20 February 2007

Euforia Jurnalisme

Oleh : Lutfi Lukman Hakim


Jurnalistik bukanlah hal yang baru dalam Islam. Semenjak dahulu, dunia tulis-menulis ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dakwah. Dimana dakwah mempunyai berbagai variabel didalamnya. Diantaranya, dakwah bil Lisan, dakwah bil Hal serta dakwah bil Kitabah.

Berkaca dari sejarah. Kita bakal menemukan bahwa sampainya wacana pembaharuan Islam ke Indonesia, salah satunya adalah melalui media publikasi jurnalistik. Semisal majalah Al-Manar karya Rasyid Ridlo yang terbit di Kairo, majalah Al-Imam yang diprakarsai oleh Al-Hadi, Thahir Jalaluddin dan Abbas dari Singapura, maupun majalah Al-Munir dari Padang. Maupun yang berbentuk karya tulis (baca : buku) seperti Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zaadul Ma’ad buah pena Imam As-Syaukani, Nailul Authar, At-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab dan masih banyak lagi.

Untuk sekedar bernostalgia pun, kita bakal mendapatkan buah karya para pendahulu Persis yang cukup banyak. Disamping sebagai pemimpin, sosok-sosok mereka juga sekaligus sosok jurnalis murni. Mereka tidak hanya menggeluti dunia pergerakan dalam lingkup berorganisasi, maupun aktifitas dalam lingkup dakwah (bil lisan). Tapi, generasi terdahulu itu menyadari akan pentingnya dunia tulis menulis sebagai kelanjutan perjuangan mereka setelah mereka tiada dari dunia ini. Dan hal ini yang bisa kita dapati saat sekarang, walaupun sudah berbeda generasi.

Sosok A. Hassan merupakan anutan utama Jam’iyyah. Atau dalam istilah Dadan Wildan disebut sebagai Guru Utama Persis. Kalau diinventarisir, terdapat sekitar 80 tulisan beliau dalam bentuk karya tulis (buku). Jumlah yang sangat fantastis dan luar biasa sekali untuk ukuran seorang ulama. Jumlah tersebut belum termasuk tulisan A. Hassan dalam berbagai majalah keislaman yang beredar pada saat itu. Karena, beliau disamping manjadi penulis aktif, juga berperan sebagai promotor bagi berdirinya majalah-majalah ke-Islaman. Seperti majalah Pembela Islam, Al-Fatwa, Al-Lisan, dan yang lainnya.

Demikian pula dengan figur M. Natsir. -Walaupun pada akhirnya ia banyak berkiprah di luar Persis, beliau masih dianggap sebagai tokoh utama Persis-. M. Natsir merupakan tokoh intelektual muda Persis yang membawa Persis pada sentuhan-sentuhan modern sebagai sebuah organisasi (Wildan, 1999:55). Karya beliau terbilang lumayan banyak dan sangat berpengaruh kepada khalayak banyak, bahkan bisa mempengaruhi opini nasional dalam berbagai isu yang berkembang pada saat itu. Seperti Qur’an en Evangelie, dan Muhammad als Profeet dalam bahasa Belanda, maupun karya monumental belaiu yang tertuang dalam buku Capita Selekta sebanyak 2 jilid. Dan masih banyak lagi tulisan beliau yang jumlahnya lebih dari seratus tulisan.

Teladan KHM Isa Anshary. Sosok yang lebih dikenal sebagai penentang ideologi komunisme untuk berkembang di tanah Indonesia ini, menjadi salah seorang arsitek Persis modern dalam berorganisasi, sebelum akhirnya ia lebih memilih jalur politisi (bahkan sempat mempunyai ide untuk merubah Persis menjadi organisasi politik). Buah karya beliau pun tergolong banyak. Sekitar 23 buku selain berbagai tulisan dalam majalah dan surat kabar (Wildan, 1999:92) Karya monumental beliau bagi perkembangan Persis pun tercatat sebagai salah seorang perancang Qanun Asasi Persis pada Muktamar ke V, membuat buku Manifes Perjuangan Persis ; Ke Depan Dengan Wajah Baru, Renungan 40 tahun Persatuan Islam yang ditulis selama berada dalam penjara di Madiun.

