03 March 2007

Libidonomics; Kebebasan dan Erotic-capitalism

Oleh: Yusuf Burhanudin*

Pakaian adalah akhlak. Pakaian adalah sesuatu, yang menjadikan manusia, bukan binatang.
Kalau engkau tidak percaya, berdirilah engkau di depan pasar, dan copotlah pakaianmu, maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah, yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai,

(Emha Ainun Nadjib, ‘Renungan Ilir)

JUMAT, 7 April 2006. Bagi Majalah Playboy, hari itu mungkin akan dicatat dengan tinta emas. Sebagai hari “sukses” terbit dan lahirnya majalah porno nomer wahid di tengah-tengah publik Indonesia, negara Muslim terbesar dunia. Betapa tidak, di saat menguatnya penolakan masyarakat Indonesia, majalah nudis itu akhirnya ‘nekat’ terbit juga. Bisa ditebak, “sukses” penerbitan itu pun seiring menuai “sukses” reaksi yang tak kalah serunya. Protes para demonstran, somasi, sampai aksi sweeping ke toko-toko.

Bagi para pengusung kebebasan, hari itu pun menjadi penting dan istimewa. Seruan kebebasan absolut yang merupakan risalah sekulerisme global, kini telah merangsek-paksa menghinggapi negara-negara berbasis moralitas agama sekalipun! Inilah, salah satu dari sekian resiko kapitalisme global, di mana tidak saja barang material yang bisa dijual tapi juga isu, budaya, kebebasan, bahkan libido dan hasrat seksual (libidonomics).

Seiring teknologi internet (cyber technology) dan multimedia yang mulai merambah tidak saja ke kota-kota besar, melainkan sudah “menjajah” pelosok-pelosok desa sekalipun. Melalui media-media itulah, segala macam kebebasan informasi sampai pornografi laris terjajakan dengan bebas dan sukarela.

Tulisan berikut ini hendak mengelaborasi sekaligus mengkritisi prinsip kebebasan yang, merupakan akibat tak terbantahkan dari era modernisme bahkan post-modernisme (ketika segala kemapanan nilai tergugat), dan berkembang dewasa ini. terlebih, betapa gaung kebebasan itu justru seringkali saling berbenturan (clashing) satu sama lain. Kebebasan yang satu berbenturan dengan kebebasan lain dan demokrasi yang satu bertentangan dengan demokrasi yang lain.

Sebetulnya, jika kita jujur, kita tidak sedang menyaksikan benturan kepentingan, melainkan benturan nilai itu sendiri. Sebuah indikasi nyata dari pergeseran nilai budaya agama menjadi budaya informasi. Dengan begitu, yang sedang terjadi bukanlah pertentangan kebebasan yang satu dengan lainnya melainkan nilai keyakinan yang satu dengan keyakinan yang lain!

Kebebasan absurd

Gugatan yang berikutnya acap mengemuka ialah, adakah kebebasan absurd –termasuk di dalamnya kebebasan tanpa batas—memang sudah menjadi “takdir tak terbantahkan” dari konsekuensi kapitalisme global? Bahwa kelak, manusia tidak saja digiring pada agama dan keyakinan tanpa batas (passing over), tapi juga kebebasan tanpa batas. Risalah kebebasan ini, menemukan momentumnya terutama saat post-modernisme dekonstruktif (deconstructive postmodernism) mengkampanyekan diri dalam menentang segala bentuk otoritas, pengekangan, kemapanan, dan pembatas (hukum, norma, dan agama) demi memperoleh kebebasan ekspresi dan pembebasan hasrat secara total (Piliang: 2004).

Dalam era post-modernisme, yang disitir Bambang Sugiharto sebagai melampaui nama-nama itu, tidak hanya melakukan otokritik pada keyakinan. Tapi juga menyoal keindahan “tubuh” (fetitisme) yang disebut Yasraf Amir Piliang (2004) sebagai realitas di mana tubuh (secara fisik), digunakan dalam berbagai relasi sosial, ekonomi, komunikasi, dan kebudayaan. Konon, demi ekstase yang lebih bernilai, kebebasan berekspresi (freedom of expression).

Salah satu imbas yang paling kentara akibat “serangan” arus post-modernisme ini, adalah kebingungan mendefiniskan pornografi dan pornoaksi. Hal ini setidaknya tampak dalam kontroversi Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang terus berlangsung sampai hari ini. Ada semacam ambiguitas dan tarik-menarik luar biasa antara infiltrasi nilai agama di satu sisi versus tranformasi budaya modernitas di sisi lain.

Seolah, satu-satunya tanda masyarakat menerima modernitas ialah, keniscayaan untuk meninggalkan nilai-nilai agama dan budaya lama dari seluruh dimensi kehidupan mereka. Imperium budaya modern ini kian lengkap “mewabah” ketika dalam ketidakjelasan dan keterombang-ambingan nilai itu hadir di tengah-tengah kerendah-dirian negara dan masyarakat berkembang (inferiority complex).

Kebebasan pers

Kebebasan pers yang digulirkan sejak era reformasi lalu, selain membuka kran kebebasan politik juga mendulang kebebasan lain yang tak kalah serunya sehingga bersinggungan secara diametral dengan norma-norma masyarakat. Pers, seperti diharapkan Ketua MPR-RI, Hidayat Nurwahid, hendaknya mampu menggunakan kebebasan tidak dalam rangka melakukan provokasi, kontroversi, apalagi memuat informasi yang dapat menurunkan dekadensi moral. Sebaliknya, mengedepankan kebebasan bertanggungjawab terutama guna membangunkan masyarakat dari keterpurukan dan mengejar ketertinggalan, bukan malah memuat hal-hal amoral (Republika, 7/4).

Demokrasi memang mengandaikan kebebasan, tapi tentu saja kebebasan yang punya pijakan nilai publik. Nilai publik itu sendiri berlandaskan pada norma-norma budaya anutan masyarakat itu sendiri. Yakni, menggelar kebebasan yang bisa mengantarkan bangsa ini menuju fajar keberadaban yang sesungguhnya. Kebebasan ekspresif yang peduli nilai sehingga mampu mengangkat bangsa ini dari keterpurukan dan kebodohan.

