30 January 2007

Manifesto Ajaran Tauhid

Oleh: Lutfi Lukman Hakim


Dalam sebuah wasiatnya, Luqman berkata kepada anaknya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar “. (QS. Luqman : 13).

Mempersekutukan Allah dalam konteks ini, berarti telah menyamaratakan Allah dengan selainNya. Baik dengan manusia, jin, binatang, maupun makhluk Allah yang lain. Baik menyamakan Allah dalam hal kedudukan, keberadaan, fungsi maupun peran. Seolah di balik keberadaan sesuatu, bukan atas kehendak Allah, tetapi hasil dari sebuah perbuatan atau usaha.

Tengok misalkan perjalanan Nabi Ibrahim a.s selama mencari ilâh. Ketika Allah memperlihatkan berbagai keagungan-Nya di langit dan di bumi untuk meyakinkan Ibrahim tentang ilâh sebenarnya. Sampai Ibrahim bingung menentukan mana yang mesti dia sembah, apakah bintang, bulan atau matahari? Akhir dari pencarian ini, ia hanya bisa berserah diri kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Ia takut termasuk golongan yang mempersekutukan Allah. (QS. Al-An’am : 74-79).

Berbagai kejadian di alam ini, baik dalam diri, segala perbuatan manusia atau hewan, mestilah ada penyebab yang mengakibatkan terjadinya sesuatu. Setiap sebab-sebab itu pun, terjadi disebabkan karena sebab yang lain, sampai akhirnya perputaran sebab tersebut mengerucut kepada sebuah kesimpulan untuk mencari ‘yang menyebabkan semua sebab itu terjadi’, serta siapa yang menciptakannya. Tidak lain Dia-lah Allah Subhânahu Wa Ta’alâ, demikian pendapat Ibnu Khaldun.

Lafadz Ilâh sendiri dalam bahasa Arab berarti segala sesuatu yang disembah berdasarkan keyakinan penyembahnya. Patung-patung berhala disebut ilâh karena menurut keyakinan mereka berhala tersebut sangat pantas untuk disembah. Adapun penamaan ilâh disesuaikan menurut kepercayaan mereka sendiri, bukan berdasarkan benda itu sendiri (Ibnu Mandour : 1999).

Karenanya lafadz “Lâ ilâha illa Allah” bukan sembarang kalimat atau pelafalan. Seorang Abu Thalib saja, Paman Nabi tak kuasa untuk sekedar mengucapkan lafadz tersebut, karena sarat akan makna dan konsekwensi. Padahal dia yang mengurus Nabi semenjak ditinggal oleh ibunya ketika berusia 6 tahun, dan kakeknya pada usia 8 tahun. Beliau pun yang membela Nabi dari ancaman kaum Quraish.

Dengan demikian, perlu dibedakan antara sikap (al-hâl) dan sekedar tahu (al-ilmu) dalam masalah akidah, antara sekedar ucapan (al-qaul) dan rasa penghayatan (al-ittishâf). Ibnu Khaldun memberi ilustrasi, kebanyakan manusia tahu bahwa mengasihi anak yatim dan orang miskin termasuk perintah agama. Tetapi, kebanyakan manusia berpaling dan enggan untuk menolongnya, apalagi untuk mengasihi mereka dan bersedekah.

Demikian pula Tauhid. Bukan sebatas tahu (al-ilmu) dan ucapan (al-qaul), tetapi mesti dibarengi dengan sikap (al-hâl) dan penghayatan (al-ittishâf). Rasa tahu yang dibarengi dengan penghayatan adalah sebuah keharusan. Penghayatan pun mesti dibarengi dengan ilmu. Kesempurnaan Tauhid bukan sekedar keimanan, tanpa dibarengi sikap dan nilai-nilai penghayatan. Sebagiamana kesempurnaan ibadah. Setiap ibadah harus memiliki dua wujud aplikasi. Wujud jasadi (ritual fisik) dan wujud ruhi (spiritual).

Fundamen tauhid dibekali dengan keyakinan bahwa Allah itu suci dengan segala dzat dan sifat-Nya. Dari sini, rasa keimanan berkembang menjadi iman kepada Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhirat, dan Qadha dan Qadar. Itulah arti iman sebagai sebuah institusi menurut Endang Saifuddin Anshari. Yaitu iman yang merupakan bagian paling pokok daripada agama sendiri.

Bekal keimanan, beralih menuju kehidupan praksis. Dengan syahadat, manusia melepaskan diri dari belenggu kemusyrikan. Shalat; pengorbanan waktu, sebagai media komunikasi antara hamba dengan khaliq, sekaligus bersosialisasi dengan sesama. Zakat; pengorbanan harta, bukti kepedulian sosial manusia. Shaum; pendidikan kedisiplinan mental dan diri, bentuk pengorbanan diri. Haji; bukti kedewasaan mental-spiritual.

Akhirnya, manifesto dari sikap keimanan seseorang berwujud kepada pengorbanan diri. Mengorbankan kepentingan diri pribadi atau yang lain, di atas kepentingan Allah Swt. Bagi Dr. Komarudin Hidayat, dari pernyataan tauhid terpancar sebuah kekuatan spiritual dan sosial untuk merobohkan icon yang menjadi pusat sesembahan manusia, entah supremasi kelas, ras, keturunan, intelektualitas dan obyek sesembahan lain yang menghalangi pandangan dan loyalitas seseorang kepada Allah.

Betapa manifesto keimanan seorang Ismail –padahal ia masih kecil- ketika hendak disembelih oleh Ibrahim menjadi bukti, alangkah indahnya keimanan itu. “Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. Ash-Shaffât : 102).

Ajaran Tauhid menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis, kosmopolit dan revolusioner. Hasbunallah!

Sesumbar Demokrasi a la Amerika

Oleh: Arif Munandar Riswanto

Kumpulan "elang" rezim Amerika baru kembali membuat "jijik" mata dunia. Melalui pidato pelantikan presiden pada tanggal 20 Januari 2005, Bush kembali mengeluarkan sesumbar yang penuh arogansi “so, it is the policy of the United States to seek and support the growth of democratic movements and institutions of every nations and culture, with the ultimate goal of ending tyranny in our world.” Itulah ranah "perjuangan" Amerika ke depan: menumbuhsuburkan demokrasi dan menghilangkan tirani.

