatuhi hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar yang menyidangkan mereka secara berturut-turut sejak Mei hingga September 2003.

Putusan hukuman mati Amrozi langsung mendapat respon Australia. Surat kabar di Negeri Kanguru itu pada edisi Jumat (8/8) memuji pengadilan Indonesia yang menjatuhkan hukuman mati untuk Amrozi, pelaku peledakan bom Bali. Pujian juga datang dari pemerintah Amerika Serikat. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Tara Rigler menyatakan otoritas pengadilan Indonesia telah menunjukkan profesionalitas dalam bekerja. “Putusan pengadilan itu menjadi pesan yang jelas bahwa Indonesia serius memerangi terorisme,” kata Rigler.

Vonis hukuman mati ternyata belum final, 04Juli 2004 Mahkamah Agung (MA) menyatakan undang-undang yang digunakan untuk memvonisnya tidak berlaku lagi. Di masa-masa putusan eksekusi yang mengambang, Amrozi semula mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kerobokan, Kab. Badung, Bali kemudian mereka dipindahkan penahanannya ke Lapas Batu, Nusakambangan (11/09/05) sembari menunggu proses hukum lebih lanjut. Dalam proses hukum lanjutan itu memungkinkan melaksanakan banding, kasasi, hingga permohonan Peninjauan Kembali (PK) terkait putusan PN Denpasar atas terdakwa Amrozi dkk.

Dilema

Dari sinilah (putusan hukuman mati) terdakwa kasus BB, saya pakai sebagai “bahan cermatan” sekadar menguak kejanggalan proses peradilan yang dengan sendirinya akan memunculkan persepsi bahwa kasus BB—diakui atau tidak—sarat bermuatan tekanan pihak-pihak yang memiliki kepentingan makro terhadap Indonesia. Meskipun, saya sendiri menyesalkan perilaku nekad Amrozi, sebagai seorang muslim saya menolak tindak kekerasan terhadap warga asing (yang bermaksiat) di negara yang tidak menerapkan sistem syariat, ada jalur lain yang bisa kita tempuh.

Keanehan pertama, seperti yang dikemukakan salah seorang pengamat hukum, Harun Nyak Itam Abu, SH., bahwa Perpu No 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam kasus Peledakan Bom di Bali (12/10/02) yang digunakan untuk menuntut Amrozi dkk. bertentangan dengan; Pertama, Pasal 28 I ayat (1) amandemen kedua UUD 1945, yang antara lain disebutkan: "... hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".

Kedua, Pasal 4 UU No 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan: "... hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun ...."

Ketiga, Asas “nullum delictum noela poena sine previa lega poenali”, asas sentral dalam hukum pidana yang telah dijadikan norma dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Asas nullum delictum ini berarti seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada peraturan yang mengatur perbuatan itu lebih dulu. Digunakannya Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam peristiwa BB I melalui Perpu No.2/2002 terkesan "sangat dipaksakan", sebab sampai sekarang malah menciptakan problematika yuridis-normatif, antara lain pemberlakuan asas retro aktif yang bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Atas dasar itu pula Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Perpu No.2/2002 tersebut.

Seyogyanya untuk menangani kasus “terorisme”, terutama dalam upaya menjerat pelaku BB I dan menghukum mati Amrozi dkk. Penuntut Umum —Tri Arif Gunawan Cs.— masih dapat menggunakan beberapa pasal KUHP, UU No.12/Drt 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak atau dapat pula menggunakan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM —yang saat terjadi peristiwa BB I sudah berlaku di NKRI—, mengingat aksi Amrozi dkk. dalam peristiwa BB I dapat pula dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.

Keanehan kedua, bila kasus Bom Bali kita kaitkan dengan kasus Balinine, yaitu sembilan orang penyelundup Narkoba (heroin) seberat 8.3 kg seharga Empat Juta Dollar Australia yang ditangkap di Denpasar, Bali 17/04/05. Stephen Smith, Menteri Luar Negeri Australia, menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Ia berupaya melobi pemerintah Indonesia agar memberikan clemency (pengampunan) terhadap tiga terpidana mati warga Australia yang terlibat kasus Balinine.

Australia memang telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di negerinya. Keikutsertaan mereka dalam berbagai konvensi HAM Internasional dan pandangan mereka bahwa hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan membuat mereka menolak hukuman mati. Menurut Heru Susetyo, Staf Pengajar Fakultas Hukum UI, sebagai suatu pandangan yang sah-sah saja dan harus dihargai. Namun, ketika Australia memandang secara berbeda hukuman mati terhadap Bali Nine dan terhadap tiga terpidana mati kasus Bom Bali Amrozi, tentunya ini adalah sikap yang tidak adil, ambivalen, dan diskriminatif. Wallahu a`lam []

Menggugat Pencitraan

Oleh Agus Taufik Rahman



Pencitraan timur khususnya Islam dengan terorisme memang telah mengakar dalam pandangan barat. Betapapun kita merengek mengatakan bahwa islam lebih humanis, tetap saja takkan memberikan hasil apa-apa. Perilaku ekslusif, barbar, diskriminatif dan teror adalah sejumlah stigma negatif yang sulit dienyahkan.