Dalam alam “demokrasi” (kata ini harus diberi tanda kutip karena sering memunculkan nuansa ganda), setiap peristiwa selalu mengundang pro-kontra. Hanya, ada prasyarat lain yang perlu dikembangkan secara dewasa oleh masyarakat demokratis ketika mengalami konflik, agar setiap pihak senantiasa menjadikan hukum sebagai kata putus bagi seluruh pertikaian. Masing-masing pihak tidak saling memaksakan kehendaknya sendiri, maksa terbit atau maksa razia. Jika kedua pihak saling bersikukuh pada kehendak masing-masing, rentan menimbulkan anarki, baik anarki masif di satu sisi maupun anarki media di sisi lain.

Setiap pihak yang bertikai –dengan sama-sama mengatasnamakan kebebasan, justru tidak sedang berdemokrasi, melainkan hendak mengenyahkan substansi kebebasan itu sendiri. Apalagi ada embel-embel anarki. Polemik isu, bentrokan masif, dan konflik fisik seolah menjadi pilihan final masing-masing pihak dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul ke permukaan menurut nilai-nilai keadilan dan ajaran kebebasan yang diyakini masing-masing.

Jika semua orang bertindak berdasarkan prinsip kebebasan, tentu saja akan menimbulkan chaos. Setiap kita tidak akan mengindahkan peraturan publik yang berlaku. Karena setiap orang, merasa berhak mengekspresikan dan bertindak sesuai kemauan masing-masing. Atas nama kebebasan, masing-masing berekspresi secara “liar” sekalipun resikonya harus berhadap-hadapan dengan kehendak orang banyak.

Saya perlu memberi catatan di sini, bahwa nilai kebebasan tidak saja berpihak pada yang pro tapi juga berlaku pada yang kontra. Misalnya, adalah hak siapapun untuk menyatakan bahwa ekspresi “pornografi” merupakan bagian dari HAM. Tapi perlu diakui pula, bahwa mengekspresikan larangan pornografi pun sesuai dengan HAM. Adalah tidak fair, ketika sikap pro dinyatakan sebagai bagian dari HAM, namun ketika kontra justru jadi bagian dari kekerasan. Karena itu, kita memerlukan nilai universal berupa hukum. Tiada lain, guna menghindari penilaian subjkektif, primordial, dan sektarian.

Persoalannya, tentu saja bukan sekedar soal munafik atau bukan. Seks adalah kebutuhan fitrah yang mendapat tempat terhormat. Yang menjadi soal ialah, bagaimana urusan yang privat mengalami publisasi dan yang publik justru mengalami privatisasi. Saling nasehat-menasehati dianggap urusan pribadi misalnya, sementara urusan seks yang notabene seperti maaf, membuang air kecil di dalam kamar mandi yang biasa dilakukan “menyepi” menjadi wajar “dipertontonkan” di depan orang banyak.

Selain itu, melihat hal-hal berbau porno, juga tidak semata terletak pada otak yang “ngeres” atau tidaknya orang yang melihatnya. Pernyataan yang menyuratkan hal yang setengah telanjang bisa menjadi porno pada orang yang otaknya kotor dan yang porno bisa “positif” pada orang yang otaknya bersih, termasuk pernyataan musykil yang sulit dipahami. Sebab, materi yang disajikan berada di ruang publik yang jelas-jelas sulit membedakan penilaian satu orang dengan lainnya. Yang jelas, kita membutuhkan sebuah kesepakatan bersama, salah satunya melalui RUU APP, sebagai pijakan bersama dalam mengatur soal pornografi dan pornoaksi akhir-akhir ini.

Solusi mendesak

Solusi mendesak dalam menghadapi serangan pornografi dewasa ini adalah, dengan meningkatkan pengawasan bersama terutama peran keluarga, masyarakat, dan agama agar menjadi bagian aktif, kreatif, dan bertanggungjawab terhadap pengembangan moral yang lebih beradab. Selain itu, seluruh sistem (media dan sarana informasi) yang ada harus ditata menjadi sistem pendukung yang kondusif yang menularkan nilai-nilai luhur dan bukan sebaliknya menjadi kanker yang menjalarkan penyakit kepada masyarakat.***

*Santri Teologi Universitas Al-Azhar, Ketua Majelis Penasehat Pwk. Persis Mesir.


Menjadi Jurnalis dengan Ilmu Hadits

Oleh: Arif Munanadar Riswanto


Kita tidak bisa menutup mata, seliweran berita yang sekarang beredar banyak mengandung ketidakvalidan. Zaman sekarang, distorsi seolah-olah telah menjadi konsumsi masyarakat modern. Apalagi di era dunia dot com yang super canggih seperti sekarang, pemutarbalikan fakta adalah hal yang sangat mudah dilakukan. Dengan sangat mudah, setiap orang bisa saja membuat opini publik, terlepas dari benar atau tidaknya opini tersebut. Lihat misalnya setiap kali ada kasus bom, pasti beberapa menit kemudian sebuah situs internet yang berasal dari Jaringan Al-Qaedah langsung mengumunkan diri sebagai orang yang bertanggung jawab. Padahal, di zaman canggih seperti ini, setiap orang pasti bisa membuat pengakuan seperti itu.

Yang lebih naifnya, prilaku yang tidak argumentatif tersebut sering dilakukan oleh media massa-media massa yang mengatasnamakan "Islam". Hanya karena "hawa nafsu", tidak sedikit media massa "islami" yang jatuh terperosok ke dalam pemutarbalikan fakta yang sangat manipulatif. Entah hal itu dilakukan atas nama pembaruan, pencerahan, rekonstruksi, kontekstualisasi, dll.

Untuk memberantas distorsi berita seperti di atas, di zaman modern ini jurnalisme Islam harus menghidupkan etika quoting yang ada dalam ilmu hadis. Adalah Yusuf Qaradhawi salah seorang ulama yang dengan keras memandang perlu untuk melakukan hal tersebut di zaman modern ini.

Selama ini, karya-karya hadis sering kita pandang sebagai karya hadis an sich. Padahal, karya-karya tersebut tiada lain adalah karya sejarah juga. Inilah puncak dari penulisan validitas sejarah yang tidak ada pada umat beragama lain. Setiap isi (matan) dan orang yang membawa berita (sanad) bisa kita ketahui latar belakangnya. Hal yang sangat sulit bisa kita dapatkan dalam berbagai berita yang saat ini sedang berkembang.

