11 June 2007

Polemik Seni

Oleh: Arif Munandar Riswanto*


BEBERAPA bulan ke belakang, umat Islam dibuat PR baru dengan dua kejadian besar—global dan lokal—yang berlatang belakang seni. Pertama; Pemuatan karikatur Nabi oleh Jyllands Posten dan sejumlah media massa-media massa Barat lainnya. Kedua; Rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. Dua kejadian tersebut membangunkan kembali ingatan kita tentang relasi seni dan agama. Apakah seni bebas nilai (free value) atau tidak?

Berbicara seni ala Barat adalah berbicara batasan di dalam Islam. Dengan demikian, menurut Islam, seni tidak bebas nilai. Di dalam Islam, seni diikat oleh aturan yang telah final. Ikatan tersebut tidak linear dengan falsafah liberalisme yang menjadi landasan epistemologi Barat dalam memandang seni. Liberalisme mengajarkan bahwa manusia adalah pusat, segala-galanya, dan tidak diikat oleh wahyu (antroposentris). Tidak heran, jika ideologi-idelogi modern produk Barat semisal HAM, demokratisasi, gender equality, kebebasan berekspresi, dll. adalah ideologi-ideologi yang berpusat kepada manusia an sich.

Jadi, sebenarnya permasalahannnya telah sangat jelas. Meskipun dengan dalih seni, tetapi aurat yang diekspolitasi untuk mengeruk limpahan materi dan membangunkan syahwat pria tetaplah aurat dan hukumnya haram. Aurat dan penghinaan Nabi tetaplah aurat dan penghinaan. Ia tidak bisa dijustifikasi dengan dalih seni, keindahan, dan kebebasan. Kaidah fiqih mengajarkan bahwa menghukumi sesuatu adalah dengan substansi dan isi, bukan dengan kulit dan nama (al-'ibrah bi ‘l maqâshid wa ‘l musammayyât la bi ‘l mazhâhir wa ‘l asmâ`/al-`umûr bi maqâshidiha). Jika Islam melarang sesuatu, wasilah-wasilah yang mendukung pengharaman tersebut pun dilarang (an-nahyu `an syain nahyun bi wasâ`ilihi/ ma yufdhî ilâ ‘l harâm fa huwa ‘l harâm). Hal-hal yang halal telah jelas, dan hal-hal yang haram telah jelas. Allah hanya menghalalkan hal-hal baik saja (thayyibât). Sedangkan hal-hal yang bisa mengakibatkan kehancuran, eksploitasi wanita, zina, dekadensi moral, kerusakan generasi, dll. adalah hal-hal yang diharamkan oleh-Nya (QS 7: 157).

Pandangan seperti ini tidak lantas menjadikan seni sebagai hal yang akan "dikerangkeng" oleh Islam. Karena terbukti, dalam masa kosmopolitan peradaban Islam, seni Islam berkembang dengan sangat menakjubkan. Namun, seni tersebut tetap dibatasi oleh akhlak Islam yang taken for granted. Untuk itu, patung, karikatur Nabi, lukisan telanjang dll., tidak pernah berkembang dalam tradisi seni Islam sepanjang empat belas abad. Tradisi ini baru berkembang—dan dijustifikasi dengan dalih seni—pada masa sekarang saja. Setelah ekspansi Barat yang jor-joran kepada seluruh ranah kehidupan modern umat Islam.

Seni Islam adalah seni yang diwarnai oleh ruh "Sesungguhnya Allah Maha Indah, Dia menyukai keindahan" (HR. Muslim). Bahkan, di balik semua itu, Al-Quran mengajak manusia untuk merenungi seni mahaindah dalam bentuk kumparan semesta alam—tumbuhan, binatang, antariksa—yang hanya diciptakan oleh Allah. Inilah seni yang sebenarnya, indah, memberi hiburan jiwa, dan bisa menjadikan sebuah peradaban maju.

Dalam "Ats-Tsaqâfah Al-Islamiyyah baina ‘l Ashâlah wa ‘l Mâ`ashirah," Yusuf Qardhawi menyarankan sebuah kacamata pandang yang harus kita tolak, yaitu justifikasi (tabrîr). Pandangan seperti ini biasanya ingin menjustifikasi realitas yang menyimpang dari ajaran Islam dengan menggunakan berbagai dalih. Terlebih lagi, kita tidak bisa menerima jika justifikasi tersebut justru menggunakan teks-teks Al-Quran dan hadits yang menyalahi kaidah-kaidah bahasa Arab dan konsensus universal umat Islam (ijmâ`) selama ratusan abad. Sehingga, dengan pisau pandangan seperti ini, yang haram bisa menjadi halal dan yang benar bisa menjadi salah.

Hal-hal yang terjadi pada dasawarsa sekarang ini tiada lain menunjukkan bahwa pemikiran, politik, ekonomi, negeri, agama, peradaban, seni dll. kita masih diduduki oleh bangsa lain. Sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Khaldun, bangsa yang diduduki adalah bangsa yang kalah. Ia selalu mengikuti segala model bangsa yang menduduki dan menang. Sebagai sebuah kekuatan hegemoni yang besar, ranah-ranah tersebut ingin dinetralkan, diliberalkan, direlatifkan, dan disekularkan dari sebuah nilai, ideologi, dan agama. Maha Benar Allah ketika Dia berfirman bahwa manusia akan menjadi sangat arogan jika mereka merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak merasa butuh terhadap bimbingan wahyu (antroposentris/QS 96: 6-7). Wallâhu A`lam bish-Shawâb.