Hanya ada satu hubungan mesra yang abadi antara barat dan timur, kepentingan! kepentingan barat pada timur sebagai sapi perah, kerinduan barat pada timur untuk menancapkan kapitalisme global serta kecintaan barat pada timur untuk menjadikannya "boneka atau (maaf) anjing peliaraan". Pola hubungan tersebut semakin diperkuat dengan mega proyek Samuel Huntington dalam Clash of Civilization yang kerap mempertentangkan barat dan timur sebagai peradaban yang mesti berhadap-hadapan.

Ironisnya, segala tindakan amoral dan terkutuknya barat selalu saja di peyoratifkan. Penjajahan dan pembodohan negeri timur mereka namakan ekspedisi rempah-rempah. Atas nama demokrasi mereka berlindung dari ketidakberdayaan. Bagaimana bisa kita maklumi barat yang mengaku paling demokratis, dipentas Perserikatan Bangsa-bangsa bisa membombardir Irak hanya dengan dukungan 5 negara sekutu sedangkan 150 negara lainnya yang tidak setuju sama sekali diabaikan. Demokratis yang teramat lucu untuk dipertontonkan.

Bagai do'a sapu jagat, disaat mereka terpojok dengan kondisi terjepit mereka lalu berteriak dengan lantang agar segera datang mesiah atas nama kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Kasus paling mencolok adalah saat orang yang diakui oleh Michael H. Hart sebagai manusia paling berpengaruh didunia, Muhammad Saw. dilecehkan diatas kanvas karikatur Jyllands Posten yang menjijikan. Tanpa rasa malu mereka berlindung dibalik tirai kebebasan berekspresi, kreasi dan pers, disaat seluruh umat muslim sejagat mengecam.

Sungguh pencitraan yang sempurna ketika World Trade Centre (WTC) diluluh lantahkan, serta merta begitu saja menjadi hari kemanusiaan sedunia. Sedangkan pecundang dibalik semua itu adalah simbol-simbol jenggot, sorban serta atribut-atribut Islam lainnya. Apakah ada konspirasi dibalik semua itu, entahlah karena kita hanya berani menyuarakannya dibalik mimbar-mimbar dan mikrofon kecil mesjid yang sangat terbatas.

Adakah saatnya barat tertarik untuk mecitrakan islam dengan nilai-nilai humanisme yang agung? sekaranglah saatnya kita menunggu reaksi itu. Disaat seluruh umat muslim seisi saentero jagat ini melaksanakan prosesi ibadah puasa yang sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Ketika rasa simpati dan empati antar sesama lebih mengemuka untuk saling berbagi, sama rasa senasib sepenaggungan.

Satu bulan penuh Ramadlan, bagi barat adalah satu tantangan berat untuk mencitrakan Islam lebih objektif, karena disini nilai-nilai humanisme lebih menonjol sedangkan akhlah agresi sedapat mungkin untuk ditekan. Solidaritas dan kepedulian baik sesama muslim, ataupun yang lain sungguh tampak, karena setiap individu ingin mempersembahkan potensi terbaik dalam bentuk ibadah pada rabb-nya.

Sangat disayangkan, karena dalam kamus barat potret Islam yang humanis adalah mustahil, dan teramat tabu untuk dielaborasi. Asumsi ini diperuncing dengan hadirnya buku Islam Unveiled karangan Robert Spencer. Dalam bukunya tersebut Spancer menuding Islam sebagai agama yang anti HAM dan menyeru umatnya untuk melakukan “jihad demografik”.

Alih-alih mencitrakan Islam lebih objektif, yang tumbuh subut malah kritik tak berdasar yang dialamatkan pada sejunlah manifesto ajaran Islam, mulai dari pengaburan makna, penyelewangan hingga pemitosan sejumlah fakta yang berabad-abad terjamin keabsahannya. Salah satunya adalah pernyataan untuk membela kaum homoseks yang menganggap kisah sadom dan gomorah adalah mitos yang disejarahkan. Begitu pula dengan sentimentil pada Nabi Muhammad Saw. para orientalis menyanggah keabsahan sirah nabawiyyah dan menyebutnya sebagai cita-cita umat islam yang fiktif pada nabinya. (TR)

Islamic Violence dan Advokasi PERSIS

Oleh : Rashid Satari*

Tulisan ini terinspirasi artikel Shiddiq Amien, MBA dalam Risalah edisi November 2001. Tulisan yang mengekspresikan kegelisahan penulisnya tersebut secara implicit terlebih dulu menggugat definisi "teroris" yang saat ini semakin paradoks. Pasca tragedi kemanusiaan Hirosima dan Nagasaki enam dasawarsa silam, terma semakin mengalami penyempitan makna dan mereduksi.

Hingar bingar gerbang abad milennium menjadi saksi bisu di mana terorisme menjadi stigma buruk atas Islam. Tragedi 11 September 2001 atas World Trade Center (WTC), bom Madrid, bom Legian Kuta Bali menjadi rentetan kelam tentang skenario kekerasan atas kemanusiaan. Di tengah kosmologi pengertian terorisme yang semakin kabur, world view digiring kepada satu wacana yang disepakati hampir separuh warga dunia; Islam adalah biang keladi kekerasan!