Kepribadian KHE Abdurrahman sebagai sosok peneguh khittah Persis. Selama rentang waktu kehidupannya, yang ia habiskan untuk urusan dakwah. Beliau pun menyempatkan diri untuk menuangkan buah pikirannya ke dalam bentuk tulisan. Baik ke dalam sebuah buku seperti Recik-Recik Dakwah, Renungan Tarikh, Petunjuk Praktis Ibadah Haji, Risalah Wanita dan masih banyak lagi. Maupun pemikirannya yang tersebar ke berbagai majalah dan surat kabar. Bahkan beliau pun menyempatkan diri untuk berkonsultasi masalah hukum agama dengan para jama’ah melalui rubrik Istifta dalam majalah Risalah.

Keberanian KH Abdul Latief Muchtar dalam memimpin roda organisasi, yang mengalami sedikit “perubahan” orientasi dalam tubuh Persis. Selain kesibukannya dalam berbagai aktifitas yang ia geluti, yang pada saat bersamaan ia juga memimpin Persis selama 3 periode. Beliau tidak melupakan nalurinya dalam bidang tulis menulis. Satu hal yang tidak bisa dilupakan dari pengalaman beliau, adalah ketika membuka polemik antara Syiah dan Sunni. Yang sempat menjadi buah bibir masyarakat banyak pada waktu itu. Bahkan konflik ideologi tersebut, ia bawa ke forum yang lebih besar. Yaitu, Seminar Sehari tentang Syi’ah yang diadakan di Mesjid Istiqlal Jakarta.

Dalam konteks sekarang. Kecenderungan sekaligus minat tulis menulis seolah menjadi barang baru di tubuh Jam’iyyah. Bahkan menjurus kepada euforia. Sebuah hal yang sangat ironis dan paradoksial dengan fakta sejarah yang ada. Tak jarang berbagai himbauan dianjurkan untuk membangkitkan kecenderungan ini. Padahal, yang namanya kemampuan tulis menulis seharusnya dimiliki oleh segenap warga Jam’iyyah. Karena yang demikian merupakan bagian dari strategi dakwah, yang tidak mungkin dipisahkan dari sosok mujahid dakwah.

Tentunya, kita tidak ingin euforia jurnalime ini berkelanjutan tanpa didasari dengan rasa kesadaran dalam diri kita masing-masing, sebagai bagian integral dakwah Islam. Karenanya, tidaklah terlalu berlebihan kalau kita merasa berbangga, seandainya para tokoh Persis maupun generasi Persis mampu menghiasi opini publik di berbagai majalah dan surat kabar yang banyak bertebaran di tanah Indonesia ini. Bukan sebatas media lokal sifatnya, tapi juga menasional! Apalagi mampu berkreasi dalam sebuah karya tulis sendiri (baca : buku) yang berkualitas untuk mengatasi berbagai kebutuhan informasi keagamaan di kalangan masyarakat.

Islam dan “Kacamata Kuda” Decrates

Oleh : Yadi Saeful Hidayat

Di tengah kondisi dunia yang serba maju, terutama ketika agama menjadi diskursus yang mengglobal, terdapat setidaknya dua pemahaman keagamaan yang lahir dari beberapa kelompok Islam sebagai respon atas kemajuan tersebut. Kelompok pertama memahami Islam sebagai ajaran final yang tidak bisa diganggu-gugat. Merubah ajaran agama dengan tujuan untuk mempertemukannya dengan alur nafas zaman ini berarti sama saja merusak kebenaran agama itu sendiri. Ajaran agama yang tertuangkan dalam teks-teksnya dianggap sebagai draf final manifesto Tuhan yang tuntas, sehingga ia tidak memerlukan lagi penafsiran ulang. Sementara di sisi lain, ada sebagian orang yang meyakini bahwa perkembangan global dan kemajuan masyarakat menuntut dilakukannya penafsiran ulang terhadap sebagian ajaran agama. Mereka memandang bahwa agama sejatinya bisa terkontekstualisasikan dalam pelbagai lapangan kerja manusia. Dengan kata lain, agama, menurut mereka, hadir untuk menjawab problem kemanusiaan yang senantiasa ada dan menggelinding. Karena itu, agama tidak harus menjadi problem bagi perjalanan kehidupan manusia, tetapi sebaliknya, ia bisa menjadi solusi dan ruang yang membebaskan bagi segala problem kemanusiaan.