Pers; Antara Otoritas dan Distorsi Opini

(Secarik refleksi atas fenomena Jyllands Posten dan Playboy)
Oleh : Rashid Satari*

"Satu ujung pena lebih kutakuti daripada seribu bayonet"
(Napoleon Bonaparte)


Khusus untuk Indonesia, kran liberalisasi jurnalistik belum lama dibuka. Reformasi 1998 menjadi gerbang utama multi kebebasan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Amien Rais dalam sebuah antologi berjudul "Reformasi Dalam Stagnasi" mengatakan bahwa dari enam agenda reformasi, salah satunya berbunyi tentang kebebasan warga negara (dalam hal pers, bicara, ekspresi, religi dan lain sebagainya). Artinya harus diakui bahwa atmosfer bangsa kita pada pra-reformasi memang memandulkan sebagian segmentasi potensi anak bangsa. Hegemoni Orde Baru telah menginvestasikan “bom waktu” yang akhirnya meledak pada titik kulminasi tertinggi dengan kemasan reformasi.

Untung tak dapat diraih, reformasi pun mengalami stagnasi. Menurut Amien Rais, juga dalam antologi yang sama, stagnasi ini terjadi karena penyakit mental yang masih menggerogoti bangsa kita. Penyakit mental tersebut diantaranya adalah mental attitude bangsa. Mental Attitude ini berdampak pada terciptanya budaya Public Dishonesty (ketidakjujuran publik) dan Publiclies (kebohongan publik). Akhirnya bisa kita lihat bersama, kran kebebasan berekspresi yang dibuka ternyata malah mereduksi, mengalami ambivalensi dan absurditas arti. Kebebasan diartikulasikan sebagai era kebebasan yang membabi buta.

Pers atau dunia jurnalistik sejatinya adalah media informasi yang berposisi sebagai abdi publik. Menyajikan hidangan informasi yang objektif dan transparan merupakan lambang tanggung jawab moral pers terhadap publik. Mengutip Jalaluddin Rakhmat, The American Society of Newspaper Editors tahun 1923 meresmikan kode etik Jurnalistik yang kemudian terkenal sebagai Canons of Journalism. Kode etik itu diantaranya adalah (1) Tanggungjawab (2) Kebebasan Pers; kebebasan pers harus selalu dijaga sebagai hak vital manusia dan pers bebas membicarakan apa saja yang tidak dilarang hukum atau perundang-undangan. (3) Independensi; pers harus membebaskan diri dari segala kewajiban kecuali kepada kepentingan umum. (4) Ketulusan; kesetiaan kepada kebenaran, dan akurasi (sincerity, truthfulness, and accuracy). (5) Kejujuran dalam menyampaikan informasi (impartiality). (6) Berlaku adil (fair play); pers harus memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan penjelasan bandingan dari apa yang disampaikan. (7) Kesopanan (decency); pers harus menyampaikan informasi, betapa pun terperincinya, sesuai dengan standar moral dan kesusilaan masyarakat.

Selanjutnya, idealisme pers melalui kode etiknya ini harus tersandung oleh realita aktual yang menunjukan bahwa kebebasan bersuara melalui media pers telah menjadi hak milik setiap lapisan komunitas dan individu mana saja dari masyarakat kita, mulai dari kalangan akademisi hingga politisi. Akhirnya tak jarang penerbitan pers kental dengan unsur subyektifitas kelompok yang melatarbelakanginya.

Atas nama kebabasan pers, subyektifitas dalam penerbitan sebuah media menjadi hal yang tak bisa dipungkiri. Dalam Pemilu Indonesia 1999 saja misalnya, setiap partai politik diberi kewenangan lebar untuk menerbitkan media, apapun bentuknya, sebagai wasilah kampanye mereka. Dari sini bisa kita lihat, perang opini menjadi fungsi lain yang diperankan pers. Atas dasar fenomena seperti inilah akhirnya keberadaan dan peran pers dipertanyakan kembali.

Awal 2006 Denmark mengejutkan dunia dengan Jyllands Posten-nya. Indonesia pun tak ingin ketinggalan, melakukan manuver baru di tahun yang baru dengan rencana penerbitan PlayBoy versi dalam negeri. Apa yang terjadi diantara keduanya tak lebih sebagai puncak gunung es saja. Bila kita tilik lebih jauh, dua belas karikatur baginda Nabi Saw. di Jyllands Posten sebenarnya telah terbit sejak September tahun lalu. Begitu pula dengan fenomena Playboy, majalah atau media-media dengan menu hidangan serupa telah banyak menjamur di Indonesia jauh sebelumnya.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia pers sudah jauh dari idealisme dan kode etiknya sebagai transformator kebenaran faktual dan kontekstual yang mengedepankan nilai-nilai universal. Hal ini diasumsikan terjadi karena euforia jurnalistik yang terjadi secara global sehingga merangsang dunia pers untuk semakin berani mengekspresikan kemerdekaannya. Walaupun, sejatinya, kebebasan ini banyak dilatarbelakangi keberpihakan, tetapi keberpihakan itu harus dilimpahkan kepada kemashlahatan publik dan konsensus universal.

Ambiguisitas pers memberikan dampak yang cukup berarti pada berbagai sisi kehidupan kita. Dari Jyllands Posten misalnya, tidak hanya hubungan diplomatik antarbangsa saja yang rusak, krisis perekonomian dan patologi sosial turut menjadi ancaman. Demonstrasi radikal terjadi seperti di Libanon, Suriah dan Indonesia; ribuan karyawan perusahaan Denmark di beberapa negara mayoritas muslim harus mengalami PHK Ini akan berdampak langsung kepada stabilitas sosial ekonomi negara bersangkutan. Begitupun Playboy yang mempertaruhkan perhatian, tenaga bahkan nilai-nilai moralitas bangsa kita. Keduanya belum ditambah lagi dengan sebuah kemungkinan lain yang tak kalah mengerikan, ketika toleransi mencapai titik jenuhnya sehingga memancing petaka global berlatarbelakang akidah dan ideologi.