Beberapa naskah artikel menunjukan ketegasan sikap Persatuan Islam (Persis) atas kekerasan. Persis merupakan ormas Islam yang sejak 1923 konsisten menjunjung tinggi purifikasi nilai-nilai ke-Islaman dari berbagai parasit akidah seperti syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul juga dari berbagai infiltrasi pemikiran-pemikiran kontemporer mulai dari liberalisme hingga sekularisme. Bagi Persis, kekerasan dalam segala bentuknya tidaklah bisa diamini sebagai aktualisasi pembelaan atas prinsip hidup. Al Quran menegaskan perdamaian sebagai ajaran, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” [QS. Fushilat : 34-35].

Violence (kekerasan) menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kemanusiaan. Berbagai kitab samawi sejak Taurat hingga Al Quran telah merekam dengan baik bagaimana kekerasan dimulai sejak awal mula peradaban manusia yang direpresentasikan oleh Habil dan Qabil. Drama kekerasan terus berlangsung di atas panggung sejarah kemanusiaan berabad-abad setelahnya, darah Ahlul Bait di Karbala Nainawa, 80.000 korban tentara Salib di Jarusalem dan prahara Timur Lenk hanyalah beberapa diantaranya. Satu yang perlu digarisbawahi dari berbagai tragedi tersebut adalah bahwa terdapat berbagai latarbelakang di balik layar kekerasan. Latarbelakang itu tidak bisa digeneralisir karena alasan dogmatik agama belaka, melainkan juga berbagai alasan lain seperti tekanan ekonomi, sosial dan politik.

Sedikit surut ke belakang, dinamika kekerasan akhirnya menemui terminologi baru yang khas sebagai sebuah paham (isme) seperti terorisme. Di abad ke 19, Erick Morris sempat mendefenisikan terorisme sebagai tindakan pemberontakan melawan negara. Namun, defenisi ini diartikulasikan secara absurd tergantung kepentingan, siapa subjek dan objek. Kondisi ini mempersulit pemetaan antara tindak kekerasan dan pembelaan diri. Terorisme menjadi sedemikian subjektif dan seringkali diskriminatif. Akan tetapi bila dicoba sejenak berposisi moderat dengan menyepakati terorisme atau kekerasan sebagai segala tindakan mengancam dan menebar ketakutan kepada masyarakat maka benang kusut terorisme akan longgar terurai. Khususnya dalam rangka membersihkan Islam dari stigma buruk terorisme.

Terorisme tidak selalu identik dengan doktrin keagamaan, namun bisa juga latarbelakang kohesi sosial yang tak sehat. Tragedi organisasi Ku Klux Klan di Amerika Serikat bisa dijadikan sampel. Organisasi sentimentil ras ini berdiri di tahun 1860-an pasca kebijakan presiden Abraham Lincoln yang mengakhiri era perbudakan. Meski awalnya organisasi ini bertujuan membela supremasi warga kulit putih sebagai komunitas masyarakat kelas satu di tengah berkembangnya fenomena peningkatan taraf hidup warga kulit hitam, Ku Klux Klan akhirnya bermetamorfosa menjadi organisasi pembunuh. Diperkirakan, pada dekade 1980-an organisasi ini telah membantai puluhan ribu kulit hitam.

Andaipun agama diasumsikan sebagai latarbelakang kekerasan maka besar kemungkinan ada motif lain mendahuluinya. Kekerasan karena agama terjadi dalam persengketaan sengit Katholik dan Protestan yang menjadi cacat bangsa Eropa di abad ke-17. Adapun peperangan pasukan Salib dengan kaum muslimin akan bermuara pada latarbelakang sentimen politik ambisi Nashrani eropa menguasai Jarusalem. Sebagaimana ambisi Gold, Glory dan Gospel mereka dalam ekspedisi melintasi Tanjung Harapan di Afrika yang menjadi awal imperialisme di negara-negara dunia ketiga.

Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa banyak hal berpotensi menjadi latarbelakang kekerasan. Selain itu, ada penegasan eksplisit bahwa dibutuhkan objektifitas dalam menilai kekerasan. Pada poin ini ada perbedaan prinsipil antara tindak kekerasan (terorisme) dengan tindak pembelaan diri. Hal ini terkait langsung dengan stigmatisasi sistemik yang disematkan pada Islam sebagai agama kaku dan berhaluan kekerasan dalam ajarannya. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Qs. Al-Baqarah; 190].

Inilah yang terjadi pada tragedi pembunuhan Anwar Sadat. September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Gerakan Jamaat Jihad kemudian terbentuk di dalam penjara. 6 Oktober 1981, gerakan yang berpegang pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” - nya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat. Tragedi ini membuktikan bahwa dalam berbagai kasus, keterlibatan pihak muslim lebih bermotif pembelaan diri dalam kondisi yang tertekan. Dan, ini bukanlah terorisme.

Bagi Persis sebagai gerakan tajdid, Islam yang lurus dan damai haruslah selalu dijaga dan direkonstruksi dari kontaminasi penafsiran miring tentang medium da’wah. Bahwa Islam memiliki kearifan dalam konsepsi Jihad yang tak hanya diartikulasikan sebagai gerakan kekerasan, emosional, intoleran bahkan anarkis. “Sesungguhnya tidaklah Kami mengutus kamu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” [Qs. Al-Anbiyâ’; 107].

Sebagai catatan akhir, mengutip Gustav La Bon, “Islam tidak pernah menggunakan kekerasan sebagai medium syiar-nya karena memang Al Quran tidak pernah mengajarkannya kecuali kedamaian berda’wah. Dan kedamaian da’wah inilah yang berhasil memikat Turki dan Mongol untuk memeluk Islam” [1969].

*) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008 - 2009

Dari Gender Equelity Hingga Homoseksual

Oleh : Agus Taufik Rahman


Efek globalisasi yang mengikis batas geografis dan ideologis kini sangat nyata, gerakan gender equelity yang dikampanyekan dibarat, kini sudah mengehembus ketimur. Gerakan yang menuntut kesetaraan hak perempuan sejajar dengan kaum Adam tumbuh subur diberbagai tempat. Lagi-lagi agama yang dinilai mapan harus menjadi objek perdebatan, persoalan waris harus ditinjau ulang, pasalnya karena diskriminatif, tidak mengusung nilai keadilan dan persamaan. Pada akhirnya Islam menjadi kambing hitam karena dianggap memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua.

Sachiko Murata, seorang muslimah Jepang telah mengupas habis diskursus realasi gender ini dalam bukunya The Tao of Islam dengan lebih objektif dan konfrehensiv.

Setelah kesetaraan gender mendapat respon yang positif. kini episode seksualitas yang pernah tabu marak diperbincangkan ditengah publik. Bukan lagi persoalan seks education yang menjadi sorotan, tatapi homoseksual sebagai orientasi seks yang dianggap menyimpang, abnormal dan asusila mulai dipertanyakan dan diperjuangkan. Anggapan bahwa heteroseksual hanya satu-satunya orientasi seks yang sah kini mendapat gugatan ekstra dari komunitas yang termarjinalkan itu.

Pelegalan homoseksual kian terasa dan terorganisir sedemikian rapih. Mereka ingin mendapatkan tempat yang layak ditengah publik yang terkadang mencibir, merendahkan dan mengeliminir.

Untuk mendapatkan restu dari pelbagai pihak, gerakan homoseksual ini mencari dalih bahwa perilakunya tidak seburuk opini yang selama ini mengakar dimasyarakat. Bukan penyimpangan tapi, normal. bahkan skandal ini juga dinilai fitrah yang dianugrahkan tuhan pada sebagian makhluk-Nya.

Mulai dari studi psikologis kejiwaan homoseksual, hingga studi literatur teks keagamaan menjadi objek pengkajian destruktif untuk mendapatkan legalitas publik.

John Shelby Spong misalnya, seorang uskup kristen New Jersey USA yang liberal melakukan kritik terhadap teks Bibel yang dinilai diskriminatif. Spong menegaskan bahwa gereja mestinya merangkul semua realitas kemanusiaan, baik dia hitam ataupun putih, jahat dan baik, karistus dan anti kristus, homoseksual, biseksual dan heteroseksual. Namun karena keputusannya itu melawan arus geraja, pada akhirnya ia harus menelan pil pahit vonis yang memecatnya dari keuskupan pada Februari 2000 setelah 24 tahun ia mengabdi.

Jika kita kritisi, Pendapat Shelby spong tersebut sepintas “menyilaukan” bagi kalangan awam, karena rentan dianggap membawa visi kemanusiaan yang penuh kasih sayang. Namun untuk uskup yang berpuluh tahun berprofesi sebagai agamawan yang bergelut dengan Bibel, pikirannya diniali dangkal. Saat ia mengeluarkan steatement itu, ia pada dasarnya membawa pesan keabsurdan nilai agama yang harusnya menyeru manusia kepada kebajikan dan mencegah tindakan pengrusakan dan penyimpangan, bukan justu sebaliknya menjadikan agama yang nihilistik.

Dengan hadirnya buku Indahnya Kawin Sesama jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005) Fakta ini membuktikan bahwa gerakan ini bukan saja hadir dizona out side Islam tapi in side juga ada. Ironisnya mereka adalah orang yang notabene aset umat yang bernaung di Universitas berlebelkan Islam yang mestinya menjadi cikal bakal ulama yang bertanggungjawab menjaga kemurnian Islam.

Kini, yang menjadi dalih bukan saja atas nama HAM dan kebebasan lagi, tapi syari’at agama yang mapan pun mulai dipertanyakan. Kritik epistemologi pernikahan, hukum KUHP Pernikahan, Studi lingustik padanan kata liwath, tafsir teks yang diskriminatif, kaidah-kaidah ushul fikh, bahkan studi historis fakta sadom dan gomora yang dibisansakan mulai dimitoskan adalah sejumlah alasan “non metodologis” yang sama sekali tak berdasar.

Sungguh memprihatinkan, ketika teks suci diagungkan dalam kurun waktu berabad-abad, kini mulai diragukan keabsahannya, alih-alih karena tidak membawa pesan agama yang seharusnya membawa kemaslahatan, humanis, tidak diskriminatif, dan rahmatan lil ‘âlamîn. Pemahaman islam pada akhirnya cenderung dipaksakun untuk tunduk dibawah nalar yang dangkal hanya demi memenuhi “syahwat” dan naluri kemanusiaan.