Beberapa pekan terakhir ini, animo masyarakat untuk melakukan praktek keagamaan secara utuh semakin menunjukkan angka yang cukup menggembirakan. Bukan saja dikarenakan praksis keagamaan terus meningkat, tetapi lebih dari itu, ada lonjakan mood yang luar biasa dalam melakukan perubahan agama. Perubahan ini bukan hanya menyangkut sikap beragama saja, tetapi merembet ke seluruh persoalan menyangkut konsep keagamaaan yang dianggap layak dirubah dan dikondisikan dengan situasi kekinian.

Pertengahan Oktober yang lalu, masyarakat Islam Indonesia dikejutkan dengan adanya gagasan dari Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama yang dipimpin Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU untuk meluncurkan "Counter Legal Draft Atas Kompilasi Hukum Islam". Ide ini - katanya- digulirkan menyusul adanya rencana pemerintah meningkatkan status KHI menjadi undang-undang resmi negara. Karena itu, perkembangan global yang dewasa ini mengalir begitu pesat menuntut masyarakat untuk ikut mengubah interpretasi keagamaan. Selain itu, menurut mereka, Jika ditelisik lebih dalam, aura visi dan misi KHI -di mana di dalamnya terkandung pasal-pasal mengenai perkawinan, warisan dan perwakafan- memang terdapat beberapa kelemahan pokok. Terlihat, pasal demi pasal dalam KHI yang secara prinsipil bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam yang universal, seperti prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-'ikhâ), dan keadilan (al-'adl). Di samping itu, KHI juga tampak berseberangan vis a vis dengan gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat berkeadaban (civil society) seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme, yang menjadi raison d'etre masyarakat Indonesia. Sehingga, dengan alasan kepentingan bersama (al-mashlahat al-'âmmah), KHI tanpa ragu lagi bisa diotak-atik dengan asal hantam kromo.

Tentang ini, kita merasa tak perlu berkomentar apapun. Terlalu banyak ulama, lembaga keislaman yang telah mengkritik habis-habisan gagasan ini. Dari mulai gaya penafsiran yang dinilai terkesan serampangan, subyektif dalam memandang persoalan, liar dalam memahami peran akal terhadap agama, hingga "keraguan mental intelektualitas" dalam mempertanggujawabkan gagasan yang dibawanya. Begitulah mental orang-orang yang hanya bisa meneriakan kebebasan berpikir tanpa pernah melirik norma dan etika agama. Akal terlalu dipaksakan untuk menyentuh persoalan-persoalan keagamaan yang memang sudah jelas dan mapan. Agama hanya ditafsirkan atas dasar kepuasan manusiawi. Maksud hati ingin melakukan upaya persenyawaan agama dengan situasi dan kondisi zaman yang terus bergulir, tetapi justru yang muncul hanya sikap-sikap serampangan dalam menafsirkan agama itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang hanya memiliki ”kacamata kuda” Decrates.

Padahal, Islam dengan risalahnya yang sempurna selalu membawa nafas keseimbangan (washatiyyah). Ia memang menyuruh manusia untuk selalu menggunakan nalar manusianya, tetapi sekaligus juga memberikan batasan bagi perjalanan kebebasan akal itu sendiri. Islam tak pernah mengajarkan sikap berat sebelah, ia berjalan diatas garis yang lurus dan seimbang. Dalam Islam, akal dan agama, syariat dan hikmah, pedang dan pena selalu dipertemukan dalam ruang yang sama. Meminjam istilah Kuntowijoyo, Islam adalah agama yang memiliki dimensi epistemologi relasional, atau dalam bahasa M. Imarah, inilah yang disebut dengan al-aqlâniyyah al-islâmiyyah.

Saat, kita memang niscaya untuk melakukan dan mengembangkan proses rethinking Islam. Hal ini diperlukan guna menghindari pemahaman yang literalis dan rigid. Setidaknya, ada dua strategi penafsiran yang ditawarkan oleh para ulama, pertama, mengkontekstualisasikan teks agama untuk menemukan -- meminjam istilah Nasr Abu Zayd --makna alegorisnya. Kedua, menggiring rasionalitas hukum dari penalaran deduktif menuju penalaran induktif. Tentunya, kita tidak harus menerima begitu saja tanpa selanjutnya melakukan pengujian terhadap keduanya dan mencoba mengajukan kembali kerangka penalaran yang lebih solid. Kita punya pilihan dan pilihan-pilihan itu tersedia di sekitar kita. Dialog yang jujur, terbuka, dan jernih untuk mewujudkan kesepakatan bersama jelas merupakan sebuah kebutuhan yang amat mendesak bagi situasi beragama bangsa ini; sebuah dialog yang dapat memfasilitasi kemungkinan-kemungkinan kita melakukan eksplorasi tanpa batas selain akal sehat untuk melihat berbagai skenario tentang masa depan proses keagamaan di Indonesia. Kita memang sedang membutuhkan sebuah forum untuk berdialog kembali, tidak saja dengan kelompok yang berbeda namun juga dengan diri kita sendiri dan masa lalu kita masing-masing. Sebuah pembicaraan tentang masa depan tak mungkin dimulai sebelum ada penyelesaian yang sehat terhadap masa lalu kita. Kita mau apa ? Perubahan ataukah pemusnahan?