Rasanya, tukang becak pun tahu, bahwa sesumbar Bush tersebut jauh panggang dari api. Justru, negara adikuasa itulah yang selama ini sering melanggar demokrasi dan menumbuhsuburkan tirani. Sehingga, program kerja Bush cs ke depan pun harus dibalik menjadi: menghilangkan demokrasi dan menumbuhsuburkan tirani. Karena, itulah fakta demokrasi a la Amerika. Meminjam tulisan Newsweek, demokrasi Amerika adalah “high hopes, hard facts”.

Demokrasi a la negri Tom and Jerry tersebut adalah akibat wajar dari doktrin Pre-emptive Strike Amerika. Doktrin tersebut berkoar-koar "lebih baik mendahului daripada didahului". Legitimate atau tidak adalah masalah belakangan yang bisa dicari justifikasinya. Afghanistan, Irak, dan sekarang menunggu giliran Iran serta Korea Utara adalah para korban dari isi doktrin tersebut.

Demokrasi Pre-emptive Strike Amerika adalah pengkhianatan terhadap "khotbah wada" (farewell address) George Washinghton pada bulan September 1796. Pidato yang tidak dibacakan secara verbal tersebut berisi 51 poin tentang arti demokrasi yang sebenarnya. Salah satu isi dari pidato tersebut adalah "...just and amicable feelings towards all should be cultivated." Hanya sayang, dua abad kemudian, pidato dari bapak pendiri bangsa yang memiliki visi politik dunia ke depan tersebut justru harus dikhianati oleh "anak baru gede" semisal George W. Bush.

Itulah yang menyebabkan antipati masyarakat dunia terhadap Amerika. Amerika sekarang adalah pengkhianat demokrasi. Lebih jauhnya, ketika nalar demokrasi dilanggar menjadi aksi penjajahan, yang kerap terjadi adalah lahirnya Mao Zedong, Che Guevarra, Usamah ibn Laden, Sadam Husen, Abu Sayyap, Hammas, dan Jihad Islam. Tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi "garis keras" tersebut lahir tiada lain ketika mereka merasa bahwa nilai-nilai demokrasi telah dikhianati dan dijajah oleh bangsa lain. Amerikalah sumber kelahiran gerakan garis keras tersebut. Karena, tidak ada asap jika tidak ada api

Bahkan, secara terang-terangan, Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Kofi Anan sering mengatakan bahwa pendudukan Israel terhadap Palestina, invasi Amerika ke Afghanistan dan Irak sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Hanya, yang jadi persoalannya adalah, siapakah yang berani menjamin untuk "menghakimi negara maju" yang selama ini sering melanggar nilai-nilai demokrasi, jika badan sekuat PBB saja mandul untuk menghakimi pelanggaran tersebut?

Selain melakukan "oposisi" terhadap barang dagangan demokrasi a la Amerika, kita pun harus percaya terhadap hukum kausalitas. Tidak ada sebuah kekuatan yang abadi di dunia ini. Imperium Qarun, Firaun, Iskandar Agung, Romawi, Cina, Persia, Mongol, Uni Soviet, adalah tembok-tembok hegemoni yang pernah jaya. Namun, seluruh imperium tersebut hanya menyisakan artifak pelajaran (ayat) bagi generasi setelahnya. Seharusnya, Amerika belajar dari sejarah kemanusiaan yang sangat panjang tersebut. Karena, kehancuran tembok hegemoni tersebut adalah ketika mereka berlaku arogan dan membuat kerusakan di muka bumi ini. Persis seperti hal yang sekarang sedang dilakukan oleh Amerika. Redpel.

Salafiyah dan Pembaharuan Fiqih

Oleh: Dedi Hariadi Hidayat


Pembaharuan Fiqih menjadi diskusrus yang terus hangat dibicarakan diantara diskursus keagamaan (khitâb al-dînî) yang lain. Betapa tidak, karena rekonstruksi fiqih menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar, dimana perkembangan yang ada selalu menyisakan berbagai persoalan yang harus dijawab melalui pembacaan ulang (nazhrah jadîdah) turâts fiqih yang ada. Rekonstruksi pada level tersebut menjadi sangat penting ketika fiqih sebagai produk ijtihad para fuqohâ yang terus melakukan dialektika merespon berbagai persoalan umat, di"hakimi" menjadi lokomotif kemajuan umat di berbagai sektor. Akan tetapi, ketika rekonstruksi tersebut dirumuskan sampai ke tingkat metodologi, kerap melahirkan debatable antara berbagai kelompok Islam, dimana hal tersebut terkait erat dengan efistema (nizhâm al-fikri) yang dibangun kelompok tersebut terhadap Islam secara keseluruhan.

Salafiyah dalam kesejarahannya, merupakan pioner pembaharuan pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaharuan Fiqih. Gerakan Salafiyah atau yang lebih kenal dengan gerakan puritanitas Islam mencoba mencairkan berbagai kebekuan dan kejumudan akut yang dihadapai umat, serta menggairahkan kembali ijtihad-ijtihad yang sempat lesu. Muhammad ibn Abdul Hawâb (1703-1792 M) dan Ibn Taimiyyah (1263-1328 M) merupakan founding father gerakan Salafiyah yang mencoba mendobrak berbagai kemapanan yang ada. Muhammad ibn Abdul Wahab berkonsentrasi lewat purifikasi ajaran Islam dangan mengembalikan Islam kepada dua sumber pokok, al-Quran dan al- Sunnah. Sedangkan Ibnu Qoyim lebih mengakses kepada pembukaan kran-kran ijtihad yang pada waktu itu sempat macet.