Perkembangan dunia dan euforia jurnalistik telah mengantarkan pers pada perannya yang paradoks. Atmosfer kebebasan telah menghembuskan nuansa tidak sehat diantara pers dan konsumennya. Di sisi lain para pakar komunikasi kontemporer berpendapat bahwa informasi tak bisa lagi dianggap sebagai alat semata bagi sebuah kekuasaan. Sebab, informasi itu sendiri adalah kekuasaan. Di sini, pers adalah penguasa informasi dan opini sepenuhnya.

Tulisan ini tidak bermaksud menggugat kemerdekaan pers, karena kemerdekaan bagi pers adalah nafas hidup. Semoga pers menemukan kembali jati dirinya sebagai abdi publik yang independen dan bertanggungjawab; penyampai berita dan penebar makna. Wallahu 'alam bishawab.

Ketika Hedonisme Merambah Kaum Hawa

Oleh: Rahimah

Hedonisme ialah sebuah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi merupakan tujuan utama dalam hidup. Secara naluriah, manusia tercipta dengan kecenderungan yang sama, yaitu mencintai sesuatu yang menyenangkan (ali-Imran :14). Mustofa Bisri, dalam tulisannya yang berjudul "Gebyar Iming-ming itu Ujian" mengatakan bahwa di antara perangai dasar manusia adalah memiliki kecenderungan untuk hidup berlebih-lebihan, serba mewah, egois dan pelupa. Sebuah kecenderungan untuk menikmati kesenangan hidup di dunia adalah suatu keniscayaan. Bertolak dari hal ini maka bukanlah suatu yang aneh jika objek yang menjadi sasaran dari budaya hedonisme adalah manusia, terutama komunitas kaum hawa. Adanya pengkhususan ini tentu berdasarkan fakta yang real dan tidak dapat dipungkiri siapapun.

Pemerhati pusat-pusat perbelanjaan pasti akan mengatakan bahwa mayoritas pengunjung tempat tersebut adalah perempuan. Bagaimana tidak? Kebutuhan perempuan terhadap materi memang sangat banyak. Hal tersebut merupakan salah satu implikasi dari media elektronik yang selalu menampilkan kehidupan matrealis baik dari sinetron ataupun iklan. Setiap hari selalu saja ada barang-barang dengan model terbaru yang membuat ‘gatal’ tangan perempuan, ingin segera memilikinya. "Hah, kok uangku tinggal segini lagi, sih ???” ujar seorang perempuan yang baru selesai belanja dari supermarket seolah baru menyadari bahwa ia telah menghabiskan uang yang banyak dengan membeli barang-barang yang barangkali kurang begitu diperlukan, hanya disebabkan tergiur dengan beberapa model barang keluaran teranyar. "Aduh kayaknya aku harus ganti hp deh, abis modelnya udah kuno, sih!" Begitulah kira-kira ungkapan yang dilontarkan mayoritas kaum hawa korban iklan hingga membawanya pada kehidupan yang menghambakan materi. Sepertinya fenomena ini sudah dianggap biasa di kalangan kita. Salahkah? Barometer kita untuk mengukur hal tersebut tentunya kembali kepada ajaran Islam.

Islam sebagai ajaran yang sempurna tentu memiliki jawaban terhadap pertanyaan di atas. Fenomena kecenderungan wanita yang berlebihan terhadap materi (sophaholic) termasuk kepada perbuatan yang tidak bermanfaat. Sementara al-Quran sendiri telah melarang perbuatan tersebut dengan jelas dan mengkategorikannya sebagai perbuatan syaitan (al-Isra' 26-27). Syaitan telah mengikrarkan janjinya kepada Allah bahwa ia akan senantiasa menggoda, melalaikan dan menjerumuskan manusia dengan cara apapun, termasuk melalui hawa nafsu (keinginan). Kita semua tentu ingat dengan suatu ayat yang mengisahkan tentang sebagian istri Rasulullah yang meminta tambahan nafkah, kemudian Rasulullah menyodorkan dua pilihan kepada mereka; kehidupan dunia yang berimplikasi kepada perpisahan (cerai) mereka dengan Rasul atau memilih Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi mereka menyatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya lah yang mereka pilih. Dari kasus ini kita dapat melihat dua realita; Pertama, kecenderungan wanita yang menginginkan sesuatu yang lebih. Mungkin hal ini dijadikan dalih atau alasan oleh sebagian wanita dengan mengatakan "Tuh kan, istri nabi juga kayak gitu...". Tapi, pernyataan ini dapat terjawab dengan realita kedua yang kita ambil dari kasus di atas yaitu ketaatan seorang wanita yang menyadari kekeliruannya dengan segera kembali pada komitmen awal.

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa hedonisme seolah telah membudaya di kalangan masyarakat. Sementara tragedi tsunami dan musibah-musibah lainnya masih menyisakan kisah lara yang menanti uluran tangan kita. Lantas bagaimana untuk mengatasi budaya yang sudah membumi ini? Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan, diantaranya; satu, meyakini bahwa standar kesuksesan tidak terletak pada materi, namun iman dan takwalah yang menjadi standar. Dua, tanamkan bahwa surga itu hanya dapat diperoleh dengan ibadah yang benar bukan dengan setumpuk harta. Tiga, bedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta kendalikan nafsu untuk tidak membeli barang yang tidak dibutuhkan. Empat, buatlah prioritas atau aulawiyat untuk menentukan sesuatu yang harus dibeli dan yang harus ditangguhkan. Lima, hindari tontonan sinetron atau iklan yang berbau hedonis. Enam, membuat daftar barang yang akan dibeli sebelum berbelanja untuk menghindari pemborosan atau salah membeli. Tujuh, meningkatkan tsaqofah Islam, sehingga harta lebih yang dimiliki digunakan untuk hal-hal yang Allah ridhai.

