Euforia Jurnalisme

Oleh : Lutfi Lukman Hakim
Jurnalistik bukanlah hal yang baru dalam Islam. Semenjak dahulu, dunia tulis-menulis ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dakwah. Dimana dakwah mempunyai berbagai variabel didalamnya. Diantaranya, dakwah bil Lisan, dakwah bil Hal serta dakwah bil Kitabah.
Berkaca dari sejarah. Kita bakal menemukan bahwa sampainya wacana pembaharuan Islam ke Indonesia, salah satunya adalah melalui media publikasi jurnalistik. Semisal majalah Al-Manar karya Rasyid Ridlo yang terbit di Kairo, majalah Al-Imam yang diprakarsai oleh Al-Hadi, Thahir Jalaluddin dan Abbas dari Singapura, maupun majalah Al-Munir dari Padang. Maupun yang berbentuk karya tulis (baca : buku) seperti Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zaadul Ma’ad buah pena Imam As-Syaukani, Nailul Authar, At-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab dan masih banyak lagi.
Untuk sekedar bernostalgia pun, kita bakal mendapatkan buah karya para pendahulu Persis yang cukup banyak. Disamping sebagai pemimpin, sosok-sosok mereka juga sekaligus sosok jurnalis murni. Mereka tidak hanya menggeluti dunia pergerakan dalam lingkup berorganisasi, maupun aktifitas dalam lingkup dakwah (bil lisan). Tapi, generasi terdahulu itu menyadari akan pentingnya dunia tulis menulis sebagai kelanjutan perjuangan mereka setelah mereka tiada dari dunia ini. Dan hal ini yang bisa kita dapati saat sekarang, walaupun sudah berbeda generasi.
Sosok A. Hassan merupakan anutan utama Jam’iyyah. Atau dalam istilah Dadan Wildan disebut sebagai Guru Utama Persis. Kalau diinventarisir, terdapat sekitar 80 tulisan beliau dalam bentuk karya tulis (buku). Jumlah yang sangat fantastis dan luar biasa sekali untuk ukuran seorang ulama. Jumlah tersebut belum termasuk tulisan A. Hassan dalam berbagai majalah keislaman yang beredar pada saat itu. Karena, beliau disamping manjadi penulis aktif, juga berperan sebagai promotor bagi berdirinya majalah-majalah ke-Islaman. Seperti majalah Pembela Islam, Al-Fatwa, Al-Lisan, dan yang lainnya.
Demikian pula dengan figur M. Natsir. -Walaupun pada akhirnya ia banyak berkiprah di luar Persis, beliau masih dianggap sebagai tokoh utama Persis-. M. Natsir merupakan tokoh intelektual muda Persis yang membawa Persis pada sentuhan-sentuhan modern sebagai sebuah organisasi (Wildan, 1999:55). Karya beliau terbilang lumayan banyak dan sangat berpengaruh kepada khalayak banyak, bahkan bisa mempengaruhi opini nasional dalam berbagai isu yang berkembang pada saat itu. Seperti Qur’an en Evangelie, dan Muhammad als Profeet dalam bahasa Belanda, maupun karya monumental belaiu yang tertuang dalam buku Capita Selekta sebanyak 2 jilid. Dan masih banyak lagi tulisan beliau yang jumlahnya lebih dari seratus tulisan.
Teladan KHM Isa Anshary. Sosok yang lebih dikenal sebagai penentang ideologi komunisme untuk berkembang di tanah Indonesia ini, menjadi salah seorang arsitek Persis modern dalam berorganisasi, sebelum akhirnya ia lebih memilih jalur politisi (bahkan sempat mempunyai ide untuk merubah Persis menjadi organisasi politik). Buah karya beliau pun tergolong banyak. Sekitar 23 buku selain berbagai tulisan dalam majalah dan surat kabar (Wildan, 1999:92) Karya monumental beliau bagi perkembangan Persis pun tercatat sebagai salah seorang perancang Qanun Asasi Persis pada Muktamar ke V, membuat buku Manifes Perjuangan Persis ; Ke Depan Dengan Wajah Baru, Renungan 40 tahun Persatuan Islam yang ditulis selama berada dalam penjara di Madiun.
Kepribadian KHE Abdurrahman sebagai sosok peneguh khittah Persis. Selama rentang waktu kehidupannya, yang ia habiskan untuk urusan dakwah. Beliau pun menyempatkan diri untuk menuangkan buah pikirannya ke dalam bentuk tulisan. Baik ke dalam sebuah buku seperti Recik-Recik Dakwah, Renungan Tarikh, Petunjuk Praktis Ibadah Haji, Risalah Wanita dan masih banyak lagi. Maupun pemikirannya yang tersebar ke berbagai majalah dan surat kabar. Bahkan beliau pun menyempatkan diri untuk berkonsultasi masalah hukum agama dengan para jama’ah melalui rubrik Istifta dalam majalah Risalah.
Keberanian KH Abdul Latief Muchtar dalam memimpin roda organisasi, yang mengalami sedikit “perubahan” orientasi dalam tubuh Persis. Selain kesibukannya dalam berbagai aktifitas yang ia geluti, yang pada saat bersamaan ia juga memimpin Persis selama 3 periode. Beliau tidak melupakan nalurinya dalam bidang tulis menulis. Satu hal yang tidak bisa dilupakan dari pengalaman beliau, adalah ketika membuka polemik antara Syiah dan Sunni. Yang sempat menjadi buah bibir masyarakat banyak pada waktu itu. Bahkan konflik ideologi tersebut, ia bawa ke forum yang lebih besar. Yaitu, Seminar Sehari tentang Syi’ah yang diadakan di Mesjid Istiqlal Jakarta.
Dalam konteks sekarang. Kecenderungan sekaligus minat tulis menulis seolah menjadi barang baru di tubuh Jam’iyyah. Bahkan menjurus kepada euforia. Sebuah hal yang sangat ironis dan paradoksial dengan fakta sejarah yang ada. Tak jarang berbagai himbauan dianjurkan untuk membangkitkan kecenderungan ini. Padahal, yang namanya kemampuan tulis menulis seharusnya dimiliki oleh segenap warga Jam’iyyah. Karena yang demikian merupakan bagian dari strategi dakwah, yang tidak mungkin dipisahkan dari sosok mujahid dakwah.
Tentunya, kita tidak ingin euforia jurnalime ini berkelanjutan tanpa didasari dengan rasa kesadaran dalam diri kita masing-masing, sebagai bagian integral dakwah Islam. Karenanya, tidaklah terlalu berlebihan kalau kita merasa berbangga, seandainya para tokoh Persis maupun generasi Persis mampu menghiasi opini publik di berbagai majalah dan surat kabar yang banyak bertebaran di tanah Indonesia ini. Bukan sebatas media lokal sifatnya, tapi juga menasional! Apalagi mampu berkreasi dalam sebuah karya tulis sendiri (baca : buku) yang berkualitas untuk mengatasi berbagai kebutuhan informasi keagamaan di kalangan masyarakat.