Setiap aturan main untuk menerima sebuah berita dalam hadis harus kita terapkan ke dalam berita yang berkembang saat ini. Baik itu yang berkaitan dengan matan ataupun sanad berita. `Ulumul hadits yang berupa kritik sanad, matan, dan jarh wa ta`dil bisa kita terapkan untuk menepis berita-berita manipulatif. Kita yakin, jika hal ini dilakukan, berbagai hegemoni asing yang hendak mendekonstruksi dan mencoreng Islam tidak akan berdaya apa-apa.

Sebenarnya, kritik seperti ini telah lebih dulu dilakukan oleh Ibnu Khaldun. Dalam Muqaddimah-nya, sejarahwan besar Muslim tersebut sering mengkritik hal yang sering dilakukan oleh al-akhbariyyun, orang-orang yang pada saat sekarang disebut dengan "jurnalis". Orang-orang seperti itu telah memberi saham dalam melakukan distorsi terhadap sejarah Islam. Distorsi inilah yang selama ini menjadi landasan para orientalis dan orang-orang yang "talaqi" kepada mereka (sekularis dan liberalis) dalam memandang sejarah Islam. Padahal, jika hendak diverifikasi dengan lebih teliti, alasan "ilmiyah" yang sering mereka aku-aku sangat manipulatif dan tidak argumentatif. Al-Quran menyebut hal seperti ini dengan "prasangka" belaka (dzann). Bahkan, dengan tegas Allah menyebut bahwa argumentasi ilmiyah hanyalah milik-Nya saja.

Untuk hal tersebut, tidak aneh jika pada zaman klasik kita bisa mendapatkan seorang ahli hadis yang merangkap sebagai sejarawan. Tercatat misalnya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Adz-Dzahabi, Ath-Thabari, As-Suyuthi, dll. Selain sebagai muhaddits, sarjana-sarjana Muslim tersebut ada muarrikh juga.

Ini memang pekerjaan yang sangat sulit. Namun, dengan cara inilah masyarakat akan terimunisasi dari segala berita yang sangat distortif dan manipulatif. Kita rasa tidak ada salahnya jika para jurnalis Islam harus belajar kepada para ahli hadis tentang tata-cara mengambil berita. Selain itu, cara ini benar-benar bisa menjadi sebuah premis dari garansi langit bahwa umat Islam tidak akan melakukan konsensus untuk melakukan sebuah kesesatan bersama. Terima kasih ya Allah atas garansi ini.

CINTA IBU adalah CINTA TUHAN


Oleh : Irfan Hakiem

“…Sois reconnaissant envers moi ainsi qu’envers tes parents…”.

(QS. 31:14)

Rasanya tak ada cinta yang se-ikhlas cinta ibu, kasih sayangnya bukan-lah sesuatu yang dibuat-buat, tapi sebutir ke-ikhlasan yang keluar dari naluri seorang ibu. Dimanapun anaknya berada, seorang ibu selalu ikhlas melantunkan do’a buat keselamatan anak yang dicintainya. Ia tengah mengandung selama sembilan bulan, menyusui dan mengurusnya sehingga kebutuhan hidupnya banyak tersita oleh anak yang baru lahir darinya. Maka sangat naif sekali bila seorang anak menafikan segala ke-ikhlasan yang diberikan oleh ibunya. Dari sini penulis ingin sekali merenungkan sesuatu tentang “ibu” yang banyak disebut dalam Quran maupun Hadits. Kenapa ridla tuhan berada pada ridlanya orang tua (ibu) atau sebaliknya.

Seorang sahabat datang kepada rasulullah Saw, mau mengadu tentang dia yang tengah lama mengurus ibunya selama beberapa tahun, sahabat tersebut berkata kepada rasulullah: “ya rasulullah, aku tengah mengurus ibuku selama beberapa tahun, dari mulai makan sampai kebutuhan sehari-harinya aku penuhi, apakah kebaikanku ini sebanding dengan kebaikan ibuku”. Diceritakan sampai sahabat tersebut selalu mengantar sambil menggendong ibunya ke hammam (wc) setiap ada hajat atau mandi (baca:karena sudah lanjut usia). Rasulullah menjawab: “wahai sahabatku, seandainya engkau hitung semua kebaikan terhadap ibumu selama ini, maka kebaikanmu itu belum seberapa bila dibandingkan dengan kebaikan ibumu terhadapmu, kebaikan ibumu masih sebesar gunung uhud”.(al-Hadits)

Mungkin saja kita pun pernah mengira bahwa, kita tengah memberikan berbagai kebaikan terhadap orang tua (ibu) dalam berbagai bentuk, materil maupun moril. Dan kita tengah mempunyai prasangka bahwa semua yang kita berikan terhadap ibu adalah sesuatu yang dapat mengimbangi kebaikannya terhadap kita selama ini, maka hadits ini tengah menjawab bahwa seakan-akan kita besar padahal masih kecil (baca;soalan kebaikan) bila dibanding-banding dengan segala kebaikannya, sebagaimana sahabat tersebut.

Pernahkah kita mengira bahwa seorang ibu memberikan materil terhadap anaknya adalah sesuatu yang ingin dibalas oleh seorang anak, adakah kasih sayang ibu sama dengan kasih sayang seseorang yang lain (baca;pacar,guru,teman,majikan.dll), pernahkah kita tahu bahwa do’a seorang ibu selalu terlantun bagi anaknya, dan kenapa cinta ibu dapat dikatakan cinta tuhan. Dari pertanyaan-pertanyaan ini penulis berusaha ingin menemukan sesuatu yang terkandung dari cinta seorang ibu dalam memenuhi atau meraih cinta tuhan.

Seorang sahabat bertanya kepada rasulullah: “ya rasulullah, kepada siapa aku mesti berbuat baik? Rasulullah menjawab: “kepada ibumu”. Diceritakan pertanyaan sahabat tersebut sampai tiga kali dengan pertanyaan dan jawaban yang sama. Maka sahabat tersebut kembali bertanya: “ya rasulullah, kepada siapa aku mesti berbuat baik? Rasulullah menjawab: “kepada bapakmu”.

Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa dalam berbagai redaksi hadits yang tengah mengungkapkan tentang mesti berbuat baik kepada seorang ibu. Quran pun demikian banyak menyebutkan tentang mesti berbuat baik kepada seorang ibu dalam beberapa surat dan ayat diantaranya, QS. 31:14, QS. 46:15, QS. 2:83, QS. 4:36.

Dari berbagai ayat perintah berbuat baik terhadap ibu, yang paling nampak dalam redaksi ayat adalah dalam surat, 31:14 yang berbunyi,”dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu…”.Kenapa ayat tersebut memerintahkan mesti bersyukur kepada kedua orangtua (ibu) setelah kepada tuhan.

Imam Fakhr ad-Din ar-Razy memberikan tafsiran tentang hal ini bahwa “Pada hakikatnya keberadaan manusia diciptakan oleh tuhan tapi melalui perantara kedua orangtua (ibu), tanpa keberadaan kedua orangtua (ibu) tak mungkin manusia ada di dunia, ini yang yang menjadikan menusia mesti bersyukur kepada Allah sekaligus kepada kedua orangtua”.(Mafatih al-Ghaib, jld. 28, hlm. 128)

Lelah dan payah hanya seorang ibu yang dapat merasakan tentang kelahiran anaknya, maka kasih sayang seorang ibu tak dapat dipungkiri oleh semua orang kecuali bagi mereka (orang-orang durhaka) pada orangtua (ibu). Dari sini muncul sebuah pertanyaan penulis, kenapa cinta ibu adalah cinta tuhan?

Rasulullah pernah bersabda dalam salah satu hadits bahwa “ridla tuhan berada pada ridla orangtua, dan murka tuhan berada pada murka orangtua pula”. (al-Hadits)

Pada hakikatnya andaikan kita mengerti bahwa semua manusia khsususnya kita dilahirkan dari seorang ibu, yang pada mulanya tak tahu apa-apa tentang kehidupan ini, yang begitu menyayangi sepenuh hatinya. Maka tidak akan terjadi di bumi ini seorang anak menganiaya seorang ibu, baik dari bentuk menyakiti hati, menipu hatta berani membunuhnya.

Maka teks-teks dari hadits maupun Quran yang tengah banyak menyebut tentang hakikat seorang ibu adalah suatu jawaban bagi manusia yang dilahirkan darinya untuk ta’at dan patuh terhadap segala perintahnya (selama tidak melenceng dari syar’i). Sebagaimana Quran menegaskan dalam surat 31:15 yang berbunyi “jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuannya padamu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya tetapi pergaulilah keduanya dengan baik”.

Tentu saja, dari sini kita dapat merenungkan kembali tentang cinta ibu adalah cinta tuhan. Tidak sedikit orang yang durhaka terhadap orangtua (ibu) dan tidak mendapat maaf dari orangtua (ibu) tidak dapat pula ampunan dari tuhannya, begitu pun sebaliknya. Kata orang bijak bahwa “jika seandainya engkau berbuat baik pada kedua orangtuamu (ibu) niscaya nanti anakmu akan berbuat baik terhadapmu sendiri, sebaliknya jika engkau berbuat jahat pada orangtuamu (ibu) niscaya nanti anakmu akan berbuat jahat terhadapmu sendiri jua”.

Berbagai uraian teks Hadits maupun Quran tersebut di atas adalah, ajakan konkrit bagi kita semua yang masih mempunyai seorang ibu khususnya untuk selalu ta’at dan patuh terhadapnya dalam proses meraih cinta tuhan. Karena dari keduanya (ibu) tercurah cinta tuhan bagi siapa pun yang selalu memenuhi kehendaknya. Baginya adalah cinta-Nya !!! wallahu’alam bishawab

Say No to Porn !!!

(Catatan Kritikal tentang Kebebasan dan Moral Negeri)

Oleh: Ganna & Dali P


Barangkali, untuk saat ini tidak ada 'berhala' paradigma yang begitu dahsyat pengaruhnya terhadap kehidupan daripada demokrasi, HAM, dan kebebasan. Disinyalir, kini ketiga berhala tersebut menjadi faktor determinan setiap kebijakan dan tingkah serta pola hidup hampir keseluruhan manusia didunia ini. Euforia kebebasan berekspresi misalnya, merambah dan melabrak berbagai lini privat segmen kehidupan. Seakan-akan manusia adalah segala-galanya (antroposentrisme). Begitulah, disaat manusia terjebak kedalam kubangan multidoktrin, terkadang manusia sering merefleksikan segala sesuatunya secara emosional dan gegabah.

Tantangan terbesar yang banyak dihadapi oleh masyarakat Muslim dewasa ini adalah tantangan perubahan. Bagaimana seseorang mampu konsisten dengan ajaran-ajaran keyakinannya, betapapun modernitas, pluralitas, perubahan zaman dan lingkungan begitu kencang menerpanya.

Terkait dengan wacana seputar kebebasan, HAM, dan demokrasi, diantara isu hangat yang sedang merebak belakangan ini adalah maraknya pornografi di Indonesia. Belakangan ini, hedonisme dan permisfisme mulai menjelma menjadi 'doktrin' tersendiri dan akhirnya seolah mendapat legitimasi dari berbagai pihak. Seperti hal sepele memang, persoalan pornografi dianggap hal biasa. Karena mungkin kita sudah terlalu biasa melihat kemaksiatan menjamur di sekitar kita. Dikarenakan –mungkin- merupakan budaya hedonis yang senafas dengan era postmodernisme. Parahnya, saat ini agama mulai disubordinasikan dibawah kepentingan dan nafsu syahwat manusia dengan dalih bahwa, agama mesti diartikulasikan sebagai entitas yang senantiasa relevan dengan zaman. Sehingga, acapkali kita serampangan untuk melakukan interpretasi terhadap agama dan akhirnya kehilangan elan vital aslinya.

Pro dan Kontra Seputar "Playboy Indonesia"

Belum lama ini Indonesia kembali digemparkan dengan sebuah isu mengenai peluncuran majalah Playboy versi Indonesia. Terbitnya salah satu majalah paling hot di dunia ini memang menjadi kehebohan tersendiri di kalangan umat, ada yang mati-matian membela dan mencari suaka kesana-kemari untuk mengabsahkan kesesatan tersebut. Lalu tak sedikit pula yang menolak bahkan melanjutkan aksinya hingga turun ke jalan.