Inter Religious Dialogue ?!

Oleh: Ganna Pryadharizal Anaedi Putra


Dalam sejarah peradaban umat manusia tidak ada peperangan dan pertikaian yang yang lebih mengerikan daripada pertikaian atas nama agama. Seperti kerusuhan yang terjadi dua tahun yang lalu di Ambon, pertikaian Muslim-Hindu di India yang berakibat pada pembakaran masjid-masjid dan penghancuran kuil-kuil ibadah dan berbagai kerusuhan traumatik lainnya yang terjadi di seluruh belahan dunia.

Benarkah agama ditenggarai sebagai pemicu konflik antar umatnya? Jika dilihat dari ajaran moral, prinsip etika, dan doktrin-doktrin kemanusiaan yang terkandung dalam agama-agama, proposisi tersebut tampaknya tidak menemukan relevansinya.

Mengapa hal demikian bisa terjadi? Banyak kalangan menilai bahwa hal tersebut bermula dari sempitnya pemahaman keagamaan yang dihayati oleh kebanyakan umat beragama atau -meminjam istilah Dr. Dien Syamsuddin- adanya gejala salah interpretasi terhadap agama. Sebab, terlalu gegabah kiranya jika kita kaitkan persoalan konflik agama dengan ajaran, dogma dan doktrin-doktrin keagamaan pada setiap agama yang ada, baik yang semitik maupun kultural. Sebab kita semua sepakat bahwa, seluruh agama yang ada, pasti mengajarkan prinsip-prinsip moral, ajaran-ajaran normatif dan nilai-nilai universal (common values) – dalam hal ini etika- yang jika kita perhatikan secara seksama, akan menemukan kata sepaham. Seperti, kita semua setuju dan yakin bahwa menolong orang adalah perbuatan baik, berbohong merupakan sikap yang tercela, membantu orang yang sedang kesusahan termasuk perkara-perkara yang terpuji, berzina adalah perbuatan yang tercela, dan lain sebaginya. Maka, mustahil kita akan mendapatkan ajaran agama yang menyuruh umatnya kepada hal-hal kejelekan.

Oleh karenanya, jelaslah bahwa faktor determinan konflik dan kerusuhan yang acap kali terjadi, lebih kepada penganut-penganut agamanya. Pemahaman keagamaan yang sempit, gaya keberagamaan yang saklek, sikap intoleran, prasangka-prasangka buruk terhadap agama lain, adalah beberapa contoh faktor timbulnya konflik dan kerusuhan yang mengatasnamakan agama dimana faktor-faktor tersebut adalah output dari pemahaman, sikap dan tindak-tanduk para pemeluk agama.

Berawal dari asumsi akan keseragaman “ajaran” moral dan kesatuan nilai-nilai universal yang terkandung dalam agama-agama yang ada, maka kita bisa meyakini bahwa semestinya terdapat titik temu diantara agama-agama tersebut. Lalu, kira-kira kompromi solutif seperti apakah yang harus kita bangun dalam rangka mencari titik temu dan menepis disharmoni diantara umat beragama?.

Solusi Dialog Antar Agama

Demi terciptanya keharmonisan dan toleransi antar umat beragama, para agamawan dan sejumlah kalangan dari berbagai background keagamaan menilai bahwa dialog antar agama (inter religious dialogue) merupakan salah satu solusi kongkrit untuk “mendamaikan” para pemeluk agama. Karena dialog antar agama termasuk sebuah wasilah efektif untuk mengkomunikasikan umat, dan bukanlah komunikasi negatif yang saling menegasikan.

