Oleh Agus Taufik Rahman
Selalu menarik, ketika menyoroti dinamika manusia Indonesia. Baik dari perubahan yang dinilai positif, apalagi yang negatif, berbagai sudut pandang sudah dikupas baik dalam bentuk buletin, jurnal, buku bahkan, ivent semacam whorkshop dan seminar pun sudah teramat sering hanya sekedar menguliti permasalahan, juga solver yang ditawarkan.
Tulisan ini mencoba memfokuskan pada satu titik yang dinilai urgen dan memiliki potensi besar membawa perubahan yang selama ini di cita-citakan. Siapa lagi kalau bukan kaum terpelajar dan pemuda yang memiliki adigium agen of change dan berjiwa revolusioner sepereti yang diungkapkan Gramsci.
Yang menjadi akar permasalahan paling mendasar adalah, komunitas yang selama ini dinilai memiliki potensi untuk menjadi solusi tersebut, justru mendapat porsi paling besar terjangkit krisis. Alih-alih untuk menjadi solver, permasalah yang ada ditubuh kamunitas inipun begitu akut, karena cukup menyita perhatian publik; degradasi moral, budaya, akhlak, dan krisis keprecayaan adalah beberapa persoalan yang melilit intelektual kita saat ini, tentu saja hal tersebut memerlukan perhatian intens yang cukup serius dari berbagai eleman yang ada.
Realitas yang tampak seperti sekarang ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang melatar belakangi hilangnya karakteristik murni, hal ini merupakan antitesa perjalanan sejarah panjang peradaban manusia yang berangkat dari renaisance, sekulerisasi, globalisasi dan kapitalisme global yang tentu saja tidak nihil dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Proses sekulerisasi global
Hedonisme dewasa ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perkembangan antroposentrisme dan positivisme abad pertengahan yang merasa jemu terhadap rezim hegemoni gereja yang memonopoli kehidupan rakyat. Jiwa berontak ini kemudian terealisasi dengan munculnya reanisance dan humanisme hingga mencapai puncaknya pada abad ke-18, yang dikenal dengan aufklarung atau enlightement dunia eropa. Anggapan agama sebagai batu karang pemasung intelektual dan nilai-nilai pembebasan (liberation) Penghambat pekembangan semakin mengkristal, dan lambat laun mulai tergantikan dengan sekulerisme yang menjadi sumber moral manusia modern.
Pada saat gelombang protes itu diarahkan pada gereja, seiring itupula kebangkitan nalar, empirisme dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak ilmuwan dan filosof semisal Maritain, Prancias Auguste Comte dan Fiedrich Nietzshe memberikan futuristik peradaban akan datangnya kebangkitan ilmu dan keruntuhan agama. Comte Percaya bahwa menurut logika sekuler perkembangan filsafat dan ilmu barat berevolusi dari tingkat paling primitif ke tingkat paling modern. Nietzshe dengan tokoh novel Zarathustra menggambarkan kondisi untuk dunia barat setidaknya tuhan telah mati (Syed Muhammad Al-naquib Al-Atas: Islam dan Sekulerisme).
Kristen sebagai agama mayoritas barat saat itu mulai dihinggapi kompleksitas masalah yang serius. Bahkan tidak sedikit diantara cendikiawan kristen yang menjadi avangarde sekulerisasi. Hingga titik kulminasi, keharusan menerima dan peradaptasi dengan sekulerisasi tidak dapat terhindarkan lagi. Malah pada paroh perjalanan selanjutnya justru turut andil bersekutu dalam penyebaran sekulerisasi ini. Kondisi seperti inilah yang berulang kali Masscall sebut dalam bukunya, sebagai usaha merubah kristen menjadi dunia, bukan sebaliknya merubah dunia menjadi kristen.
Teriakan Nietzxhe tuhan “telah mati” kini berubah menjadi kidung “kristen telah mati”. Agama sebagai kontrol sosial menjadi tidak memiliki arti karena sudah terpetakkan ruang privasi dan publik. Kondisi seperti itu menjadikan fungsi agama hanya sekadar sarana penebus dosa atau meminjam istilah Gordon W. Alport “something to use but not to live”. Bisa saja dalam keseharian mengorbankan nilai-nilai moral, kejujuran, keadialan, dll. Pada saat yang bersamaan mereka pun giat melakukan ibadah ritual sebagai usaha pensucian.
Dekadensi moral, budaya dan ideologi yang terjadi dibelantika dunia saat ini pun tidak terlepas dari proses sekulerisasi yang merambah ke penjuru negeri. Sekulerisasi dengan berbagai pilar yang diperdagangkan mampuh merubah dunia menjadi nihil dan absurd dari nilai-nilai luhur yang menajdi identitas suatu bangsa –khususnya Islam dan dunia ketimuran-.
Jika sekulerisasi ini dipaksakan menjadi pandangan hidup, rusaknya tatanan kehidupan, keberagamaan, etika, moral dan budaya menjadi menjadi sebuah kemungkinan yang sulit dihindarkan. Perubahan inilah yang disebut oleh Marx sebagai prose “evolusioner”, imbasnya segala sesuatu dapat berubah dan tidak ada nilai yang mapan karena, terus mengupayakan penyelarasan dan konseptualisasi dengan kebutuhan yang berkembang.
Westernisasi dan Globalisasi
Globalisasi dan westernisasi layaknya kepingan mata uang yang tak dapat dipisahkan, satu sama lain memiliki mata rantai yang utuh sebagai misi untuk menghegemoni dunia ketiga. Terlebih lagi dengan lahirnya persatuan negara adikuasa yang dinamakan G-8.