Disfungsi Agama

Usaha mencari pelegalan pun tidak berhenti dengan hanya mengkritisi nalar teologis teks keagamaan yang disinyalir kuat memposisikan homoseks sebagai perbuatan terkutuk yang dimurkai tuhan. Bagai gayung bersambut, pada tahun 1990-an aktivitas penelitian dalam dunia psikologi dan kejiwaan para gay kian gencar sampai menyentuh ranah genetik pengidap homoseksual ini. Teori Sigmun Freud seakan mendukung aksi “jaddah” ini, karena menurutnya manusia terlahir kedunia ini dengan biseksual. Yang menentukan ia menjadi heteroseks atau homoseks adalah tergantung genetik mana yang lebih dominan. Laki-laki yang mewarisi sifat feminim lebih besar cenderung menjadi seorang gay, dan perempuan yang lebih dominan menerima maskulinitas bapaknya akan menjadi seorang lesbian.

Faktor penyebab homoseksualitas sebagai orientasi seks sampai sekarang memang masih debateble, namun banyak peneliti seks yang percaya bahwa itu disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor-faktor sosiokultural dan biologis.

Adian Husaini dalam kolom Catata Akhir pecan (CAP) gerakan homoseksual IAIN Semarang menegaskan bahwa Persoalan homoseks bukanlah persoalan kodrat manusia. Kodrat bahwa seorang berpotensi sebagai homo atau lesbi adalah anugerah dan ujian Tuhan. Tetapi, penyaluran seksual sesama jenis merupakan dosa yang dikecam keras dalam ajaran agama. Dan orientasi seksual ini sangat bisa dikendalikan dan dirubah.

Berbagai kecaman yang terkandung dalam nash-nash qhat’i kini seakan menemui ajalnya, kalam tuhan tidak lagi dihiraukan, sabda Nabi menjadi mandul, entah apa yang akan menjadi napigator hidup jika kedua sumber nilai yang paling agung itu tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya.

Menelususri Teks

Terdapat banyak nash al-Qur’an dan hadîts yang menggunakan logika mantiq mafhûm muwafaqoh dalam pengharaman, diantaranya, larangan menyakiti orang tua dengan menggunakan kata terndah; uffin, larangan mendekati perbuatan mesum yang akan mendekatkan pada zina serta larangan untuk tidur dalam satu selimut untuk laki-laki ataupun perempuan sebagai warning up agar tidak terjerumus pada aksi jadah yang pernah dilakoni sadom dan Gomorah.

Dari nash yang memiliki makna serupa diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa untuk pengharaman yang sifatnya sangat keras Allah Swt terlebih dahulu memberikan rambu frepentif, agar lebih diperhatikan.

Kaidah ushul fikih mempertegas bahwa jika Islam melarang sesuatu, washilah-washilah yang mendukung penghraman itupun dilarang (an-nahyu ‘an syain nahyun bi wasâilihi atau mâ yufîdû ilâ ‘l harâm fa huwa ‘l harâm.

Selain itu, dalam hadits terkadang Rasulullah memberikan pengulangan kata yang bermakna taukid untuk mempertegs kedudukan hukum. Ancaman berbuat mesum sesama jenis termasuk satu diantanya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Ya’la Rosulullah Saw bersabda; "Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth.

Terakhir, dalam bukunya ad-Dâ` Wa ad-Dawâ, Ibu Qayyim Al-Jauziyyah mengemukakan bahwa ijma' shahabat mengatakan, "Tidak ada satu perbuatan maksiat pun yang kerusakannya lebih besar dibanding perbuatan homoseksual. Bahkan dosanya berada persis di bawah tingkatan kekufuran bahkan lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan tindakan pembunuhan."

Moral, Agama dan Kriminalitas

Oleh: Agustiar Nur Akbar


Saya sangat terenyuh ketika menyaksikan sejumlah kriminalitas yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air sana. Dari mulai kekerasan pada anak (chil abuse), pelecehan seksual, pencurian, perampokan dan, bahkan pembunuhan maha sadis dengan memotong-motong organ tubuh korban (Mutilasi).

Barangkali kita masih ingat, kasus penyiksaan yang dilakukan majikan terhadap anak pembantunya yang baru berumur 1 tahun 10 bulan. Ia kerap kali menerima siksaan berupa pemukulan, menggunting bulu alis hingga pembakaran. Sang ibu meski mengetahui tindakan biadab majikan tetap saja ia enggan melapor karena takut dipecat.

Kita tinggalkan bocah malang itu, dilain tempat bocah lima tahun tewas di tangan bapaknya sendiri karena membiarkan anjing liar memakan nasi di dapurnya.

Kejadian miring lainnya adalah seorang bocah yang disiksa gurunya sendiri karena mencoret tas milik temannya, guru tersebut menyeret murid ke kantor setelah menerima pengaduan dari pemilik tas. apa yang terjadi di kantor?. menurut pengakuan korban dan beberapa saksi, ia disuruh Push Up sebanyak 50 kali kemudian dibenturkan ke dingding dua kali. Ironisnya, aksi kriminal tersebut dilakukan di kantor serta disaksikan beberapa orang guru dan tak satu orangpun mencoba mencegah.

Ketiga kasus di atas bukan hot crime saat ini, ada yang lebih gila lagi, yaitu kasus pembunuhan berantai (multiple killer) terhadap 11 orang korban yang dilakukan Verry Idham Henyaksyah alias Ryan, beserta kasus “pasutri gunung batu” yang menelan korban pasangan suami istri yang dilakoni Firman. Ryan dan Firman, selain menghabisi nyawa sejumlah korban ia juga tanpa tedeng aling memutilasi organ tubuh korban.