Hal ini bukan berarti kita membunuh segala keinginan duniawi yang timbul dari jiwa kita. Namun hendaklah kita bersikap proporsional dan sesuai dengan kebutuhan. Bagi orang-orang ‘elit’ (ekonomi sulit), sikap proporsional tersebut barangkali bukanlah suatu hal yang sulit untuk dilaplikasikan. Tapi, akan menjadi sebaliknya bagi orang-orang yang merasa memiliki harta berlimpah ruah. Satu hal yang perlu kita ingat kembali bahwa harta yang dimiliki akan dipertanggungjawabkan. Tidak hanya sumber harta tersebut, namun penggunaannya pun akan dipertanyakan.

Umat Islam memiliki seorang figur yang patut dijadikan teladan. Seorang wanita agung, saudagar kaya, siapa lagi kalau bukan Khadijah binti Khuwailid. Beliau meyakini bahwa harta yang dimilikinya adalah titipan Allah yang akan dipertanyakan. Sehingga hartanya digunakan untuk mendukung perjuangan Rasulullah dalam berdakwah. Begitupun dengan Asma binti Abu Bakar, beliau memilih Zubair sebagai pendamping hidup, semata-mata karena ketakwaan yang dimilikinya. Bukan karena materi. Kita juga mengenal Siti Hajar, dengan bayinya yang baru lahir beliau rela ditinggalkan suami tercinta di padang pasir yang tandus tanpa dibekali materi sedikit pun, karena beliau tahu bahwa yang dilakukan suaminya adalah perintah Allah. Subhanallah, betapa tangguhnya keyakinan mereka terhadap janji Allah. Keqana`ahan yang dimiliki mampu mengabadikan dan mengharumkan nama mereka dalam sejarah. Lantas aina nahnu minhunn?

Dalam kehidupan, wanita memiliki peran yang cukup signifikan. Dari mulai ruang lingkup terkecil yaitu keluarga, kemudian masyarakat, sampai kepada ruang lingkup negara. Dalam keluarga ia ibarat kendali yang mampu menentukan arah. Ia berpeluang besar untuk mengarahkan suami dan anak-anaknya menjadi orang yang mulia lagi terhormat. Begitupun sebaliknya, tindakan korupsi dan kolusi yang terjadi, acap kali disebabkan desakan dari seorang istri. Namun, satu hal yang harus dibarisbawahi bahwa dalam perjalanan melawan hedonisme, qawwamah seorang laki-laki sangat berperan. Fenomena ini sejatinya menjadi tantangan juga bagi kaum Adam agar selalu meningkatkan tsaqafah sehingga ia benar-benar menjadi qawwam yang mampu mengarahkan pada kehidupan yang Allah ridhai.

Sejenak kita merenung, mengingat bahkan turut merasakan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina, Libanon, dan belahan bumi yang lain. Betapa sulitnya mencari sesuap makanan untuk mengganjal perutnya yang lapar, atau mungkin benaknya sudah tidak sempat memikirkan hal itu lagi, atau barangkali kerabat dan tetangga terdekat kita sudah seharian menahan lapar sementara kita sibuk mendata hal-hal yang sama sekali tidak dibutuhkan. Tidakkah nurani kita tergerak?

02 June 2007

Hedonisme Sebagai Perilaku Murtad Sosial

Oleh Agus Taufik Rahman

Selalu menarik, ketika menyoroti dinamika manusia Indonesia. Baik dari perubahan yang dinilai positif, apalagi yang negatif, berbagai sudut pandang sudah dikupas baik dalam bentuk buletin, jurnal, buku bahkan, ivent semacam whorkshop dan seminar pun sudah teramat sering hanya sekedar menguliti permasalahan, juga solver yang ditawarkan.

Tulisan ini mencoba memfokuskan pada satu titik yang dinilai urgen dan memiliki potensi besar membawa perubahan yang selama ini di cita-citakan. Siapa lagi kalau bukan kaum terpelajar dan pemuda yang memiliki adigium agen of change dan berjiwa revolusioner sepereti yang diungkapkan Gramsci.

Yang menjadi akar permasalahan paling mendasar adalah, komunitas yang selama ini dinilai memiliki potensi untuk menjadi solusi tersebut, justru mendapat porsi paling besar terjangkit krisis. Alih-alih untuk menjadi solver, permasalah yang ada ditubuh kamunitas inipun begitu akut, karena cukup menyita perhatian publik; degradasi moral, budaya, akhlak, dan krisis keprecayaan adalah beberapa persoalan yang melilit intelektual kita saat ini, tentu saja hal tersebut memerlukan perhatian intens yang cukup serius dari berbagai eleman yang ada.

Realitas yang tampak seperti sekarang ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang melatar belakangi hilangnya karakteristik murni, hal ini merupakan antitesa perjalanan sejarah panjang peradaban manusia yang berangkat dari renaisance, sekulerisasi, globalisasi dan kapitalisme global yang tentu saja tidak nihil dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.