Front Pembela Islam (FPI) dengan lantang akan menjegal majalah Playboy Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Umumnya, Habib Rizieq Shihab; "Kalau mereka tetap terbit pada bulan Maret, akan kami sikat," jelasnya tanpa ampun, seperti dikutip Antara, Selasa (17/1) (Kompas, 17/01/2006)

Berbeda dengan anggota dari fraksi PKS, Yoyoh Yusroh, yang berpendapat bahwa penerbitan tersebut sah-sah saja asalkan tidak keluar dari mainstream adat ketimuran. Dia menyatakan, "Kita akan turun kalau penerbitan majalah tersebut tidak sesuai dengan budaya bangsa dan adat ketimuran," katanya. Di tempat yang berbeda, fungsionaris DPP PKS Ledia Hanifa di Jakarta, mengutarakan, "Wakil Presiden sebelumnya secara tegas menolak kehadiran Majalah Playboy Indonesia, tetapi beliau juga mengaku pemerintah tidak bisa apa-apa kalau majalah tersebut akhirnya terbit,". (Republika, 30/01/2006)

Sementara itu dilain pihak, Bagian Promosi PT Velvet Silver Media (penerbit majalah Playboy Indonesia, Red), Awianto Nugroho sebagaimana yang dikutip oleh Antara di Jakarta, Senin (30/1), dia berujar, "Kami tetap akan menerbitkan majalah Playboy edisi Indonesia dan kami anggap wajar jika ada pihak-pihak yang menentangnya karena mereka memang belum melihat sendiri produknya". (Kompas 30/01/2006)

Penentangan terhadap majalah yang memiliki logo kelinci bertuksedo ini tak hanya datang dari kalangan Islam saja. Larangan juga datang dari Persatuan Injili Indonesia (PII). Sebagaimana yang dilansir oleh detikcom, Persekutuan Injili Indonesia (PII) turut bersuara menolak penerbitan majalah Playboy Indonesia. "Pemerintah agar melarang penerbitan dan peredaran majalah Playboy di Indonesia," kata PP PII Bambang Widjaja dalam rilis yang diterima detikcom, Jumat (20/1/2006). Sekretaris Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) Theophilus Bela juga menentang keras rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. "Saya setuju kebebasan, tetapi jika untuk rencana penerbitan Playboy edisi Indonesia yang artinya akan berbahasa Indonesia, saya tegas menentang,"

Menurut dia, majalah itu tidak cocok dengan budaya bangsa Indonesia karena mengkomersialisasikan tubuh wanita, merupakan aksi pornoaksi dan pornografi. "Kalau yang edisi asing masuk mungkin kita memang tidak bisa berbuat apa-apa karena kita tidak bisa membatasi masuknya arus informasi, tetapi itu tentu akan dijual dalam segmen terbatas, harga mahal dan dalam bahasa asing," katanya.

Padahal, dulu, lima puluh hari setelah dilantik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengevaluasi kinerja kabinetnya. Salah satu tema yang ia risaukan adalah makin banyaknya pusar nongol di layar kaca. (Lensa, Gatra Nomor 12, 23 Januari 2005)

Ironis memang, disaat DPR sedang menyusun RUU tentang pornografi dan pornoaksi, justru hal tersebut malah makin merajalela. Sebelum Indonesia, Playboy telah diproduksi di 20 negara dengan pola waralaba. Dua puluh negara itu adalah Argentina, Brasil, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Jepang, Meksiko, Belanda, Rumania, Serbia, Slovenia, Slovakia, Spanyol dan Ukraina. Dan Indonesia memperpanjang daftar itu.

Tanpa malu-malu, majalah Playboy edisi Indonesia akan beredar bulan Maret mendatang. Walaupun dijanjikan akan disesuaikan dengan kultur negeri kita, Playboy tetaplah Playboy dengan semua citra, atribut, dan kecenderungan yang melekat selama ini. Tidak mungkin majalah tersebut muncul dengan melepas citra, atribut, dan kecenderungan yang sudah dimilikinya.

Hedonisme Style; Laku Keras

Sebenarnya, pro-kontra peluncuran Playboy bukanlah barang baru di Indonesia. Sebelum itu sudah banyak isu-isu yang berkaitan dengan budaya hedonis dan permisif, seperti, kasus mencuatnya film "Buruan Cium Gue", foto bugil Anjasmara, pose syurnya Kartika ketika tampil di ajang Miss Universe, dan lain-lain. Kasus Palyboy hanyalah perpanjangan tangan dan dampak yang ditimbulkan oleh hedonisme dan permisifisme. Bangsa kita –terutama remaja- lebih tertarik kepada hal-hal yang berbau hiburan, entertainment, dan pola hidup ala Barat yang lainnya. Seolah-olah jika kita bisa meniru lifestyle mereka, kita akan tergolong orang yang modern dan tidak akan dicap kampungan. Padahal sudah jelas, Rasulullah SAW menegaskan, "Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia bagian dari mereka".

Gudrun Krämer (2001), seorang Islamolog asal Jerman pernah mengemukakan bahwa, ciri tatanan Islami adalah syariah, mencakup hukum maupun etika, yang didalamnya tersimpan nilai-nilai Islami. Tidak ada negara yang dapat menyebut dirinya Islami, jika tidak menerapkan syariah dan menerapkannya secara ketat. Ketika berbicara mengenai persoalan etika, Islam tidak menempatkan manusia sebagai tolak ukur dan pusat sumber hukum. Standar mengenai 'baik' dan 'buruk' bukanlah berdasarkan akal dan nafsu, melainkan berdasarkan syariat. Ada tiga sumber norma dan nilai dalam Islam, yaitu, al-Quran, as-Sunnah (primer) dan ijtihad (sekunder). Oleh karenanya, kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang mendasar, tidak bias, terikat serta terbatas.