Sedemikian “perkasakah” nyali penduduk negeri kita saat ini, menghabisi nyawa saudara sendiripun seakan menjadi lumrah. Di manakah fungsi moral dan adat ketimuran di negeri melayu yang kedudukannya sangat diagung-agungkan itu. Sedemikian mandulkah peran dan fungsi agama untuk mencegah terjadinya kriminalitas dan dosa.

Dalam tulisannya Dampak Negatif Kemajuan Teknologi Terhadap Pola Tingkah Laku Manusia, Beny Suntoyo mengemukakan alasan psikologis dan psikososial yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindak kejahatan, Faktor endogen dan eksogen.

Endogen adalah faktor dalam diri layaknya egosentris dan fanatis yang berlebihan. Seseorang dapat saja melakukan kejahatan ketika mendapat stimulus negatif yang menyudutkan. Sementara itu, eksogen adalah faktor luar yang sangat kompleks dan bervariasi. Kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dsb. adalah diantara sekian banyak realitas yang sangat rentan menyulut terjadinya konflik yang berujung dengan aksi kriminalitas.

Jika mengurai kriminalitas dari kaca mata moral dan agama yang bersumber dari nash-nash al-Qur’ân dan al-Hatîts, 14 abad silam sebetulnya telah dinyatakan bahwa ada dua faktor yang bisa menjadi embrio kejahatan dan dosa, yakni perut dan kelamin.

Perut dan kelamin dalam pemahaman Islam disinyalir kuat menjadi akar kemaksiatan dan kriminalitas. Peringatan ini dapat dimaklumi bersama karena pada prinsipnya kedua organ tersebut adalah organ vital yang menjadi alasan binatang untuk bertahan hidup. Tak ada aturan main, tak ada kepastian hukum, hanya hukum rimbalah yang berlaku untuk meladeni hajat insting hewani tersebut. Tidak peduli kakak mencabuli adiknya, anak mencabuli induknya atau sebaliknya.

Diantara nash yang menyinggung korelasi perut dengan kejahatan ialah pengaruh makanan yang terkandung di dalam firman Allah Swt. yang menyeru umat manusia untuk mengkonsumi makanan yang halal dan baik (halâlan Thayyiban) QS Al-Baqarah [2]: 169-168, QS Al-Baqarah [2]: 172-173 dst. Makanan yang halal dan baik, disamping menjamin terjaganya kesehatan jasmani, juga akan semakin mendorong meningkatkan kualitas takwa dan syukur kepada Allah Swt.

Faktor psikologis endogen (dorongan dalam) sebetulnya sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi. Pepatah You are what you eat semakin memperkuat sinyalemen diatas bahwa manusia akan menjadi atau mirip dengan apa yang dimakannya.

Sabda Rasulullah Saw tentang hubungan makanan dengan tingkah laku, “Tidak ada tempat dalam tubuh anak cucu Nabi Adam yang lebih jelek daripada perutnya.” (HR. Tirmidzi) semakin mempertegas bahwa syahwat perut memiki tingkat sensitifitas yang rentan mendorong empunya untuk berbuat maksiyat.

Untuk standarisasi halal dan thayyib Islam terlebih dahului memberi rambu yang ketat, yaitu tidak hanya halal sebatas substansi, tapi cara mendapatkannya pun mesti jelas. Makanan haram (substansi maupun cara memperolehnya) meskipun secara lahiriyah mengandung gizi dan vitamin yang cukup, tetap saja akan melahirkan perilaku yang buruk dan merusak, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, didunia kini dan di akhirat nanti.

Sampai disni, kiranya bisa ditarik kesimpulan prematur bahwa jika ingin mengurangi angka kriminalitas, paling tidak setiap individu mesti memiliki kesadaran kolektif untuk bisa komitmen mengontrol syahwat hewani tersebut. Bukan dengan maksud untuk mengebiri, tapi berikanlah hak setelah terpenuhinya kewajiban, Kewajiban dan hak perut beserta kelamin dalam koridor syar’i.

Menggagas Kewajiban Asasi

Upaya Untun meminimalisir Kriminalitas
Oleh: Agus Taufik Rahman

Entah kenapa, tradisi kekerasan menjalar kian deras justru di saat peradaban kemanusiaan lantang dikumandangkan. Moralitas, kekerasan dan kejahatan kini menjadi persoalan yang lebih dekat dengan urat nadi sekalipun. Episode pembantaian tidak saja terjadi di negeri terjajah, di atas tanah yang telah menghirup udara bebaspun tak jarang terjadi pertumpahan darah walau dengan motif sepele.

Pembunuhan adalah kriminalitas pertama yang dilakukan di muka bumi, disaat Qabil menghabisi nyawa adik kandungnya sendiri, Habil. Plot inilah yang sempat menjadi “kritik” malaikat kepada Allah Swt, karena dalam sepengetahuannya, manusia sangat rentan untuk berbuat onar, represif dan menumpahkan darah (QS.2:30)

Meskipun kritik malaikat saat itu ditolak dengan dalih kemahatahuan kehendak-Nya, tabiat asli manusia -seperti prasangka para malaikat- lambat laun mulai terkuak. Sepanjang perjalanan sejarah kemanusiaan, selalu saja dihiasi intrik kisah getir pertumpahan darah. Tragedi kemanusiaan yang merenggut jutaan manusia dalam Perang Dunia I (PD) (1914-1918) dan PD II (1939-1945).