Thoriq Basyari, al-Islâm wa al-Zamân; al-Simât al-Fikr al-Târîkh, mengelompokan Salafiyah sebagai gerakan pembaharu Islam yang memberi banyak imspirasi terhadap gerakan pembaharu Islam yang lain. Salafiyah mempunyai karakteristik – yang lebih jauhnya disebut manhaj – pemikiran, diantaranya; argumentasi harus berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah (istdlâl bi al-kitâb wa al-sunnah), mendahulukan teks atas rasio (taqdîmu al-naql min al-'aql), dan berpegang pada pemahaman shahabat (al-tamassuk bi fahmi al-shahâbah). Dengan demikian, pembaharuan fiqih yang digagas Salafiyah bisa dilacak dari berbagai usaha yang telah dirumuskan, diantaranya:

1. Kembali kepada alQuran dan alSunnah.

Dalam hal ini, teks al-Quran dan al-Sunnah merupakan dua sumber mutlak dalam menggodok produk-produk hukum. Akan tetapi, dalam suasana interaksi yang terlalu meng"super'kan teks, muncul sikap ekstrim (terutama generasi belakangan) adanya penundukan teks secara total atas realitas. Sehingga menurut Muhammad Imarah (Tayârât al-Fikr al-Islâmî : 968), Salafiyah dinamakan aliran literalis (manhaj al-nushûshî) karena otoritas teks yang ada dalam al-Quran dan al-Sunnah menjadi panglima hingga menolak otoritas ta'wil (ta'wîl kalâmî), qiyas dan pintu ijtihad yang bebas. Lebih ekstrem lagi, Dr. Kamal Abdul Majid (Tajdîd al-Fikr al-Islâmî: 2001) melihat bahwa telah terjadi "keasyikan" total menerima teks al-Quran dan al-Sunnah secara taken for granted, serta mencurigai ijtihad-ijtihad yang menggunakan unsur rasionalitas.

2. Menghilangkan sikap fanatik madzhab

Manhaj Salafiyah untuk mengembalikan pemahaman keagamaan kepada generasi awal Islam (Rasulullah, Shahabat dan Tabi'in) sebagai generasi terbaik, membangun dinamika keagamaan yang sehat, yaitu menghilangkan sikap fanatik buta terhadap madzhab-madzhab yang ada. Walaupun salafiyah cukup dekat dengan madzhab Ahmad ibn Hanbal -karena peletak dasar pemikiran Salafiyah adalah para penganut madzhab Hanbali- tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara fanatik karena Salafiyah tetap konsisten menolak simpul-simpul madzhab yang ada dalam rumah tangga fiqih.

Paradigma berfiqih seperti itu merupakan gebrakan yang luar biasa, karena fiqih yang seharusnya terus progresif dan dinamis mengalami kemandegan akibat dikapling dalam rumah madzhab-madzhab yang ada. Di satu sisi hal tersebut menunjukan keseriusan para Imam madzhab untuk melakukan ijtihad merumuskan berbagai hukum fiqih, namun di sisi lain – secara tidak langsung – mengebiri berbagai kreasi dan inovasi yang seharusnya dilakukan, karena pada akhirnya pemahaman umat akan terseret kepada produk-produk fiqih yang telah dimapankan oleh para muassis madzhab yang ada.

Salafiyah yang walaupun dalam perkembangan selanjutnya – dianggap -- mengalami pergeseran paradigma dan reduksi makna "salafiyah" hingga terkesan ada missing link sejarah antara generasi awal dan generasi belakangan, namun diakui ataupun tidak, Salafiyah merupakan pioner gerakan pembaharu pemikiran Islam kontemporer. Walâhu A'lâm.

Tajdid al-Fiqh, Why Not?

Oleh: Aep Saepulloh D.

Belakangan ini, wacana perlunya melakukan tajdîd al-fiqh, makin marak diperbincangkan. Bukan hanya dalam fan fiqh, tapi juga dalam funûn lainnya semisal Ushul Fiqh, Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadits. Sekedar menyebut contoh, dalam bidang fiqh misalnya, hal ini ditandai dengan munculnya beberapa buku dan tulisan semisal buku nahwa fiqh jadîd-nya Jamal al-Bana, maqâl-nya Jamaluddin Athiyyah dalam Tajdîd al-Fiqh al-Islâmi juga buku-buku lainnya. Wacana ini muncul, hemat penulis, dilatarbelakangi diantaranya oleh dua hal penting. Pertama, "kegerahan" sebagian kalangan dengan fiqh yang selama ini-- dalam kacamata mereka-- cenderung kaku, rigid dan sudah kehilangan "ruh"nya. Untuk mengembalikan "ruh"nya inilah, kemudian mereka menyodorkan beberapa ma'âlim pembaharuan dan rekonstruksi sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya. Kedua, sebagai reaksi atas kepicikan sebagian kelompok yang sudah "keterlaluan" dalam melihat fiqh; seolah fiqh adalah benda kramat yang mampu menjawab semua tantangan dan persoalan kapanpun sehingga karenanya tidak perlu adanya perubahan. Hanya saja, sayangnya kelompok "pembaharu" ini terkadang lepas kendali, keluar dari koridor wacana yang dibawanya, tajdîd.

Apabila kita mencermati salah satu sabda Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Abu Daud, Hakim dan Imam Baihaqi, bahwa setiap seratus tahun sekali, Allah akan mengutus orang yang akan memperbaharui din (agama)-Nya, maka konsep tajdîd adalah sesuatu yang sudah diprogramkan oleh Allah. Bahkan, kalau boleh dikatakan, ia memang sesuatu yang diperintahkan. Apabila dalam konteks din saja, harus ada gerakan tajdîd, maka apalagi dalam tataran fiqh yang tentunya hanya merupakan salah satu partikel kecil dari din tersebut. Namun persoalannya, tajdîd seperti apa yang dikehendaki? Apakah tajdîd dalam pengertian rekonstruksi atau malah sebuah dekonstruksi (tabdîd, tahrîf)? Untuk itu, mari kita samakan dahulu persepsi tentang tajdid ini.

Ada hal penting yang harus digarisbawahi dengan makna tajdîd ini. Tajdîd (pembaharuan, renovasi) bukan berarti tabdîd, tahrîf atau taghyîr. Untuk lebih memudahkan pengertian tajdîd ini, penulis akan sodorkan sebuah analogi ringan. Apabila ada sebuah bangunan kuno bersejarah atau sebuah rumah yang hendak ditajdîd (renovasi), maka ada beberapa ciri penting dari usaha tajdîd ini: 1) tetap menjaga esensi dari bangunan lama tersebut sesuai dengan ciri khas, tabiat dan modelnya. 2) hanya memperbaiki bagian-bagian yang sudah rusak atau sudah lemah dan 3) menambahkan aksesoris baru dengan tanpa merubah dan mengotak-atik ciri khas atau esensi dari bangunan kuno tersebut. Aksesoris ini semisal halamannya, kebunnya dan kebersihan atapnya. Hal ini dimaksudkan agar bangunan tersebut dapat tetap indah dan makin nyaman dipandang, tetapi tentunya tidak menghilangkan ciri keasliannya. Itulah tajdîd. Namun, apabila semua bangunan kuno tadi dirobohkan, atau ciri-ciri khasnya dihilangkan dan diganti dengan yang baru, maka ia bukan sebuah tajdîd, akan tetapi tabdîd, tahrîf atau taghyîr.