Dari deretan potret fenomena sosial bangsa ini, kita bisa melihat betapa memang moral bangsa ini sudah jauh dari arus religi. Perilaku hedonisme ini semakin merasuk ke jiwa setiap anak negeri dengan seabrek kegelisahan yang seharusnya kita kuatirkan sejak dini. Namun, terkadang kita salah memahami opini, sehingga yang kemudian terjadi adalah sikap apatis. Hingga semakin deraslah laju kemaksiatan di bumi pertiwi. Seandainya Playboy Indonesia tersebut mendapat restu dari pemerintah dan jadi diterbitkan, maka anda tidak hanya akan mendapatinya di pinggir-pinggir jalan bahkan anda bisa berlangganan setiap edisinya tanpa ketinggalan. Lalu, semakin terbayangkah anda, bagaimanakah wajah bangsa Indonesia ke depan? Mari kita mulai merenung mengenai efek yang akan ditimbulkannya untuk Indonesia di masa depan? Semoga saja kita semakin mengerti. Tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah, tetapi inilah justru awal pergerakan kita menuju Indonesia yang 'timur' dan bermoral lagi Islami.

Kontemplasi Paradigmatik

Sebagai organized religion yang universal, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia (akidah, syariah, akhlak). Betapa sering Rasulullah SAW mengingatkan akan pentingnya akhlak, terbukti dengan cukup banyaknya hadits yang menegaskan persoalan tersebut. Empat belas abad yang silam Rasulullah SAW pernah berkata, "Sebaik-baiknya keimanan seorang mukmin adalah yang paling baik akhlaknya," (HR. Tirmidzi). Kemudian di lain kesempatan, beliau juga pernah bersabda, "Sesungguhnya yang paling kucintai diantara kalian dan (termasuk) orang yang paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah mereka yang paling baik akhlaknya," (HR. Bukhari). Begitu juga ketika Rasul ditanya tentang apa yang paling banyak mengantarkan orang masuk surga, maka beliau menjawab, "Yang paling bertaqwa kepada Allah dan paling baik akhlaknya,"

Makanya, tak aneh jika salah satu misi diutusnya beliau adalah untuk mereparasi moral. Rasul SAW bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak," Moral dan etika dalam Islam memiliki beberapa karakteristiknya tersendiri, yaitu tidak mungkin dipisahkan dengan hukum-hukum syariat yang lainnya, kemudian akhlak Islam tidak tunduk pada keuntungan materi (an-Naf'iyah al-Mâdiyah), dan yang terakahir, selaras dengan fitrah manusia.

Sejatinya, sebagai pekerja-pekerja intelektual kita senantiasa melanjutkan visi dan misi Rasulullah SAW seperti diatas, dan punya andil juga tanggung jawab untuk merubah segala fenomena negatif yang ada disekitar. Pekerjaan intelektual dibangun diatas tiga pilar kesadaran, pertama, kesadaran eksistensial tentang diri. Kedua, kesadaran eksistensial tentang profesi, yang ketiga, kesadaran eksistensial tentang orientasi kemasyarakatan (Ana Nadhya Abrar: 2004). Diracik dari berbagai sumber.



Standar Ganda HAM Barat

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi


Adalah tanggal 10 Desember 1948 dianggap sebagai 'The Declaration of the Human Rights'. Menurut seorang penulis, pemikir dan sejarawan Islam, Tharîq al-Basyarî, ide HAM tersebut telah didahului oleh Amerika pada perang kemerdekaan atas Inggris pada bulan Juli 1776. Mereka menyatakan bahwa manusia telah dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan setara dan menyatakan bahwa hak manusia itu terimplementasi dalam tiga hal: hak hidup, kebebasan dan persamaan. Setelah itu pecahlah Revolusi Perancis pada bulan Agustus 1789 yang memploklamirkan HAM: manusia dilahirkan merdeka dan memiliki kesamaan hak (Jurnal Al Resalah, edisi (12) Rajab-Sya`bân 1425 H/Agustus-September 2004: 2)

Itulah, menurut M. Fethullah Ghulan: seorang pemikir Turki sebagai bentuk "demokrasi liberal modern". Ia menyatakan: "Democratic ideas stem from ancient times. Modern democratic liberal was born in the American (1776) and French Revolution (1789-1799) (The Fountain, Turkey, M. Fethullah Ghulan: Essays, Perspectives, Opinions, 2002: 15). Tanggal 10 Desember 1948 itulah kemudian dijadikan sebagai tonggak sejarah HAM di muka bumi. Meskipun sebenarnya ide tersebut adalah hasil 'plagiarisme' dari ungkapan Umar bin Khattâb.

Sejatinya, berbicara seputar HAM sama artinya berbicara tentang 'Persamaan Hak'. Namun, hak tersebut di Barat tidak 'mengedepankan' 'esensi' persamaan itu sendiri. Diskriminasi malah banyak terjadi di mana-mana. Hingga hari ini, isu diskriminasi di Barat tetap terjadi. Sebut saja di Amerika: orang kulit hitam tidak akan pernah diperlakukan sama dengan kulit putih. Para wanita tetap akan menjadi 'makhluk kelas dua' dalam kehidupan sosial. Fenomena ini justru mengindikasikan bahwa Barat sejatinya mengidap penyakit 'dualism-democratic' (demokrasi-dualisme): di satu sisi ingin mengekspor ide HAM, namun di sisi lain justru mereka yang menginjak-injak HAM mereka sendiri.

Negeri Paman Sam adalah negeri yang paling getol menyuarakan demokrasi, kebebasan, memerangi terorisme, menghancurkan diktatorisme, dsb. Namun pada kenyataannya, merekalah aktor utama dalam melanggar kode etik demokrasi, memasung kebebasan di Irak, dan menciptakan terorisme. Ide-idenya dibungkus dalam mega-proyek The Great Middle East.

Contoh lain adalah apa yang terjadi di Uni Eropa. Sampai hari ini, Turki merupakan negara yang dijadikan 'bulan-bulanan': niatnya untuk bergabung ke dalam Uni Eropa masih tergantung. Alasannya hanya satu: Tukri pernah menjadi pusat kemajuan Islam, Turki Utsmani. Tentu saja 'kebebasan' di sini tidak terealisasi, dan dapat dipastikan bahwa Barat adalah 'negara ular' yang banyak 'menanam tebu dibibir mereka'.