Menurut Dr. Dennis Walker, seorang Staf Pengajar Studi Kajian Timur-tengah di Universitas Melbourne dan Universitas Nasional Australia, dalam budaya masyarakat Muslim, tradisi dialog antar agama sudah ada sejak zaman kekhalifahan Abbasiah. Ketika itu para petinggi kekhalifahan sering mengadakan simposium ilmiah seputar permasalahan agama dengan menghadirkan para pemuka agama dan intelektual yang mumpuni dari Kristen, Yahudi, dan Islam. Maka seterusnya, terutama pada masa kejayaan Islam, tradisi dialog antar agama menjadi tradisi yang secara tak langsung diwariskan secara turun temurun. (Lebih jelasnya lihat: wawancara eksklusif)

Kemudian jika kita menyoal motif dari dialog antar agama, maka kita bisa mendapatkan beberapa diantaranya adalah; perdamaian dan toleransi, proses pencarian kebenaran, kepentingan-kepentingan politis, ekonomi, teologis, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, sudah menjadi sebuah keharusan bahwa tujuan yang hendak dicapai dari dialog antar agama disini tak lain adalah, kerukunan, perdamaian dan toleransi dalam tataran interaksi sosial. Mengapa dalam tataran interaksi sosial? Karena level keyakinan dan aqidah tidak mungkin untuk dikompromikan, mengingat aqidah adalah otoritas yang absolut dan mutlak. Terlebih lagi dalam Islam dan Kristen, persoalan mengenai ketuhanan adalah persoalan yang tidak bisa ditoleransikan dan dipersaudarakan (la ikhaa baina at-tatslits wa at-tauhid).

Sekali lagi, tentunya, dialog yang kita inginkan adalah dialog yang sarat dengan nuansa perdamaian dan bukan dialog yang dibaliknya terselubung kepentingan-kepentingan politis, ekonomi dan teologis (seperti misionaris, konversi, dll).

Lalu setelah kita menyepakati motif dan tujuan dari dialog antar agama yang diinginkan, selanjutnya juga harus ada kesepakatan bersama mengenai kerangka dialog tersebut. Kerangka dialog yang harus ditegakkan adalah etika, karena etika merupakan titik temu dan titik pemberangkatan dalam dialog antar agama, dimana semua agama akan menemukan kata sepakat dalam hal etika.

Sehingga dari etika tersebut akan lahir berbagai varian lingkup bahasan dalam dialog semisal keadilan, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Inilah kira-kira lingkup bahasan dialog antar agama yang dipercaya dapat “menyatukan” semua agama. Mengingat isu-isu etika merupakan isu keprihatinan masyarakat modern dewasa ini.

Bahkan secara lebih radikal, Hans Kung seorang sosiolog asal Jerman pernah menawarkan konsep Global Ethic. Dia berpendapat bahwa, demi terciptanya toleransi dan kerukunan antar umat beragama maka kita harus membuat sebuah etika bersama (global ethic). Sebab, tak dapat dipungkiri lagi “perbedaan” kemasan ajaran dan prinsip-prinsip etika dalam agama-agama, sedikitnya punya pengaruh yang cukup besar dalam menciptakan perasaan dan sikap anti toleran. Maka Global Ethic yang dia gagas bertujuan untuk mengikis prasangka-prasangka negatif para penganut agama (yang menggiring kepada pertikaian). Karena semua manusia merasa memiliki satu etika dan nilai-nilai universal yang telah disetujui oleh bersama.

Lalu Prof. Dr. Ismail Al-Faruqi menawarkan sebuah paradigma ‘kebersamaan’ dalam kaitannya dengan dialog antar agama, yaitu idea world citizen. Konsep world citizen yang coba beliau ketengahkan adalah bahwa seharusnya setiap penganut agama tidak boleh menganggap bahwa agama yang dianuti hanya milik dia saja. Sehingga hanya penganutnya saja lah yang bisa mengetahui, membuat kajian dan mengemukakan kritik. (lihat: RSI Melayu.com, 26/02/2005)

Nantinya, ketika muncul sebuah kritikan atau saran dalam dialog (contohnya Islam dan Kristen), maka kritikan tersebut bukanlah kritikan yang datang dari Muslim kepada Kristiani atau sebaliknya, akan tetapi krtikan tersebut adalah krtikan yang keluar dari seorang insan yang merupakan warga dunia, atau world citizen terhadap sebuah agama. Hingga nantinya tercipta dialog yang bersahabat dan kondusif.