Dengan demikian, apabila kita sepakat dengan pemaknaan tajdîd di atas, maka tidak ada persoalan. Dan seperti itulah yang harus dipahami dari wacana tajdîd ini; tidak menghilangkan dan merombak ciri khas dan tabiat dari fiqh itu sendiri. Apabila makna tajdîd ini yang disepakati, maka hakikatnya para ulama sejak dahulu kala pun sangat menyetujuinya bahkan sudah melakukannya. Misalnya, seperti apa yang telah dilakukan oleh Imam Syâfi'i yang mencoba menjembatani dua aliran besar saat itu, ahl al-ra'yi dan ahl al-hadîts. Buah dari upaya tajdid-nya ini kemudian melahirkan metode baru dalam mengistinbat hukum sebagaimana tertuang dalam buku-bukunya terutama dalam al-Risâlah.

Penulis kurang sepakat dengan pengelompokkan aliran dalam upaya tajdîd ini sebagaimana ditulis oleh Wahbah al-Zuhaili dalam Tajdîd al-Fiqh al-Islâmî. Dalam tulisannya, Wahbah mengatakan, bahwa ada beberapa kelompok dalam merespon upaya tajdîd ini yakni, salafiyyah, intiqâiyyah atau al-ghaughaiyyah, al-‘udwâniyyah, al-taqrîbiyyah dan al-wasathiyyah. Pengelompokan ini, hemat penulis, terlalu simplistik dan tidak jelas landasannya. Yang jelas, apabila pemaknaan tajdîd seperti yang dikemukakan di atas, maka hemat penulis, semua akan sepakat untuk menerimanya; apakah akan ada yang mencoba menta'wil hadits tajdîd yang sudah zhâhir dan nash seperti itu?

Harus diakui, bahwa ada beberapa produk fiqh yang saat ini—meminjam istilah Ibn Qayyim—"sudah mati". Ini harus dipahami karena memang fiqh lahir dari sebuah pemahaman seorang mujtahid yang sangat terkait dengan kondisi, adat dan lingkungan dimana ia hidup. Untuk itu, apa yang dilakukan sekarang oleh beberapa lembaga fatwa, semisal Dewan Buhuts-nya al-Azhar, dengan melakukan penyaringan (muqâranah) dan pengkajian fiqh lintas madzhab (tidak terikat dengan madzhab tertentu), hemat penulis adalah salah satu upaya tajdîd fiqh dimaksud. Dalam prakteknya, seorang mujtahid bukan saja berperan sebagai kâsyif al-hukm tapi juga munsyi al-hukm yang pada term generasi awal, istilah munsyi al-hukm ini masih terbilang tabu. Pada akhirnya, tajdîd al-fiqh bukan saja sebuah keniscayaan, tetapi merupakan sebuah keharusan sambil tetap menjaga ciri khas dan esensi dari fiqh tersebut (tsawâbit). Karena apabila semua esensi dan ciri khasnya dirambah pula, maka ia bukanlah sebuah tajdîd, tetapi tabdîd atau tahrîf. Wallâhu A'lam.

Takfiru at-Tafkir; Why Not?

Oleh : Irfan Hakiem*

“Benturan antar peradaban akan mendominasi politik global. Garis-garis pemisah antara peradaban akan menjadi ajang pertentang di masa depan. Konflik antara peradaban akan menjadi fase terakhir dari evolusi konflik dalam dunia modern”. (Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization)

Suatu hal yang wajar bila ada istilah Takfiru at-Tafkir (pengkafiran terhadap sebuah pemikiran), karena yang demikian itu adalah sebuah dialektika antara yang mempunyai pemikiran kanan dan kiri (baina al-Fikr al-Aiman wa al-Aisar), yang disebabkan adanya kepentingan masing-masing dalam memahami sebauh ajaran agama (teks alQuran dan alSunnah). Dan penulis kira, hal ini tidak akan pernah berhenti sampai di sini saja, tapi akan terus berlanjut sampai pada generasi yang akan datang.

Penulis sedikit mencoba melirik terhadap kejadian orang-orang dahulu, seperti Ahmad bin Hanbal, yang mempunyai komitmen dalam memperjuangkan alQuran dan alSunnah, dengan tidak ingin menyebut bahwa alQuran adalah makhluk, dengan berbagai desakan dari pemerintah dan pihak-pihak lain. Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya apa yang terjadi dalam tubuh pemerintahan al-Makshum itu?

Ternyata betul, benturan paradigma pemikiran sangat mempengaruhi lorong-lorong pemerintahan, karena di dalamnya ada seorang mu’tazili yaitu, Abu Du’ad yang mencoba mempengaruhi pemerintahan al-Makshun dengan segala pemikirannya. Maka benturan ini terjadi antara yang mempertahankan alQuran dan alSunnah dengan orang yang mempunyai pemahaman baru (al-Fikr al-Hadits) yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran barat, baik Yunani dengan filsafatnya maupun Mu’tazilah dengan kebebasan berpikirnya.

Berangkat dari sana, penulis mempunyai keyakinan sampai kapan pun bahwa, benturan semisal ini tak akan pernah berhenti. Kenapa, karena di samping otak manusia terus berproses, berubah, bertambah, dan akan menemukan hal-hal yang baru, juga otak (pemahaman manusia) tidak akan pernah bisa disatukan dalam satu kerangka berpikir (baca:disamakan), baik dengan pemikiran kanannya maupun dengan pemikiran kirinya (kita akan lebih paham dengan istilah kanan dan kiri). Penulis kira, sangat wajar bila benturan ini terus berlanjut, agar dapat mempengaruhi dan berdialektika dalam warna pemikiran kita, sesuai dengan pertumbuhan jaman yang semakin asyik dalam ruang-ruang globalisasi.

Sebut saja, benturan globalisasi dan modernisasi akan terus menghantam umat Islam, baik dari aspek budaya, peradaban, moralitas, dan pemikiran. Yang akan sulit untuk dapat melepaskan diri dari sentuhan-sentuhan barat dewasa ini, kenapa penulis anggap bahwa benturan semisal itu identik dengan barat. Karena, masa kini adalah masa kejayaan barat, peradaban sekarang adalah milik barat, dari mulai paradigma berpikir sampai pada budaya keseharian khalayak. Sebagaimana dikemukakan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya, “The End of History” bahwa kemenangan Barat atau kemenangan ide Barat melalui ideologi liberalisme ekonomi dan politik, tampak jelas pertama-tama pada keletihan total gagasan-gagasan yang secara sistematik telah diajukan sebagai alternatif terhadap liberalisme Barat.