Qabilisme Mengintai

Banyak faktor yang melatarbelakangi hiruk pikuk suburnya kriminalitas. Tanpa terkecuali, include-nya standar ganda pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) yang teramat kabur untuk diterapkan, atau hukum konvensional yang masih menyisakan PR besar dalam perundang-undangan yang menyangkut kejahatan dan kriminalitas.

Verrry Idham Henyaksyah alias Ryan (30) bukanlah anti klimaks dari sekian kejahatan yang merenggut sejumlah nyawa, Karena di tengah proses hukum dan penyidikan kasus tersebut sedang berlangsung, kasus-kasus serupa yang tak kalah sadisnya ikut meramaikan media informasi untuk andil bagian menjejali saraf-saraf otak.

Jika menganalisa sejumlah kriminalitas yang terjadi, setidaknya ada lima faktor yang rentan menenggarai. Pertama, Pengaruh negatif media massa. Jujur saja, bahwa tontonan yang disajikan kini sangat minim pencitraan nilai positif yang mencerdaskan, malah sebaliknya cenderung menyesatkan. Fenomena miring tersebut diamini oleh Menpora Adiyaksa Dault yang menegaskan bahwa “sembilan dari 10 film-film yang beredar memperlihatkan kriminalitas, mistis dan adegan-adegan amoral”.

Sekalipun grassroot sering memprotes film semacam itu, nyatanya masih banyak produser serta sutradara yang ngotot membuat film dengan tema yang sejenis. Tidak bisa disalahkan, karena bagi mereka hanya ada satu prinsip, yaitu kepentingan pragmatis. walau nantinya berdampak pada kerusakan moral konsumen. Sungguh naif!

Kondisi di atas diperparah lagi dengan persentase penguasaan media massa yang mayoritas di blow up pihak luar, dengan demikian unsur kepentingan tidak bisa dinafikan lagi. Pemberitaan yang tak berimbang serta pemutarbalikan fakta menjadi hal yang sulit dielakkan. Kondisi pers seperti itulah yang kemudian menjadi kritik tajam Edwar S. Said dalam bukunya Covering Islam.

Kedua, Sosilogis. Lingkungan tempat tinggal sangat berpengaruh terhadap karakter dan perilaku seseorang. Adalah keharusan seseorang untuk memilih dan menciptakan iklim lingkungan yang sehat, “bergaul dengan tukang minyak akan terbawa wanginya, bergumul dengan pandai besi akan tertular wataknya”.

Dalam kasus Ryan yang berorientasi seksual sejenis misalnya, ia sangat rentan melakukan tindak kriminal (crime of passion) terhadap pasangannya, karena ditenggarai rasa takut yang berlebihan.

Hal tersebut lazimnya bisa saja terjadi karena minimnya pasangan yang memiliki orientasi seksual serupa. Terlebih dengan sifat asmara yang cenderung platonis, atau mencintai untuk menguasai sesama homoseks. Prinsip hubungan jadah ini hanya ada prinsip lose lose solution, dengan kata lain, dalam kasus perebutan, perselingkuhan, dan pertengkaran asmara, kaum homoseks umumnya berprinsip, “kalau saya tidak dapat, maka kamu pun tidak akan mendapatkan dia”.

Ketiga, gangguan psikologis. Psikotis atau psikosa seringkali menjadi pemicu kriminalitas “barbar” dalam bentuk Agresi hostile. Perilaku keji ini bisa saja timbul kapan saja karena tersangka mengalami gangguan kejiwaan yang sangat berat. Jangankan hukum Islam, hukum konvensionalpun dalam kondisi serupa memberikan toleransi cukup luas karena dilakukan tanpa ada intervensi akal dan kesadaran.

Lain halnya dengan Ryan. Menurut analisa psikiater Polda Jatim dr. Roni Subagia, ia sama sekali tidak mengalami psikosa. Jika dilihat dari perilakunya yang imfulsif ada kecenderungan memiliki empati dan kontrol prilaku yang minim (psikopat). Tentu saja ia tidak bisa lepas dari jeratan hukum begitu saja, karena psikopat masih memiliki sense of reality yang normal. Artinya, apa yang dilakukan tersangka itu disadari dan dipahami yang bersangkutan, karena itu tersangka melakukan pembunuhan secara sadar dan tahu akibatnya.

Keempat, kebutuhan ekonomi. Tuntutan ekonomi selalu saja disinyalir menjadi faktor terbesar timbulnya kriminalitas. Tidak bisa disalahkan memang, namun dalam prakteknya terkadang seseorang melakukan tindak kejahatan ekonomi karena adanya kesempatan. Dalam berbagai kasus mutilasi yang telah terjadi misalnya, penganiayaan bermotif dendam adalah akar persoalan yang sebelumnya dilatarbelakangi oleh stimulan negatif, sehingga kejahatan yang dilakukan cenderung direncanakan. Akan tetapi karena ada celah paska menghabisi nyawa sikorban ia mendapati beberapa barang berharga yang teramat sayang untuk dibiarkan.

Kelima, jebolnya benteng moral dan relijius. Alasan terakhir ini mestinnya menjadi “sentral problem” yang sejatinya disimpan dimuka, karena keempat faktor di atas tidak akan muncul andai saja moral dan relijius tidak hanya sebatas lipstik penghias an sich.