Proses sekulerisasi global

Hedonisme dewasa ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perkembangan antroposentrisme dan positivisme abad pertengahan yang merasa jemu terhadap rezim hegemoni gereja yang memonopoli kehidupan rakyat. Jiwa berontak ini kemudian terealisasi dengan munculnya reanisance dan humanisme hingga mencapai puncaknya pada abad ke-18, yang dikenal dengan aufklarung atau enlightement dunia eropa. Anggapan agama sebagai batu karang pemasung intelektual dan nilai-nilai pembebasan (liberation) Penghambat pekembangan semakin mengkristal, dan lambat laun mulai tergantikan dengan sekulerisme yang menjadi sumber moral manusia modern.

Pada saat gelombang protes itu diarahkan pada gereja, seiring itupula kebangkitan nalar, empirisme dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak ilmuwan dan filosof semisal Maritain, Prancias Auguste Comte dan Fiedrich Nietzshe memberikan futuristik peradaban akan datangnya kebangkitan ilmu dan keruntuhan agama. Comte Percaya bahwa menurut logika sekuler perkembangan filsafat dan ilmu barat berevolusi dari tingkat paling primitif ke tingkat paling modern. Nietzshe dengan tokoh novel Zarathustra menggambarkan kondisi untuk dunia barat setidaknya tuhan telah mati (Syed Muhammad Al-naquib Al-Atas: Islam dan Sekulerisme).

Kristen sebagai agama mayoritas barat saat itu mulai dihinggapi kompleksitas masalah yang serius. Bahkan tidak sedikit diantara cendikiawan kristen yang menjadi avangarde sekulerisasi. Hingga titik kulminasi, keharusan menerima dan peradaptasi dengan sekulerisasi tidak dapat terhindarkan lagi. Malah pada paroh perjalanan selanjutnya justru turut andil bersekutu dalam penyebaran sekulerisasi ini. Kondisi seperti inilah yang berulang kali Masscall sebut dalam bukunya, sebagai usaha merubah kristen menjadi dunia, bukan sebaliknya merubah dunia menjadi kristen.

Teriakan Nietzxhe tuhan “telah mati” kini berubah menjadi kidung “kristen telah mati”. Agama sebagai kontrol sosial menjadi tidak memiliki arti karena sudah terpetakkan ruang privasi dan publik. Kondisi seperti itu menjadikan fungsi agama hanya sekadar sarana penebus dosa atau meminjam istilah Gordon W. Alport “something to use but not to live”. Bisa saja dalam keseharian mengorbankan nilai-nilai moral, kejujuran, keadialan, dll. Pada saat yang bersamaan mereka pun giat melakukan ibadah ritual sebagai usaha pensucian.

Dekadensi moral, budaya dan ideologi yang terjadi dibelantika dunia saat ini pun tidak terlepas dari proses sekulerisasi yang merambah ke penjuru negeri. Sekulerisasi dengan berbagai pilar yang diperdagangkan mampuh merubah dunia menjadi nihil dan absurd dari nilai-nilai luhur yang menajdi identitas suatu bangsa –khususnya Islam dan dunia ketimuran-.

Jika sekulerisasi ini dipaksakan menjadi pandangan hidup, rusaknya tatanan kehidupan, keberagamaan, etika, moral dan budaya menjadi menjadi sebuah kemungkinan yang sulit dihindarkan. Perubahan inilah yang disebut oleh Marx sebagai prose “evolusioner”, imbasnya segala sesuatu dapat berubah dan tidak ada nilai yang mapan karena, terus mengupayakan penyelarasan dan konseptualisasi dengan kebutuhan yang berkembang.

Westernisasi dan Globalisasi

Globalisasi dan westernisasi layaknya kepingan mata uang yang tak dapat dipisahkan, satu sama lain memiliki mata rantai yang utuh sebagai misi untuk menghegemoni dunia ketiga. Terlebih lagi dengan lahirnya persatuan negara adikuasa yang dinamakan G-8.

Sebagai salah satu instrumen sekulerisasi, globalisasi ternyata cukup laris diberbagai belahan dunia, karena ada semacam ketakutan, ketinggalan, terbelakang dan tidak berperadaban jika tidak mengikuti budaya yang sedang ngetrend ini. Dengan jargon ICTnya globalisasi telah mampu medobrak bangsa yang ramah, santun dan religius manjadi buas, ganas dan amoral. Bukan hanya segelintir orang saja yang terjangkit krisis ini, anak-anak, pemuada, orang tua, laki-laki, perempuan, dari tingkat paling bawah hingga para elitis. Yang lebih ironis adalah kaum terpelajar sebagai komunitas intelegensia justru mendapat porsi paling besar dalam perubahan yang dinilai negatif ini.

Bukan hanya ekonomi, informasi, komunikasi dan teknologi yang menjadi sasaran empuk globalisasi namun, etika regional serta idiologi yang selama ini dinilai memiliki ruang privasi menjadi bidikan yang urgen untuk dipertaruhkan. Hal ini dinilai cukup membawa perubahan yang sangat signipikan terhadap pola pikir juga pandangan hidup (world view) yang tadinya tertutup menjadi terbuka yang statis menjadi dinamis. Pergeseran nilai norma budaya sangat terasa dan tak terelakan lagi, dengan terbukanya cakrawala dunia yang menembus ruang dan waktu, perang budaya dan ideologi (ghazwu al-fikri) yang menyababkan dekadensi moral menjadi keniscayaan tersendiri.