Namun disamping itu, ada juga kalangan yang menilai sesungguhnya pada tataran empirik, dialog ideal yang diinginkan sangat tidak mudah untuk direalisasikan. Dr. Dennis Walker, yang juga seorang pakar dan peneliti sosio kultur Timur-tengah, memberikan isyarat bahwa dalam kondisi tertentu dialog ini sulit terwujud. Salah satu faktor yang menghambat dialog adalah menjamurnya kelompok-kelompok militan fundamentalis dari berbagai macam agama, yang mana kelompok-kelompok tersebut lebih kepada gerakan politik yang dipolitisir.

Bahkan lebih jelasnya, Dr. Dennis Walker mengatakan;Dalam batas tertentu, saya sendiri pesimis dengan kompromi dialog ini. Sebab saya lihat, bagaimana pun juga orang yang bergabung dalam usaha dialog ini dalam benaknya ada optimisme tinggi untuk bisa mengajak orang lain ke dalam agamanya”. Dalam artian, dialog antar agama sangat rawan untuk dimasuki beragam kepentingan-kepentingan yang akan merusak idealita dan cita-cita yang kita inginkan bersama (toleransi umat beragama). Oleh karenanya, beliau menambahkan, selain melakukan dialog yang dikemas dalam bentuk formal dan resmi, kita harus senantiasa menjaga tradisi “dialog informal” (menjalin hubungan positif) semisal, membuat jaringan perdagangan dengan pihak ‘luar’ dan mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah dengan umat lain.

Maka, terlepas dari semua hal diatas, jika kita benar-benar menginginkan adanya keselarasan dan toleransi antar umat beragama, yang diterjemahkan via dialog antar agama, maka sudah sepatutnya bagi semua kalangan untuk selalu bersikap jujur dan membuang jauh-jauh prasangka negatif.

Dan satu hal lagi yang harus dihindari yaitu, jangan sampai terjadi mentalitas "tuan rumah" (host) dan "tamu undangan" (invited guest) dalam sebuah dialog antar agama, karena mentalitas ‘aku lebih baik dari yang lain’ akan merusak suasana dialog tersebut. Untuk itu, manusia harus memiliki jati diri yang kuat dan sikap menerima serta menghormati jati diri teman dialog.

Dan tak kalah pentingnya, para pemuka agama pun turut berperan dalam mensukseskan dialog antar agama. Dr. Imtiyaz Yusuf, yang juga Kepala Departemen Filsafat dan Agama, Assumption University, Bangkok (Thailand), mengatakan;” sejatinya pemuka agama Islam tak hanya memberikan pemahaman yang benar terhadap umatnya saja tetapi mereka pun menginformasikan hal yang sebenarnya tentang Islam kepada umat lainnya. Kemudian, mereka mengkomunikasikan lagi pemahaman mereka tentang Islam kepada umat Islam. Hal ini juga dilakukan oleh pemeluk agama lainnya” (Republika 03/12/2004).

Dengan cara demikian maka akan terjadi dialog yang intensif sehingga pemuka agama dan umatnya selain memahami ajaran agamanya secara benar juga menghormati keyakinan orang lain. Pada akhirnya ini akan melahirkan rasa saling memahami dan menghormati dan tentunya akan mencegah terjadinya konflik agama. Diharapkan dialog antar agama menjadi sesuatu yang bisa direalisasikan, tidak utopis dan tidak hanya membumi pada tataran teoritis dan tingkat elit saja. Semoga!. (Gonz- Red).

Bulan Suci Ramadhan di Maroko


(Rabat.Rol) Nuansa religius seantero negeri Maroko lebih sangat terasa pada bulan suci Ramadhan. Di antara daerah yang terkenal dengan sejarah religius seperti daerah madinah qadimah (kota lama) di Fes dan daerah As-suwaiqah di Rabat, terlihat sangat antusias ekspresinya dalam menyambut bulan magfirah dan berkah ini. Pertokoan di samping kota Rabat banyak yang mengganti barang jualan biasa dengan barang keperluan bulan Ramadhan seperti jualan makanan untuk berbuka puasa khususnya makanan beraroma manis khas Maroko.