Maka rambu-rambu pemilahan antara orisinalitas pemikiran Islam dan pemikiran barat, akan sedikit sulit untuk diidentifikasi. Kenapa, karena dewasa ini semua memakai pisau Islam, baik para orientalisme maupun orang Islam itu sendiri. Maka wajar ketika muncul pertanyaan, bagaimana kita memilah-milah antara pemikiran Islam dan barat?. Kalau meminjam istilah Dr. Hasan Hanafi dalam bukunya, “Ilmu al-Istighrab (oksidentalisme)” bahwa barat mempunyai cara untuk menghancurkan pemahaman umat Islam yaitu, dengan para orientalisme yang banyak mempelajari ajaran Islam, untuk dapat diselewengkan dari pemahaman yang asal terhadap pemahaman mereka, dengan banyak memakai logika-linguistik. Kenapa tidak?, kita juga mempelajari pemikiran barat untuk dapat mengetahui sela-sela kelemahan dari pemikiran barat itu sendiri.

Tapi sayang, banyak pemikir Islam dewasa ini yang belajar Islam dari barat, yang bukan mengkritisi dan menganalisa semua pemikiran tersebut, tapi menelan semua pemikirannya secara mentah (baca:without critikal anything). Maka terjadilah suatu benturan antara umat Islam itu sendiri, yaitu antara yang mengadopsi pemikiran dari barat dengan orang Islam yang mengandalkan pembelajaran dari dalam Islam, tidak banyak bercermin terhadap perkembangan jaman, baik dengan globalisasi pemikiran maupun modernisasi budaya.

Penulis kira, benturan ini akan terjadi sampai kapan pun jua, bila kedua-duanya tidak mau melirik terhadap persoalan-persoalan jaman, yang semakin hari semakin deras dengan luapan peradaban baru (al-Hadlarah al-Jadidah), dan keduanya akan terjebak dengan fanatisme pemahaman masing-masing. Maka komunitas fundamentalis-literalis (penulis sebut saja) mencoba mempertahankan keabsahan ajaran Islam, yang mulai diutak-atik oleh pemikiran baru yang diproduksi oleh barat. Di sisi lain, kaum liberalis-fenomenologis mempunyai pemahaman yang baru, yaitu ingin membangkitkan umat Islam dari stagnasi (jumud) yang kian hari kian mengkronis, yang sangat ketinggalan jauh dari suatu pemahaman Islam yang universal. Yaitu dalam artian mereka, ajaran Islam masa kini tidak bisa mengena dan menyentuh terhadap sendi-sendi fenomena sosial, baik secara mikro maupun makro.

Mungkin dari sinilah, muncul istilah-istilah yang sangat tidak diharapkan dari berbagai pihak atau kalangan, yaitu Takfiru at-Tafkir (pengkafiran terhadap sebuah pemikiran). Penulis kira, Islam itu indah dan orang bebas menempuh dari jalan mana saja, karena sangat mungkin dari setiap yang berbeda pemahaman ini akan dapat melahirkan sesuatu yang positif. Maka kenapa kita tidak dapat melahirkan sesuatu yang positif dari dua komunitas “kubu” ini?

Penulis sedikit mengutif dari apa yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad Imarah bahwa, Selama ada produk peradaban Barat yang bisa ditiru dan sesuai dengan prinsip universal Islam, maka sangat memungkinkan untuk dijadikan basis epistemologi kajian keislaman. Karena menurutnya, al-hikmah dhallatul mu`min, anna wajadaha fahuwa ahaqqun nâs bihâ (kearifan merupakan barang tercecer kaum beriman; dimanapun mereka menjumpainya, mereka berhak merangkulnya). Dengan landasan itu, meski sebuah kearifan datang dari warisan “the other” yang berbeda (nonmuslim), asal selaras dengan nilai-nilai universal Islam, maka sepatutnya tetap dijadikan referensi.

Maka istilah pengkafiran, hemat penulis adalah sesuatu yang kurang bijak dalam prihal kajian pemikiran. Yang lebih baik untuk kita dialogkan, tafsirkan dan terjemahkan lebih lanjut, untuk saling mengisi beberapa pemahaman yang berbeda tersebut. Kenapa, karena kebangkitan Islam yang kita tunggu-tunggu, serasa masih jauh dari harapan kita selama kita belum bisa harmonis, saling menghargai, dan berjalan bergandengan dalam pemahaman yang berbeda pula. Wallahu’alam bishawab!


29 January 2007

Don’t Judge a Moslem by It’s Dress !

[Catatan kecil tentang Shabina Begum,

Hak Asasi Manusia dan Simbol Perlawanan]

Oleh: Ganna Pryadharizal Anaedi Putra

Isu-isu menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) memang selalu menyisakan sejuta ‘persoalan’ dan selalu menarik untuk dikaji, karena erat kaitannya dengan problematika kehidupan umat manusia. Manusia merupakan makhluk dinamis yang senantiasa berupaya untuk menciptakan hal-hal baru. Karena itu, dirasakan sangat perlu untuk menciptakan sistem-sistem pada tataran undang-undang internasional, yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan terhadap gerak manusia agar tidak terjadi tumpang-tindih dan over lapping, dalam kaitannya dengan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Karena, kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain (!).

Atas dasar itu, James W. Nickel dalam bukunya Making Sense of Human Rights; Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights, memaparkan bahwa, pada tanggal 1 Januari 1942 lahir Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (Declaration by United Nations) yang berisi tentang pentingnya untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan. Lahirnya deklarasi tersebut dikarenakan pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II. Maka setelah itu, muncullah berbagai undang-undang dan perjanjian mengenai HAM di berbagai belahan dunia, seperti; Piagam PBB (UN Charter) mengenai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) dalam Konstitusi Amerika Serikat, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights), dan lain-lain.

Baru-baru ini, di Inggris, persoalan mengenai HAM mencuat kembali. Shabina Begum, pelajar Inggris asal Bangladesh berusia 16 tahun, akhirnya bisa bernafas lega, setelah dirinya dinyatakan tidak bersalah dan memenangkan gugatan di Pengadilan Tinggi Inggris (The Royal Court of Justice). Pertikaian antara Shabina dengan Kepala Sekolah dan petinggi The Denbigh High School itu bermula ketika sekolah tempat Shabina belajar tersebut, mengeluarkan dirinya dari sekolah pada September 2002, karena Shabina dianggap telah melanggar peraturan sekolah mengenai ketentuan seragam, dengan memakai jilbab ke sekolah.