Berbagai prodak yang ditawarkan telah dikonsumsi mentah-mentah oleh publik, mulai demokrasi, kebebasan, toleransi, kesetaraan gender, HAM dsb. Semua produk tersebut mampu mendongkrak tata nilai yang telah mapan, dari moral sosial, hukum kenegaraan serta nilai keberagamaan yang dianggap sakral dan absolut sekalipun tidak luput dari upaya pendekonsrtuksian. Semua itu tidak lain agar sesuai dengan selera, humanistik, hak asasi dan nilai pembebasan (liberalitation). Ketika nilai-nilai itu diperjuangkan, tidak bisa dipungkiri segala nilai, norma dan pegangan yang dianggap mapan lambat laun menjadi profan, absurd serta dapat dikompromikan.

Media (cetak dan visual) sebagai instrumen globalisasi menjadi senjata ampuh pentransport segala bentuk yang diperjuangkan, semua sajian yang disodorkan dapat menghegemoni konsumen. Pada mulanya segala bentuk sajian tersebut menjadi lifestyle hingga akhirnya meng-ideologi.

Jika menilik lebih dekat, fenomena perubahan ini sungguh sangat transpatran, jika dulu anak bangsa saat menjelang maghrib bergegas untuk belajar sembahyang dan mengaji ke Surau-surau, Mesjid, Mushala dsb. saat ini bukan pemandangan itu yang tampak, saat adzan maghrib berkumandang, kini pemandangan itu sangat asing, yang ada adalah sepasang bola mata yang sigap duduk menyaksikan idolanya dilayar kaca dengan lifetyle yang “miskin nilai”. Jika dulu tayangan televisi cukup hanya TVRI serta station swasta lainnya yang lumayan cukup mendidik, saat ini tampak berbeda, dengan marak stasion televisi yang baru, malah dipojok layar kaca sudah terpangpang label; untuk semua umur, BO (bimbingan orang tua), 18+ dan sebagainya. Tanpa disadari, semua hal tersebut yang akan membentuk pola pikir dan gaya hidup masyarakat.

Merebaknya pandangan hedonistik

Kita tidak menutup mata bahwa kenyataan yang terjadi dilapangan adalah maraknya pola hidup yang serba baru, modis, populis dan “kontoversi”. Sekali lagi hal ini dapat terjadi karena sudah terhegemoni (soft hegemony) oleh sebuah kekuatan yang kita sebut kapitalisme global. Menarik sekali yang diutarakan John Lennon, “Sex, TV, and Music make you weak”. Seperti halnya virus pola hidup seperti ini mudah sekali merambah keseluruh lapisan pelajar dan mahasiswa. Budaya Idol, EMO, indi, dugem, party, dsb. menjadi sangat akrab dengan dunianya saat ini.

Rupanya virus epigonistik sebagai budaya “membebek” sudah mendarah daging. Antroposentrisme sebgai sebuah faham sudah bergeser menjadi gaya hidup hedonis ala barat dan, cenderung diterima tanpa selektif serta filter yang ketat. Identitas pelajar dan mahasiswa sebagai intlektual organik tempat berkumpulnya aspek kognisi, kesadaran, dan gerakan (collective consciousness movement) mulai terkikis dan lambat laun tidak menutup kemungkinan akan hilang.

Islam tentu saja berbeda hitoris dengan Kristen maupun agaman lainnya, sebagai agama yang menjungjung tinggi nilai egaliterian diantara manusia, tidak ada hegemoni maupun monopoli dalam hak dan kewajiaban. Semua manusia sama dihadapan sang pencipta hanya nilai takwa saja yang menjadi pembeda. Sebagai agama universal, tidak ada cacat dalam syari’at, anjuran hidup seimbang (balance) antara pemenuhan kebutuhan rohani dan jasadi telah dicontohkan oleh figur sempurna (Rasulullah). Tidak melulu ibadah dengan mengesampingkan dunia, apalagi sebaliknya, sibuk mengurusi dunia dengan melupakan akhirat yang prioritas. Wallahu ‘Alam bissawab. (TR)

Beggar Intellectual

Oleh: Yunan Nasution*

Banyak para cendikiawan yang merumuskan, bahwa unsur pokok sebuah peradaban (civilization) adalah agama. Pengaruh agama ini cukup kuat, karena agamalah yang akan menentukan watak dan karakteristik daripada peradaban tersebut. Untuk itulah seorang guru besar keturunan Yahudi di Princeton University, Bernard Lewis menyebut peradaban barat sebagai “Christian Civilization” karena Kristen menjadi faktor agama paling utama dan menghegemoni. Diantara peradaban-peradaban yang tetap eksis, nampaknya peradaban Islam masih memegang peranan yang cukup signifikan serta mendapat sorotan utama dari peradaban barat sebagai rivalnya. Indikasi itu muncul setelah berakhirnya Perang Dingin dengan ditandai tumbangnya rezim komunis. Dari situlah disinyalir terjadinya chaos antara hegemoni barat (Kristen) yang mengklaim sebagai pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan dunia dengan peradaban Islam yang tetap mempertahankan identitas serta orisinalitasnya.

Upaya barat dalam melemahkan Islam terutama dalam hal perang pemikiran (ghazwul fikr) telah mengalami kemajuan pesat, sebagai bukti kemunduran paradigma Islam pada kurun waktu abad ke-18 M. Karena pada waktu itu Islam mengalami kemunduran, sehingga Khilafah Utsmaniyah khususnya dan umat Islam umumnya mendapat julukan “The Sick Man of Europe” dan disisi lain barat mengalami kebangkitannya. Untuk mendobrak stagnasi ketika itu ada dua metode yang diambil oleh ulama-ulama Islam dengan sudut pandang yang berbeda. Pertama, paradigma Islam, yaitu menggali semua potensi yang ada dalam tubuh Islam itu sendiri. Inilah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Taqiyudin An-Nabhani, Baqir Ash-Shadr dan lain sebagainya. Mereka meyakini bahwa Islam merupakan worldview yang bisa menerjemahkan tataran empirik dengan berpegang pada satu konsep yaitu “shalihun likulli jaman wal makan”. Kedua, paradigma sekular, yaitu mengadopsi peradaban barat sebagai langkah alternatif untuk menjawab konteks. Itulah upaya yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya kaum privatisasi Islam, seperti Hasan At-Turabi, Sayyid Ahmad Khan, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq dan lain sebagainya. Mereka umumnya menjadikan Islam sebagai subordinat dari peradaban barat dengan konsekuensi segala hal -baik itu menyangkut tatanan sosial ataupun yang berkaitan dengan nilai-nilai transendental- harus disesuaikan dengan barat.