Adapun makanan untuk buka puasa yang banyak digandrungi masyarakat Maroko adalah harirah. Harirah ini terbuat dari bahan kacang Arab (khumus dan 'adas), tepung, tomat, karafs (daun seledri), penyedap rasa, garam dan air secukupnya. Cara pembuatannya simpel seperti membuat bubur di Indonesia. Selain Harirah, makanan tradisional khas Maroko selama Ramadhan antara lain, Chebbakia, Gateau, Ragief Bzioui, Sufuf dll.

Kebiasaan rakyat Maroko setelah menyantap ifthar (buka puasa), mereka berkumpul di rumah bersama keluarga sampai menjelang shalat Isya. Pemerintah Maroko yang menganut resmi madzhab Maliki, menjalankan shalat Tarawih sebelas rakaat. Sesudah delapan rakaat shalat Tarawih di mesjid, kebanyakan jamaah pulang meninggalkan mesjid dan melaksanakan witirnya di rumah masing-masing. Sekitar jam 10 atau 11 malam mereka baru makan malam, menu makanan yang sering dihidangkan adalah Tajin (gule) ayam, Tajin kambing, Tajin ikan, ayam bakar dll. Sementara untuk santapan sahur, biasanya hanya tersedia susu, teh mint (mentol), kurma, telur rebus dan roti.

Rakyat Maroko seperti kebanyakan rakyat muslim lainnya di dunia, menyambut bulan Ramadhan dengan meriah dan luar biasa. Seolah-olah di bulan Ramadhan saja aktifitas keagamaan mereka tumpahkan. Mesjid-mesjid dipenuhi oleh jamaah shalat terutama saat shalat Isya dan Tarawih. Fenomena yang cukup menarik adalah semangat infak dan sedekah rakyat Maroko terhadap fakir miskin di bulan suci Ramadhan sangat meningkat.

Televisi dan radio menyiarkan acara lebih bernuansa religius selama dua 24 jam tanpa henti. Setiap bulan Ramadhan, televisi dan radio Maroko berusaha menayangkan tontonan yang lebih bervariasi dan menarik dari biasanya. Film sejarah, lagu-lagu religius, hiburan, drama, komedi, ceramah dan tanya jawab agama cukup mendominasi acara televisi dan radio selama bulan suci. Bintang film, penyanyi dan olahragawan Maroko turut meramaikan acara TV di bulan Ramadhan. Di antaranya pelari andalan Maroko, Hicsham El-Garaouj, Juara Dunia lari 4000 meter berturut-turut selama empat tahun, seolah menjadi maskot Ramadhan kali ini. Tibanya bulan suci Ramadhan banyak membawa berkah tanpa terkecuali bagi insan pertelevisian dan radio. Kue iklan di TV dan radio harganya dua kali lipat meningkat dari biasanya.

Sementara itu, suasana religius tampak hadir pula di perkampungan As-Suwaqah (kota lama di Rabat yang menjadi tempat perbelanjaan tradisional). Tradisi sejarah berpadu saat menjelang berbuka puasa. Ribuan rakyat Maroko dan asing setiap hari berjejal-jejal di rumah makan dan kafe kawasan babul ahad (benteng tua berwarna kuning muda di Rabat). Salah satunya Muhammad Nasir, mahasiswa Indonesia asal Bandung, sering berbuka puasa di kawasan As-Suwaqoh ini. Menurut dia “Berbuka puasa di kawasan tradisional ini ada nuansa kepuasaan tersendiri, di samping harganya lebih murah dibanding dengan restoran lain di Rabat” demikian kata jejaka asal Pagarsih Bandung yang sedang melanjutkan S2 universitas Islam tertua Al-Qarawiyiin, Tetoun, Maroko.

Di samping kios-kios yang ada sekitar As-Suwaiqoh, pedagang kaki lima juga cukup mendominasi kawasan ini, turut berperan serta meramaikan bulan Ramadhan sejak selesai adzan Ashar. Aktivitas As-Suwaiqoh terus ramai dikunjungi terutama menjelang buka puasa hingga berlanjut sampai menjelang sahur.

Ayat-ayat suci Alquran terus dialunkan baik dari radio nasional Maroko, tape recorder, televisi di toko, rumah makan dan di masjid kawasan As-Suwaiqoh. Suasana tersebut membuat bulan Ramadhan bertambahh tenang dan khusuk. Gang-gang di kawasan As-Suwaiqoh dipenuhi juga dengan restoran-restoran kagetan selama bulan suci Ramadhan. Setengah jam menjelang berbuka puasa, kursi dan meja makan sudah banyak dipesan dan dipenuhi. Maka bagi yang ingin berbuka puasa di As-Suwaiqoh harus datang lebih awal agar kebagian tempat.