Pada sidang pengadilan tersebut, pihak sekolah dinyatakan bersalah, karena telah melanggar pasal 9 ayat 1 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights) mengenai kebebasan berpikir, berekspresi dan beragama. Lebih jelasnya, isi pasal tersebut menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.

Perlu diketahui, Konvensi Eropa untuk Hak Asasi Manusia adalah Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada tahun 1950, dimana Konvensi tersebut menjadi sistem paling berhasil yang dibentuk demi penegakan Hak Asasi Manusia (James W. Nickel: 1987).

Menyusul kemenangan Shabina dalam sidang tersebut, Kepala Lembaga Perlindungan Hijab (Assembly for Protection Hijab), Nabila Ferhat mengatakan, ” Hari ini adalah hari kemenangan untuk konsolidasi komunitas di seluruh Inggris. Kita harus bekerja sama dengan seluruh pihak sekolah untuk menangani segala macam permasalahan dan jangan sekali-kali membiarkan pihak pengadilan menduduki tempat pertama. Dalam prakteknya, Inggris telah menetapkan standar untuk diversifikasi budaya dan religius. Pada tataran praktis, Protect Hijab mendukung usaha-usaha masyarakat beragama untuk bekerjasama dengan pihak sekolah untuk memfasilitasi seluruh format hijab dalam ketentuan seragam.”(Lebih lanjut lihat: Press Release Assembly for Protection Hijab di www.prohijab.net).

Mengomentari kemenangannya itu, Shabina Begum berujar, ”Saya berharap, kemenangan kecil saya ini, akan mendidik dan memberikan harapan baru bagi jutaan umat muslim, khususnya wanita-wanita muslimah di seluruh dunia.” (www.gatra.com, 06/03/2004).

Setelah kemenangan itu, beberapa sekolah di London juga ikut menyertakan jilbab dalam ketentuan umum mengenai seragam (uniform policy) dan mentolerir para siswanya untuk mengenakan jilbab ke sekolah.

Berbagai kalangan menilai, kasus Shabina Begum menarik untuk dicermati dari sisi manapun, pertama, dia masih berusia 16 tahun, ukuran umur yang relatif sangat muda untuk masuk ke dalam, sebut saja, ‘pergesekan’ ideologi dan perjuangan mempertahankan keyakinan agamanya. Kedua, dia memenangkan gugatan pengadilan di sebuah negara terbesar Eropa, yaitu Inggris. Ketiga, dia berada di lingkungan minoritas (aqalliyât al-muslimah) yang cenderung kurang kondusif untuk menerjemahkan keyakinan agamanya. Keempat, persoalan hak asasi manusia, yang sangat menarik untuk dianalisa lebih lanjut, dimana pengadilan menyatakan bahwa pihak sekolah The Denbigh High School telah melakukan sebuah pelanggaran besar terhadap hak asasi manusia, karena mencoba melarang Shabina untuk menjalankan keyakinan agamannya, yaitu mengenakan busana muslimah.

Barat dan Standar Ganda Hak Asasi Manusia

Adalah menjadi rahasia umum, bahwa undang-undang hak asasi manusia versi Barat merupakan perundang-undangan yang pada dasarnya memiliki standar ganda (izdiwâjiyah al-ma’âyîr) di belakangnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan standar ganda tersebut adalah sikap pandang bulu dan membeda-bedakan berdasarkan kepentingan, ketika berinteraksi dengan negara lain (baca: negara dunia ketiga) atau ketika menyelesaikan sebuah masalah, atau ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi “tertentu” yang berkaitan dengan negara lain. Secara sederhana, Barat ingin memaksakan hegemoninya melalui label hak asasi manusia.

Dr. Walid Mahmud Abdul Nashir, seorang kolomnis berkebangsaan Mesir, dalam Jurnal Ad-Dîmûqrâtiyah edisi ke-6 tahun 2002, menyatakan bahwa penerapan standar ganda Barat dalam setiap persoalan HAM bukanlah perkara yang baru. Standar ganda Barat –dalam hal ini diwakili oleh Amerika Serikat- dimulai pada sebuah fase pasca Perang Dunia II dan berakhirnya clash antara ‘Timur’ dan ‘Barat’, dimana ketika itu kedua pasukan (AS dan Uni Sovyet) saling menuduh bahwa salah satu dari mereka telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM. Artinya, pada waktu itu, AS dan Uni Sovyet adalah negara yang sama-sama mengakui akan keberadaan HAM, tetapi dikarenakan adanya kepentingan “pribadi” dari setiap negara tersebut, mereka akhirnya memutuskan untuk terjun ke medan perang.

Kasus pelarangan jilbab Shabina Begum merupakan salah satu contoh kecil dari penerapan standar ganda pemerintahan negara-negara Barat. Membingungkan (?) Justru dari kasus tersebut, ingin menunjukkan kepada kita betapa Barat merupakan prototype negara yang sangat mengagung-agungkan HAM, karena mungkin kasus Shabina tidak terlalu erat kaitannya dengan persoalan kepentingan politik (batas territorial), ekonomi (kekayaan negara), budaya, dll. Lebih khususnya, ada analisa menarik di balik kemenangan kecil Shabina Begum, dimana Inggris ingin mempertontonkan kepada dunia bahwa pengadilan di negara tersebut merupakan pilot project untuk seluruh pengadilan di dunia. Hal ini mengingat, kemenangan Shabina dalam pengadilan tersebut merupakan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap kelompok minoritas Muslim.

Sejenak kita tengok ke belakang, pada dasawarsa 90-an, sebuah negeri bernama Bosnia Herzegovina habis diluluh-lantakkan peluru dan missile pasukan Serbia dalam rangka proses Genocide (penghapusan suatu ras, suku, dan komunitas agama tertentu). Apa yang menimpa saudara-saudara kita di Bosnia, jelas merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap HAM. Namun, PBB, AS dan negara-negara besar Eropa lainya ‘hanya’ bisa berdiam diri dan berpangku tangan serta ‘hanya’ bisa “mengutuk” pelakunya dan menyesali mengapa tragedi tersebut bisa terjadi.