Kekaguman yang berlebihan terhadap kemajuan fisik peradaban barat, menyebabkan hilangnya daya kritis kalangan muslim untuk melihat perbedaan dan mutiara terpendam yang tinggi nilainya dalam peradaban Islam sendiri. Secara manusiawi, sebagaimana ungkapan yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqoddimahnya bahwa memang ada kecenderungan orang-orang yang kalah untuk menjiplak pemenang. Abdullah Cevdet misalnya, seorang tokoh Gerakan Turki Muda, yang menyatakan : “There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilization with both its rose and its thorn”. (Yang ada hanya satu peradaban, dan itu peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya maupun durinya sekaligus). Pimpinan Turki Muda lainnya, Sabahudin Bey, menulis, bahwa “Sejak kami membangun hubungan dengan peradaban Barat, satu kebangkitan intelektual telah terjadi; sebelum hubungan ini, kehidupan kami kurang kehidupan intelektualnya”.

Gejala tersebut tidak hanya terjadi di Turki saja, tetapi ini sudah merambah ke berbagai negara termasuk Indonesia. Pada dekade tahun 1992-an, Nurcholis Majid seorang tokoh intelektual -pengagum Harvey Cox yang mempunyai corak berpikir sekular- pernah menggulirkan Teologi Inklusif dan Pluralis, juga Amin Abdullah seorang rektor UIN Sunan Kalijaga dengan teori hermeneutiknya dan seorang Kyai yang terkenal dengan ungkapan nyelenehnya Abdurrahman Wahid (Gusdur) serta masih banyak lagi tokoh yang disinyalir sebagai kaum modernis yang cenderung lepas kontrol.

Islam sebenarnya mempunyai konsep tersendiri dalam melihat barat, yaitu dengan mendudukan peradaban barat tidak sebagai musuh tetapi lebih merupakan bahan penelitian dengan mengadapsi -bukan mengadopsi- sebagian pemikirannya yang mesti disinergikan dengan konsep Islam. Karena bagaimanapun ada perbedaan yang cukup kentara antara Islam dan Barat. Dimana Islam memposisikan sebagai agama dan Barat sebagai peradaban. Dan perbedaan tersebut yang kurang dipahami oleh para tokoh intelektual kita

Nampaknya para tokoh yang kita anggap sebagai modernis sedang terjangkit penyakit euforia westernisasi karena kegeraman yang melanda kaum privatisasi Islam sudah sebegitu hebatnya, sehingga mereka tidak mengindahkan rambu-rambu qath`i sekalipun dan mereka beranggapan bahwa Islam hanya dipahami secara given, take for granted tanpa adanya proses rekonstruksi. Mereka berdalih –walaupun terkesan apologetik- bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah satu bentuk progresifitas dan ciri manusia dinamis. Dan seolah-olah konsepsi barat dalam persepsi mereka sudah sedemikian sempurna yang tidak memerlukan lagi proses debatable serta tetap menjadi pilihan terbaik yang bisa memberikan solusi atas problematika yang ada.

Disinilah letak kekerdilan berpikir para intelektual yang menamakan dirinya kaum modernis, mereka mengkritik habis-habisan pandangan para ulama salafus shalih karena dianggap tidak up to date dengan realita yang selalu mengalami fluktuatif dan sebaliknya mereka taklid buta atas paradigma barat yang dianggapnya sebagai tuhan kebenaran yang luput dari kesalahan. Maka sebagaimana yang diutarakan oleh Amien Rais "kalau bangsa Indonesia terkenal dengan sebutan Beggar Nation, maka para 'tokoh' kita terkenal dengan sebutan Beggar Intellectual". Illahi anta maqsudi wa ridhoka matlubi.

* Alumni Pesantren Persatuan Islam 92 Majalengka

Merancang Keharmonian Dunia

Oleh : Irma Ratna Juita*

"Rancang apa yang ada di tangan, bukan yang kita angan-angankan
Membina sebuah harapan bukan yang kita igaukan"


Dunia dengan segala isinya tercipta bukan tanpa makna dan rasa. Dengan sengaja sang Pencipta menyediakan itu semua untuk dinikmati makhluk-makhluk-Nya. Namun bukan hanya sekedar menikmati saja, kita sebagai makhluk yang diberikan kelebihan oleh-Nya mempunyai amanah untuk mengelola nikmat tersebut. Alangkah indahnya dunia apabila penghuninya menyadari kelebihannya tersebut.

Dunia, dengan berbagai macam persoalan hidup di dalamnya memerlukan sentuhan-sentuhan profesional dan untuk menciptakan dunia yang damai dan tentram, dibutuhkan tangan-tangan terampil, ahli dan bertanggung jawab dalam mengelolanya. Berangkat dari sini penulis mengajak pembaca (sesama kaum Hawa J kalau kaum Adam ada yang meluangkan waktunya untuk ikut menyimak tulisan ini juga gapapa, berarti peduli dengan kaum yang satu ini, mmm… betul ga?), untuk kembali merenungi hakikat penciptaan kita di muka bumi ini.