Islam sebagai alternatif

Rasanya tidak salah ketika Murad Wilfried Hofmann menyatakan bahwa 'Islam the Alternative'. Manusia dalam Islam, menurut Ghulan, dengan mengutip hadits Nabi saw seperti "gigi sebuah sisir" (the teeth of a comb). "Islam doesn't discriminate based on race, color, age, nationality, or physical tratis. The Prophet say: "You are all from Adam, and Adam is from earth. O servants of God, be brothers (and sisters). Oleh karena itu, menurutnya, siapa yang lebih dahulu lahir, dialah yang akan memiliki banyak kekayaan (wealth) dan kekuasaan (power) dari yang lainnya...(Ibid). Fakta ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, bahkan oleh negara Barat sendiri.

Dalam sebuah karyanya tentang negara Pakistan, Rushprook Williams menyatakan tentang tradisi Islam: "Tradisi-tradisi Islam mencakup prinsip-prrinsip persamaan diantara roh manusia di hadapan Allah dan mengakui hubungan darah persaudaraan dunia tanpa melihat ras ataupun warna kulit. Sebagaimana juga mengakui adanya pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah dari pihak yang berlaku zalim kepadanya, membantu orang-orang yang kekurangan, kehilangan haknya, dan orang mengorbankan kehidupannya dalam menempuh jalan yang lurus." Hal ini juga diakui oleh penulis terkenal J. Weills di dalam bukunya yang terkenal Short History of the World. Ia menyatakan: "Tampaknya unsur kekuatan ketiga termanifestasi dalam tekad bulat umat Islam yang menyatakan bahwa kaum beriman adalah bersaudara yang memiliki persamaan di hadapan Allah, meskipun warna kulit, asal-usul dan tempat tinggal mereka berbeda-beda." (Rajae `Atheya, `Alamiyah al-Islâm, 2003: 240-241). Rasanya tidak ada lagi alasan yang harus dikemukakan. Dunia harus menolak HAM Barat yang sudah 'lapuk' dan ketinggalan zaman itu. Bukankah dua pemikir Barat di atas sudah representatif untuk mengakui HAM dalam Islam? Wa syahida syâhidun min ahlihâ = dan seorang saksi dari keluarganya memberikan kesaksian (Qs. 12: 26).

Ada Apa Dengan PERSIS ?

Otokritik Peran Kader Persis, Menjelang Muktamar 2005


Oleh : Teguh A. Deswandi

Suatu hari, saya akan melanjutkan sekolah kejenjang menengah Atas. Saat itu saya harus memilih kira-kira sekolah mana yang mampu memberikan pendidikan bagus dan menelorkan output berkapabelitas tinggi. Apakah saya akan masuk sekolah umum dengan ragam aktivitas non-formal dan tawurannya? Atau malah masuk sekolah Islam (Baca: Pesantren) pilihan orangtua yang marak dengan nuansa religinya; Muthala'ah dan alunan musik Gambus?

Dengan desakan orangtua dan teori Maslahah yang sempat saya dengar dari seorang kyai dikampung, akhirnya saya masuk pesantren. Kendati bayangan "Santri Budug" sempat memadati cakrawala pikiran saya saat itu, namun dengan cepat hilang setelah saya memasuki komunitas santri dengan aneka ilmu yang diajarkannya. Belakangan saya bangga masuk pesantren dan saya yakin pesantren PERSIS dimanapun, mampu menciptakan kader pembaharu sebagaimana slogan PERSIS, sebagai organisasi Pembaharu.

***

Dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini, orang sudah disibukan dengan kebiasaan fragmatis dalam bertindak, terlebih sikap elite yang memiliki syahwat kuasa dan oportunisme bertegangan tinggi. Kekeruhan alam pikiran dan mentalitas para pimpinan masyarakat terdidik itu, seakan menjadi instrument pendidikan yang Amburadul, kehidupan hedonis, oportunisme dan penyakit-penyakit sosial lainnya. Hingga tatanan masyarakat menjadi tidak seimbang, mulai dari ekonomi yang carut-marut, taraf kemiskinan mencapai 32 Juta jiwa, pengangguran dimana-mana, kubangan kejumudan menggenang luas dan lebih sadisnya nilai-nilai esensi Islam berubah menjadi makna simbolik yang diusung bangga.

Dengan kondisi seperti ini, masyarakat sudah mulai tertarik dan menoleh pada gerakan-gerakan kultural yang juga menyentuh dimensi intelektualnya. Gerakan pencerahan yang diusung oleh Persatuan Islam, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, LSM-LSM dan lain sebagainya, merupakan alternatif yang diharapkan mampu mengobati penyakit-penyakit sosial yang telah akut menimpa bangsa kita. Ada semacam oase ditengah kegersangan moral masyarakat Indonesia. Hal ini akan mampu menciptakan tempat berlabuh bagi harapan-harapan rakyat yang meredup. Namun gerakan pencerahan ini tentunya harus mampu menyentuh sampai wilayah nyata di pelataran rumput. Untuk masuk ke wilayah aksi kemasyarakatan itu, memerlukan –meminjam istilah Haedar Nasir- gerak pergumulan yang panjang dan berkeringat lumpur layaknya perjuangan petani dan nelayan.

Persatuan Islam (Persis) adalah organisasi Islam yang juga memiliki agenda kesejahteraan ummat sesuai dengan koridor kalam Ilahi dan pesan-pesan profetik (kenabian). Selain itu Persis adalah salah-satu organisasi Islam yang mengklaim sebagai Ormas pembaharu dengan segala pencerahan diberbagai lini (revolusioner-radikalisme) yang akan merubah masyarakat sampai akar-akarnya, namun pencerahan ini lebih di titikberatkan kepada gerakan pemurnian akidah dan kebenaran ibadah sesuai dengan koridor diatas, meski organisasi lain pun (baca; Ormas Islam) mengklaim bahwa ritual aplikatif hasil ijtihadi mereka sesuai dengan tuntutan Islam. Disinilah letak stagnan-nya Persis yang lebih enjoy untuk terus berputar dalam masalah debatable (ikhtilafiyah). Sehingga tidak aneh jika dunia pendidikan dalam kacamata Persis harus terus berkutat pada masalah fikih praktis (fikih oriented). Dan substansi dari nilai pembaharuannya kini seolah pudar dimakan rayap.