Lalu pada tahun 90-an juga, di Haiti terjadi berbagai peristiwa yang telah menodai kesucian HAM, dilakukan rezim militer Presiden Jean Bernard Aristead. Akhirnya, dari beberapa peristiwa yang terjadi di Haiti, telah memberikan ‘kemaslahatan’ bagi kepentingan strategi dan militer AS serta ‘kemaslahatan’ untuk kepentingan ekonomi dan budaya bagi Perancis. (Lebih jelasnya lihat: Jurnal Ad-Dîmûqrâtiyyah, edisi ke-6, tahun 2002)

Kemudian terakhir, invasi AS ke Irak. Dengan sikap pongah dan refleksi watak unilateralisnya (melakukan segala sesuatu secara sepihak), AS yang mengaku sebagai ‘polisi dunia’ dan negara pengayom HAM, dengan seenaknya mencoreng kedaulatan sebuah negara dan melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan di dalamnya. Begitu juga persoalan Palestina yang tak kunjung henti, mana suara negara-negara Barat yang katanya pengusung panji demokrasi dan HAM tentang Palestina? Lalu bagaimana dengan proses demokratisasi dan perlindungan terhadap HAM apabila terdapat negara-negara besar anggota PBB yang memiliki Hak Veto? Itu hanya sekelumit kecil dari beberapa contoh study case inkonsistensi dan kelicikan negara-negara Barat terhadap negara-negara dunia ketiga.

Kontemplasi Paradigmatik

Shabina Begum tak lain hanyalah seorang muslimah berusia 16 tahun yang dengan sangat gigih mempertahankan keyakinan dan menjadi simbol perlawanan terhadap kebatilan untuk seluruh umat Islam di dunia. Adalah tugas kita agar mampu mengadopsi semangatnya, terlebih jika kita berada di negara yang berkependudukan mayoritas muslim.

Dan, terlepas dari berbagai analisa ‘miring’ mengenai kemenangan dirinya, kita berharap semoga kemenangan kecil tersebut merupakan gerbang awal untuk mewujudkan proses demokratisasi, penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dari kemenangan tersebut, juga diharapkan menjadi tonggak awal dimulainya niat baik para penyelenggara negara demi menjaga HAM dan kewajiban manusia mendasar tanpa diselipkan kepentingan-kepentingan licik yang semu dan menipu. And don’t judge a Moslem by it’s dress !. (Gonz-Red).


28 January 2007

Fiqih Profetik; Independensi Fiqih Persis

Oleh: Rifqi Fauzi


Berdirinya Persis di Indonesia sama seperti Ormas lainnya- seperti NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad dan lain sebagainya- yaitu sebagai rival atas imprealis yang berupaya meng-kerdil-kan masyarakat Indonesia baik dari segi pendidikan, ekonomi hatta keberagamaan (Baca, Islam). Namun yang membedakan Persis dari yang lainnya adalah peran Persis yang terfokus kepada revitalisasi keberagamaan yang terkenal dengan slogan back to Qur`an and Sunnah, sehingga dengan slogan itu Persis terlihat lebih sangar dibandingkan ormas lainnya, karena yang dihadapi Persis adalah masalah yang sangat sensitif yaitu keberagamaan masyarakat muslim Indonesia yang kental dengan bid`ah dan kemusyrikan yang sudah mendarah daging dalam tubuh masyarakat muslim pada waktu itu.

Keterbelakangan pengetahuan masyarakat Muslim Indonesia tentang agamanya bukan saja diakibatkan tekanan para imprealis saja, tetapi semua ini juga diakibatkan ketidaktuntasan para wali dalam berdakwah, karena para wali pada waktu itu merasa sulit untuk mengubah agama asli mereka kepada Islam secara langsung. Sehingga para wali terpaksa berdakwah dengan cara memformulasikan ajaran Islam dengan adat istiadat dan kepercayaan mereka, yang akhirnya melahirkan keberagamaan yang masih bercampur baur dengan kemusyrikan. Para saudagar Arab yang mempunyai faham (baca: fiqih) Syâfi`iyyah-pun banyak mempengaruhi cara ibadah mereka. Sehingga kita bisa lihat kebanyakan muslimin Indonesia mengaku berfaham Syâfi`iyyah, walaupun pada kenyataannya masih banyak cara ibadah mereka yang bertentangan dengan faham Syâfi’I itu sendiri.. Ini pun, saya kira, diakibatkan ketidaktuntasan dakwah para saudagar, sehingga pengetahuan mereka tentang fiqih Syâfi`iyyah setengah-setengah yang pada akhirnya masih banyak bid`ah-bid`ah yang melekat pada cara ibadah mereka. Dari permasalahan inilah, Persis hadir dan mencoba untuk merevitalisasi keberagamaan dengan cara back to Qur`an and Sunnah, yang saya lebih senang memanggilnya dengan istilah Fiqih Profetik (baca: faham kenabian), karena Persis berusaha untuk menyesuaikan faham muslimin tentang Islam dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. kepada umatnya. Sehingga Persis merupakan sebuah pergerakan yang mempunya fiqih independen dan mempunyai karakteristik tersendiri dalam memahami Islam, diantaranya: Pertama, menjadikan al-Qur`an dan al-Sunnah sebagai sumber dalam memahami agama Islam dan memutuskan suatu hukum. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Quran surat al-Mâidah ayat 48-49, al-Nisâ’ ayat 59, Ali ‘Imrân ayat 81 dan lain sebagainya.

Kedua, ketika suatu permasalahan tidak didapatkan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah, mereka menggunakan jalan ijtihad- yang merujuk kepada al-Qur`an dan al-Sunnah- dalam memutuskan hukum. Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur`an surat al-Isrâ` ayat 15 dan sesuai dengan taqrir Rasulullah Saw.- yang diriwayatkan oleh Abu Daud- ketika beliau memberikan pertanyaan ke sahabat Mu`adz tentang tata cara memutuskan hukum sebelum pengutusannya ke Yaman.