Disadari maupun tidak, kita adalah makhluk istimewa (so, bagi yang merasa) yang Allah ciptakan dengan berbagai perangkat yang takkan terkalahkan kecanggihannya dengan teknologi termodern sekalipun, dan takkan pernah tercatat dalam sejarah akan ada yang menandingi kecanggihan tersebut. Dengan dibekali modal yang Allah sediakan, pena-pena sejarah terus menerus menggoreskan tintanya tanpa henti sampai batas waktu yang ditetapkan. Dengan modal tersebut sangat besarlah peran wanita dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Darinya lahirlah generasi penyambung kehidupan, darinya lahirlah generasi penerus perjuangan, darinya lahirlah generasi-generasi pembaharu, generasi harapan umat yang dinanti-nantikan kehadirannya di tengah gersangnya gurun kehidupan ini.

Akan tetapi sahabatku, apa yang kita idam-idamkan tidak semudah yang kita bayangkan dan kita harapkan. Kesungguhan dan keseriusan merupakan suatu keniscayaan untuk mempersiapkan diri sejak dini, dengan harapan akan terlahir dari rahim-rahim kita generasi yang diharapkan.

Tidak ada kata terlambat bagi kita yang sudah atau akan melahirkan buah hatinya untuk lebih membekali diri dalam menyambut mereka. Apalagi bagi yang belum melangkah ke sana, masih tersedia banyak waktu dan kesempatan untuk lebih mempersiapkan segalanya, terutama ilmu yang menunjang hal tersebut.

Dari rahim seorang wanita lahirlah Josh Wolker Bush, seorang penguasa Adi Daya yang hebat sekaligus pengecut dan penjahat dunia. Dari rahim seorang wanita lahirlah Ariel Sharon seorang penjahat keadilan dan perampas kedamaian. Dari rahim seorang wanita lahirlah penulis yang belum mampu memberikan kontribusi apa-apa untuk perjuangan umat ini. Dari rahim seorang wanita lahir koruptor ternama yang handal, pencopet ulung dan lahir pahlawan-pahlawan bangsa dan negara. Dan dari rahim seorang wanita pula lahirlah seorang Muhammad, pemuda al-Amin, suami tauladan, ayah yang bertanggungjawab. Pembawa risalah kebenaran dari Yang Maha Benar yang menerangi seluruh kegelapan dunia dan membawa umat mausia dari keterpurukan hidup menuju nikmatnya hidayah.

Betapa mulia Allah menciptakan dan memposisikan makhluk yang bernama wanita, maka alangkah ruginya jika kita menyia-nyiakan kelebihan yang Dia anugerahkan tersebut. Persiapan yang matang dari sekarang sangat diperlukan. Tidak adanya persiapan dalam hal ini membuktikan kurangnya kepedulian kita dalam mempersiapkan kemajuan peradaban dan kejayaan Islam.

Kita yang sekarang ini adalah cerminan nanti anak-anak kita di masa yang akan datang, maka selama hayat dikandung badan, selama ruh masih bersemayam dalam jasad, kita perbaiki diri mulai sekarang sebagai bukti kita menginginkan perubahan di masa depan umat ini.

Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Seorang Ibu harus mengetahui tugas dan tangungjawabnya sebagai murabbiyah dalam mengasuh, mendidik dan membesarkan mereka, serta membentuk dan membina pendidikan mental, jasmani, rohani dan akhlaknya.

Imam Al Ghazali mengatakan: Anak itu adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang suci itu adalah permata yang mahal. Apabila ia diajar dan dibiasakan kebaikan, maka ia akan tumbuh pada kebaikan dan akan mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat. Tetapi apabila ia dibiasakan untuk melakukan kejahatan (hal yang tidak baik), maka ia akan sengsara dan binasa.

Nah, sekarang kita mau melahirkan siapa?

Penulis berharap kita semua termasuk makhluk istimewa, yang Allah beri kesempatan terlahirlah dari rahim-rahim kita pemimpin-pemimpin dunia yang menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian dan berjuang demi tegaknya al-Islam.

Kita nantikan itu…

Selamatkan dunia ini dari peperangan
Selamatkan dunia ini dari kehancuran
Selamatkan anak-anak dari kebuluran
Selamatkan dunia
Selamatkanlah …..
Kedamaian terbina dari rahmat keamanan
Kebahagiaan terbina dari nikmat perpaduan
Kemajuan tercipta dari usaha pembangunan
Kasih sayang penghubung kita semua
Mari kita menjanjikan menuju hidup yang sempurna
Bersamalah kita bina masyarakat harmoni
Saling hormat menghormati sesama kita
Tua muda, miskin kaya
usahlah dibeda semua bangsa & agama
Sifat warga yang berderma akan rezeki mulia
Hindari persengketaan, tegakkan keharmonian
Anak muda dan remaja, warga pewaris dunia
Hargai jasa yang tua, teruskan perjuangannya
Memang payah untuk membantu hidup yang sempurna
Akan mudah jika kita berusaha demi
Kejayaan bersama .....

Kepada para calon ibu yang sedang mengandung buah hatinya, yang sedang mengandung khadijah-khadijah baru, yang sedang mengandung para calon pemimpin dunia, tunjukkan bahwa kejayaan dunia ada di tangan anda.

* Tulisan ini lahir dari keyakinan penulis akan terulangnya kembali sejarah kejayaan Islam.

Boetrie, malam kamis, 29 J. tsaniyah '26/04 Agustus '05.

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com