Dunia pendidikan Persis seakan lupa atau mungkin tak mau tahu (apatis), bahwa pembaharuan dalam konteks Islam adalah mengsinkronisasikan tranformasi budaya manusia yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan juga memperhatikan nilai-nilai kekinian (al-mu’âshirah). Yang akhirnya dapat dirasakan oleh banyak manusia dalam memenuhi hajatnya. Paradigma dari pemahaman agen pembaharu tentang pembaharuan ini –menurut subjektivitas penulis- perlu dikaji ulang. Ceramah, dan dakwah saja untuk saat ini tidak cukup, zaman sudah berubah, kejayaan dalam memberantas TBC (takhayul, bid'ah, churafat) sudah menjadi nyanyian masa lalu. Yang perlu diperhatikan kini adalah bagaimana Persis menanggulangi krisis moral masyarakat, bagaimana Persis mampu memberikan sumbangsih pemikiran dalam dunia pendidikan nasional, dan bagaimana Persis dapat mengelola para alumni pesantren Persis dengan bijak dengan menghilangkan sikap skeptis akan kadernya yang 'berjuang' di luar koridor Persis.

Hemat penulis, tiga permasalahan diatas adalah agenda mendesak Persis untuk segera ditindaklanjuti. Bagaimana Persis akan membangun masyarakat yang bersih dan sejahtera jika moral setiap 'warganya' masih dipertanyakan. Nampaknya dalam 'otak' Persis kekuatan moral (moral force) masih diberikan porsi setengah atau malah mengalami marginalisasi dibandingkan dengan porsi fikih yang harus mumtaz dan seragam dalam satu wadah yang plural. Sehingga wajar jika banyak komunitas Mutafaqihu fii ad-Dien namun moralnya masih tidak mencerminkan seorang fakih dalam agama. Mengenai pendidikan, seharusnya Persis dapat melahirkan kader-kader berkualitas (bukankah Persis lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas?). Hampir setiap tahunnya lembaga pendidikan Persis yang dibumbuhi dengan nomor urut ini mampu mencetak ratusan alumnus. Sebuah kekuatan besar yang kiranya dapat meloloskan Persis dari status lost contribution dalam kancah pendidikan nasional dan mampu bersaing dengan alumni lainnya. Namun kenyataannya, percaya atau tidak, suka ataupun tidak suka, pendidikan Persis masih jauh tertinggal dari yang lain. Terlebih jika dilihat output hasil 'godokan' mesin cetak (pesantren) Persis masih kurang berkualitas –jika tidak ingin dikatakan buruk-. Sebab kualitas sebuah lembaga pendidikan akan dilihat pada proses final dalam melahirkan output. Lebih miris lagi, setelah tumbuh generasi penerus berkualitas made in Persis, bukan malah dijadikan 'Bumper' kebobrokan yang terjadi dalam tubuh Persis. Mereka malah menjadi sebuah 'mimpi buruk' yang akan membawa Persis ke jurang inklusifitas. Potensi yang berada di pundak mereka seolah semu jika dipandang tidak sesuai dengan kacamata pergerakan Persis. Sehingga tidak sedikit alumni Persis yang 'tercerahkan' lebih tertarik untuk mengaktualisasikan hasil perjalanan intelektualnya ke organisasi yang lebih bisa mewadahi dan menerima mereka. Sejatinya Persis sadar bahwa perbedaan dalam pelbagai hal adalah sebuah keniscayaan. Bukankah alunan musik dari beragam alat musik jika disinergikan akan menimbulkan suara yang merdu? Bukankah benang yang berbeda warna jika disulam dengan baik akan menghasilkan kain yang indah?.

Dalam hal ini pesantren Persis memiliki peran yang sangat vital dalam mencetak generasi Persis berkualitas. Namun penggodokan intelektual dalam pesantren bukan semata mengharapkan timbalan jasa guna berbakti kembali pada pesantren. Masih banyak pos-pos kosong dalam tubuh Persis yang belum tersentuh. Dalam hal ini, tidak semestinya pesantren memaksakan seluruh alumnusnya harus kembali ke pesantren. Cibiran dan ungkapan sinis dari pihak pesantren untuk alumni yang tidak kembali ke Pesantren harus mulai diminimalisir. Penulis yakin tanpa dokrin pun, alumnus tidak akan melupakan 'labotarium intelektual' yang telah menancap dalam sanubari anak didik. Sehingga beragam potensi yang dimiliki alumnus pesantren Persis dapat dimanfaatkan bukan hanya di sektor pesantren, namun bisa dirasakan secara merata dan proporsional.

Belum lama ini Persis mengukuhkan perwakilannya di Mesir, tentunya Pwk. Persis Mesir adalah wujudan organisasi yang mewakili wajah Persis sesungguhnya. Mari kita jadikan perwakilan ini sebagai labotarium intelektual jilid II yang membuang sikap apriori akan perbedaan. Dengan perbedaan kita bisa membangun kembali bangunan tua yang sudah mulai berjamur dan berlumut.

***

Ternyata kebanggaan saya memasuki pesantren salah, apa yang saya prediksikan bertolak belakang dari kenyataan. Ekpresi diri terkekang, kejumudan merasuk dan menggigit tulang, dan akhirnya saya harus menunggu beberapa tahun dari keterpurukan ini. Padahal saya sudah memilih dengan pemahaman dan parameter-parameter Islam, konsep maslahah nampaknya tidak sesuai dalam konteks ini.

Namun buru-buru saya menyadari, bahwa pilihan saya memang salah. Salah dalam arti prediksi saya tidak tepat. Bukan SALAH dalam arti lawannya BENAR. Persepsi saya semula akan memberikan prediksi yang mendekati kebenaran ternyata masih kurang tepat. Hal ini membuat saya sadar bahwa pengetahuan saya sangat sedikit, begitu banyak yang diluar dan kemampuan kontrol manusia. Saya pikir proses 'pengkristalan' manusia tidak sebatas dibangku sekolah, kini dihadapan saya masih ada wadah yang diharapkan mampu membawa saya menuju kader Persatuan Islam yang berkualitas, semoga saya tidak salah melangkah lagi.

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com