Sebagai salah satu instrumen sekulerisasi, globalisasi ternyata cukup laris diberbagai belahan dunia, karena ada semacam ketakutan, ketinggalan, terbelakang dan tidak berperadaban jika tidak mengikuti budaya yang sedang ngetrend ini. Dengan jargon ICTnya globalisasi telah mampu medobrak bangsa yang ramah, santun dan religius manjadi buas, ganas dan amoral. Bukan hanya segelintir orang saja yang terjangkit krisis ini, anak-anak, pemuada, orang tua, laki-laki, perempuan, dari tingkat paling bawah hingga para elitis. Yang lebih ironis adalah kaum terpelajar sebagai komunitas intelegensia justru mendapat porsi paling besar dalam perubahan yang dinilai negatif ini.
Bukan hanya ekonomi, informasi, komunikasi dan teknologi yang menjadi sasaran empuk globalisasi namun, etika regional serta idiologi yang selama ini dinilai memiliki ruang privasi menjadi bidikan yang urgen untuk dipertaruhkan. Hal ini dinilai cukup membawa perubahan yang sangat signipikan terhadap pola pikir juga pandangan hidup (world view) yang tadinya tertutup menjadi terbuka yang statis menjadi dinamis. Pergeseran nilai norma budaya sangat terasa dan tak terelakan lagi, dengan terbukanya cakrawala dunia yang menembus ruang dan waktu, perang budaya dan ideologi (ghazwu al-fikri) yang menyababkan dekadensi moral menjadi keniscayaan tersendiri.
Berbagai prodak yang ditawarkan telah dikonsumsi mentah-mentah oleh publik, mulai demokrasi, kebebasan, toleransi, kesetaraan gender, HAM dsb. Semua produk tersebut mampu mendongkrak tata nilai yang telah mapan, dari moral sosial, hukum kenegaraan serta nilai keberagamaan yang dianggap sakral dan absolut sekalipun tidak luput dari upaya pendekonsrtuksian. Semua itu tidak lain agar sesuai dengan selera, humanistik, hak asasi dan nilai pembebasan (liberalitation). Ketika nilai-nilai itu diperjuangkan, tidak bisa dipungkiri segala nilai, norma dan pegangan yang dianggap mapan lambat laun menjadi profan, absurd serta dapat dikompromikan.
Media (cetak dan visual) sebagai instrumen globalisasi menjadi senjata ampuh pentransport segala bentuk yang diperjuangkan, semua sajian yang disodorkan dapat menghegemoni konsumen. Pada mulanya segala bentuk sajian tersebut menjadi lifestyle hingga akhirnya meng-ideologi.
Jika menilik lebih dekat, fenomena perubahan ini sungguh sangat transpatran, jika dulu anak bangsa saat menjelang maghrib bergegas untuk belajar sembahyang dan mengaji ke Surau-surau, Mesjid, Mushala dsb. saat ini bukan pemandangan itu yang tampak, saat adzan maghrib berkumandang, kini pemandangan itu sangat asing, yang ada adalah sepasang bola mata yang sigap duduk menyaksikan idolanya dilayar kaca dengan lifetyle yang “miskin nilai”. Jika dulu tayangan televisi cukup hanya TVRI serta station swasta lainnya yang lumayan cukup mendidik, saat ini tampak berbeda, dengan marak stasion televisi yang baru, malah dipojok layar kaca sudah terpangpang label; untuk semua umur, BO (bimbingan orang tua), 18+ dan sebagainya. Tanpa disadari, semua hal tersebut yang akan membentuk pola pikir dan gaya hidup masyarakat.
Merebaknya pandangan hedonistik
Kita tidak menutup mata bahwa kenyataan yang terjadi dilapangan adalah maraknya pola hidup yang serba baru, modis, populis dan “kontoversi”. Sekali lagi hal ini dapat terjadi karena sudah terhegemoni (soft hegemony) oleh sebuah kekuatan yang kita sebut kapitalisme global. Menarik sekali yang diutarakan John Lennon, “Sex, TV, and Music make you weak”. Seperti halnya virus pola hidup seperti ini mudah sekali merambah keseluruh lapisan pelajar dan mahasiswa. Budaya Idol, EMO, indi, dugem, party, dsb. menjadi sangat akrab dengan dunianya saat ini.
Rupanya virus epigonistik sebagai budaya “membebek” sudah mendarah daging. Antroposentrisme sebgai sebuah faham sudah bergeser menjadi gaya hidup hedonis ala barat dan, cenderung diterima tanpa selektif serta filter yang ketat. Identitas pelajar dan mahasiswa sebagai intlektual organik tempat berkumpulnya aspek kognisi, kesadaran, dan gerakan (collective consciousness movement) mulai terkikis dan lambat laun tidak menutup kemungkinan akan hilang.
Islam tentu saja berbeda hitoris dengan Kristen maupun agaman lainnya, sebagai agama yang menjungjung tinggi nilai egaliterian diantara manusia, tidak ada hegemoni maupun monopoli dalam hak dan kewajiaban. Semua manusia sama dihadapan sang pencipta hanya nilai takwa saja yang menjadi pembeda. Sebagai agama universal, tidak ada cacat dalam syari’at, anjuran hidup seimbang (balance) antara pemenuhan kebutuhan rohani dan jasadi telah dicontohkan oleh figur sempurna (Rasulullah). Tidak melulu ibadah dengan mengesampingkan dunia, apalagi sebaliknya, sibuk mengurusi dunia dengan melupakan akhirat yang prioritas. Wallahu ‘Alam bissawab. (TR)