Demikian halnya dengan kriminalitas yang dilakukan oleh orang yang memiliki mentalitas, moral dan keagamaan yang dinilai cukup. Peristiwa pelecehan seksual seorang guru ngaji pada anak didik bukan satu atau dua kali saja terjadi. Begitu jua dengan Ryan yang dikenal para tetangga sebagai guru ngaji PTQ desa jatiwates. Bagaimana bisa seorang yang dinilai relijius dan santun oleh tetangganya, namun dalam kesempatan berbeda justru melaksanakan praktek hubungan amoral dan asusila layaknya Sadom dan Ghamara yang diluluhlantahkan. Apa alasan dibalik itu, jika bukan moral dan perikalu selama ini hanya kamuplase yang sama sekali tidak menyentuh aspek kejiwaan dan rohani terdalam.

HAM & Kewajiban Asasi Manusia

Bagai gayung bersambut satu kasus belum tuntas yang lain sudah mengintai. Patologi sosial yang mulai kronis tersebut diperparah lagi dengan dagelan para pembela HAM yang cukup unik jadi tontonan.

HAM yang lahir dari rahim Barat paska Perang Dunia II masih saja menyisakan persoalan yang cukup pelik. Karena pada prakteknya, persoalan yang dijungjung HAM adalah nilai-nilai equality antar individu, minus penekanan kewajiban asasi yang sebetulnya jauh lebih penting.

Dalam beberapa kasus, HAM kerap kali ditonjolkan bak pahlawan kesiangan yang menjadi pembela “antitesa” persoalan yang muncul kepermukaan. Mega kasus Ahmadiyyah yang berujung di tragedi monas 1 Juni lalu, vonis hukuman mati, penyimpangan homoseksual serta, beberapa kasus penting lainnya menjadi bukti bahwa HAM selalu ditampilkan sebagai organ reaksioner. Beberapa contoh kasus di atas menjadi bukti nyata bahwa selama ini HAM sangat abai memperhatikan kewajiban individu.

Senada dengan esensi diatas, Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, AS menegaskan bahwa masyarakat internasional telah mengakui bahwa semua orang memiliki HAM karena terlahir dan diciptakan sama (equal) sebagai manusia, tapi kewajiban asasi masih minim diperhatikan. Orang mempunyai kewajiban bukan karena ia diciptakan dan lahir sebagai manusia, tetapi karena umumnya ia lahir di tengah sesamanya.

Pernyataan Hendardi (Dosen Universitas Indonesia) dalam tayangan debat kontroversi hukuman mati yang digelar Tv One, menjadi bukti betapa HAM yang ada saat ini hanya menaruh simpati pada pihak tersangka tanpa melirik pihak yang teraniaya. Dalam pernyataannya, Hendardi menegaskan bahwa hukuman mati bertentangan dengan nilai kemanusian, sedangkan kejahatan yang dilakukan tersangka yang pada umumnya menelan korban jiwa sama sekali tidak dikategorikan pelanggaran asasi, dan itu hanya kategori kriminal, tandasnya.

Pendek kata, dalam kaca mata HAM, kriminalitas tidak sama dengan pelanggaran hak asasi manusia. Sikap diatas, sudah lebih dari cukup untuk bukti bahwa HAM masih absurd dengan standar ganda!

Dengan bermodalkan standar ganda dalam bersikap, harapan menyelesaikan pelbagai persoalan kriminal dan patologi sosial seolah menjadi mimpi di siang bolong. Alih-alih menjadi solusi, yang ada hanya mengkristalnya preseden buruk saat orang mendengar kata sandi HAM.

Menggagas Solusi Kontemplatik

Kembali pada persoalan semula, Pada dasarnya nash-nash Qath’i al Qur’an ataupun hadîts, telah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk kriminal ataupun yang lainnya tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan. Oleh karenanya, penegakan hukum secara adil adalah kewajiban yang paling utama mesti ditegakkan, lain lagi persoalannya jika pihak yang terdzolimi memberikan maaf (al ‘Afwu) dan itupun masih ada satu kewajiban dalam bentuk diyat atau yang sejenisnya untuk ganti rugi.

Lain lagi persoalannya jika saja setiap orang atau pembela HAM mengakui teori Freud yang memandang perilaku agresi sebagai instinc yang melekat pada diri manusia, maka setiap yang melakukan kriminalitas dan dosa bisa saja dibenarkan dan dibela, karena pada prinsipnya, Freud hanya memandang manusia dari sisi negatif. Tanpa agresi manusia dapat punah atau dipunahkan pihak lain. Dengan begitu, hukum rimbalah yang berlaku. Apa bedanya manusia dengan binatang!

Teori Freud sama sekali tak berlaku, banyak pakar psikologi lain yang justru bersebrangan dengannya, apalagi sumber ajaran agama dengan tegas menyebutkan adanya pengaruh dalam dan luar yang berfungsi menjadi alat kontrol dalam pola respon yang diperoleh dari hasil pembelajaran. Dalam konteks ini hadîts yang menyitir bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah menjadi penting untuk dipahami. Fitrah dalam menunaikan kewajiban dan fitrah untuk berislam, maka dengan sendirinya pelanggaran HAM dalam bentuk kriminal takkan pernah terjadi. (TR)

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com