Ibtisam Musthofa, pemilik restoran di kawasan ini mengatakan “Orang yang makan di restoran As-Suwaiqoh bertambah 5 atau 6 kali lipat selama bulan Ramadhan, karena banyak orang ingin ifthar di tempat tradisional seperti ini"

Bulan suci Ramadhan adalah bulan paling mulia. Raja Maroko, Muhammad VI mengkhususkan waktunya untuk beribadah. Selain itu, dikeluarkan edaran yang diumumkan oleh Kementrian Luar Negeri Maroko, yang isinya; bahwa selama bulan Ramadhan raja tidak menerima tamu atau segala urusan diplomasi. Hal ini sudah menjadi tradisi semenjak mendiang raja Hasan II di istana Rabat selalu diadakan pengajian agama yang dikenal dengan Durus Hasaniah.

Biasanya acara Durus Hasaniah yang diadakan dua atau tiga kali dalam semingu ini, disiarkan langsung oleh televisi Maroko agar masyarakat bisa menikmati wejangan para ulama untuk raja juga berguna untuk masyarakat. Untuk pengisi acara Durus Hasaniah adalah ulama-ulama dari dalam dan luar Maroko. Dan untuk Durus Hasaniah Ramadhan tahun ini yang pertama kali mengisi adalah Menteri Wakaf Maroko, Dr. Ahmad Taufik, sedangkan hari keduanya yaitu syeikh Al-Azhar, Dr. Muhammad Sayyid Thantawi dari Mesir.

Durus hasaniah selain dihadiri oleh keluarga raja, para pejabat Maroko, juga dihadiri oleh para duta atau utusan negara muslim di Maroko seperti Mesir, Saudi Arabia, Bosnia, Turki, Sinegal, Libanon, Malaysia, Brunei Darusalam dan Indonesia. Utusan dari Indonesia biasanya diwakili Dubes RI di Rabat. Untuk sekedar catatan, orang Indonesia yang pernah menghadiri acara Durus Hasaniah selain para Dubes yang bertugas di Rabat adalah utusan dari Depag Pusat Jakarta, seperti DR. Quraisy Shihab, DR. Said Aqil Munawwar dan Taufik Kamil. Selain itu, qari asal Indonesia juga ikut memeriahkan Durus Hasaniah tiap tahunnya. Biasanya qari Indonesia yang datang ke Maroko adalah Ust. Nasrullah dari Banjarmasin.

Bagi masyarakat Indonesia di Maroko yang berjumlah kurang lebih 100 orang, bulan Ramadhan adalah ajang kesempatan saling ketemu dan bersilaturahmi terutama bagi mahasiswa di luar kota Rabat. Dua minggu sekali KBRI dan wisma duta mengundang masyarakat Indonesia untuk berbuka puasa, yang dilanjutkan shalat Magrib dan Isya berjamaah serta ceramah dan tanya jawab agama oleh mahasiswa Indonesia di Maroko.

KBRI menyediakan mini bis untuk menjemput para mahasiswa dikarenakan jarak tempat tinggal mahasiswa cukup jauh dan memakan waktu sekitar 1 jam dari KBRI. Untuk memudahkan penjemputan mahasiswa biasanya didrop di sekretariat PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Maroko

Para pejabat KBRI juga tidak ketinggalan ikut mengadakan buka bersama di kediamannya masing-masing secara bergilir, tak terkecuali di sekretariat PPI diadakan pula Buka Bersama. Untuk memudahkan koordinasi selama kegiatan Ramadhan, KBRI dan PPI bekerjasama mengatur program acara Ramadhan termasuk pengaturan zakat fitrah dan sholat ied di mushala KBRI.

Bulan Ramadhan bukan sekedar bulan silaturahmi antar masyarakat Indonesia, tetapi ajang silaturahmi pertemuan dengan masyarakat asing lainnya, seperti Malaysia, Thailand dll. Bulan ramdahan adalah bulan penuh berkah dan magfirah juga bulan untuk memperkuat silaturrahmi dengan siapa saja. (Liputan: Arief Rahman Hakim, MA. Mahasiswa Peserta Program Doktoral Universitas Muhammad V Rabat, Maroko) [F]

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com