Ketiga, tidak menjadikan faham para madzhab Islam sebagai suatu keputusan final yang undebateable, karena ijtihad para ulama tidak termasuk tasyri` melainkan hanya bayan li at-tasyri` dan dikarenakan referensi pada masa sekarang lebih lengkap dibandingkan dimasa mereka, seperti referensi dalam menentukan ke-shahih-an suatu hadits dan lain sebagainya. Sebagai contoh, imam Syâfi`I pernah berkata tentang Ashaĥ al-Ahâdits, "tidak ada yang lebih shahih dari kitab hadist kecuali kitab al-Muwatha (karangan Imam Malik)". Perkataan tersebut dapat dimaklumi karena pada zaman tersebut belum lahir kitab Shahih Bukhari dan Muslim yang mana kitab tersebut merupakan kitab hadits paling shahih dari kitab lainnya pada zaman sekarang. Ini menandakan bahwa referensi sekarang lebih lengkap daripada zaman dimana hidup para imam madhab.

Keempat, memperbolehkan ikhtilaf hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah dan jika ada kesamaan dalil yang tidak memungkinkan untuk disatukan, ditarjih atau dimansukh. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan Rasululloh- yang diriwayatkan oleh Bukhari- bahwa jika seseorang melakukan ijtihad kemudian benar maka pahalanya dua dan jika salah maka pahalanya hanya satu.

Kelima, tidak memandang hal-hal yang bersifat keduniaan- yang tidak ditentukan oleh al-Qur`an dan al-Sunnah- dan sifat basyariyah Rasulullah sebagai syari’at. Seperti Rasulullah suka memakai jubah dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan sabda nabi "antum a`lamu bi umûri dunyâkum".

Keenam, ijtihad Persis tentang suatu hukum bersifat debatable dan bukan merupakan keputusan final, siapapun berhak mengkritiknya jika ada dalil yang lebih kuat.

Demikianlah karakteristik Persis secara global selain karakteristik lainnya yang menjadikan Persis sebagai sebuah pergerakan yang mempunyai pemahaman tersendiri dan terbebas dari fanatik madzhab dan pengaruh semaraknya pemikiran- baik pemikiran liberal ataupun pemikiran literal-. Wallâhu A`lam bi al-Shawâb.

BUNDA MARIA versus MARYAM

(Studi Komparatif antara al-Qur'an dan Injil)

Ika Yunia Fauzia


Dalam Bidayah wa al-Nihayah disebutkan bahwa Maryam binti 'Imrân masih keturunan Daud ‘alaihi salâm. 'Imrân, ayahnya, adalah seorang yang berpengaruh pada Bani Isrâ'il pada waktu itu. Diceritakan seperti dalam Q.S. Ali ‘Imrân bahwa Istri ‘Imrân adalah seorang yang belum dikaruniai anak, sampailah pada suatu hari ia berdoa dan bernazar bahwa anak yang dikandungnya akan menjadi hamba yang akan berkhidmat di Baitul Maqdis. Setelah selesai masa penyusuan Maryam, ibunya menyerahkan pada Zakaria. Seorang nabi sekaligus suami saudara perempuan ibunya; untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Diriwayatkan oleh ahli tafsir, bahwa Maryam diberikan tempat khusus di dalam Baitul Maqdis (Mihrâb); yang tidak dimasuki seorangpun kecuali Zakariya. Di sana ia menghabiskan siang dan malamnya untuk beribadah kepada Allah, sampai tersiarlah kabar diantara Bani Isrâil akan kemuliaan Maryam. Kelebihan Maryam adalah setiap Zakariya memasuki mihrâb untuk menemui Maryam, maka ia selalu mendapati makanan disisinya yang diturunkan dari Allah. Menurut ahli tafsir, makanan itu seperti buah-buahan musim panas, yang ditemukan ketika musim dingin. Pun buah-buahan musim dingin yang ditemukan pada musim panas. (Abu al-Fidâ al-Hâfidz Ibnu Katsîr, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Dar al-Hadist-Kairo, 2002, Jild.1)

Para ahli teolog seperti Harnack dan Brunner bersepakat bahwa Teisme Rasional, Yudaisme, Kristen dan Islam adalah Unitarian. Banyak kisah-kisah atau riwayat dalam ajaran Islam dan Kristen yang memiliki kesamaan, walaupun tidak secara keseluruhan. Dr.Maurice Bucaille dalam bukunya La Bible, Le Coran et la Science, menyatakan bahwa Injil dan al-Qur'an memberikan kita riwayat yang sama mengenai asal-usul biologis Yesus (Isa). Yang terjadi melalui proses parthenogenese; membesarnya bayi dalam kandungan sang ibu di luar hukum alam manusia. Telur (ovum) dari ibunya tidak memerlukan bertemu dengan spermatozoa bapak untuk membentuk suatu embrio yang kemudian menjadi bayi. Penciptaan Isa sama halnya dengan penciptaan Adam; yang terlahir parthenogenese, tidak seperti lazimnya manusia yang lain.

Tertulis dalam Injil bagaimana Bunda Maria (Maryam) melahirkan Isa dalam keadaan tidak berbapak sehingga Isa diakui sebagai anak Tuhan. Cerita tentang Maria disebutkan dalam perjanjian baru (al-Ahdu al-Jadîd) yang termaktub dalam Markus:16, Lukas:1 (dua kali), Yohanes:20 (dua kali). Disebutkan dalam Lukas bagaimana Elisabet memberi selamat pada Maria karena telah mengandung anak Tuhan dan bagaimana Maria memuji Tuhan. Yohanes bercerita tentang penampakan Yesus (Isa) pada Maryam dan lain sebagainya. (The Bible Society of Egypt, Arabic New Van Dyck of Egypt, 2002,h.48,50,102,)

Sedangkan di dalam al-Qur'an hikayat Maryam tertera dalam surat Ali-‘Imrân:32,37,42,43,44,45, al-Nisâ: 156,157,171, al-Mâidah:17, Maryam: 16,27,34, al-Mukminûn:50, al-Tahrîm:12. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Maryam adalah seorang gadis suci, lalu Allah mengutus Jibril untuk memberinya anak laki-laki yang kita kenal dengan Nabi Isa. Dalam Injil, Maryam diceritakan kurang lebih tiga kali. Dan al-Qur'an lebih banyak lagi menceritakan kisah Maryam; terlebih sampai ada satu suratnya yang bernama surat Maryam. Disebutkan dalam al-Mu'jam al-Mufahras li al-Alfazh al-Qur'an al-Karîm sebanyak 34 kali ayat yang menyebutkan tentang Maryam; jumlah yang tidak sedikit. Sehingga tidak heran apabila seorang pastur asal Lumajang yang juga tokoh missionaris tertegun ketika membaca terjemahan al-Qur'an, menemukan bahwa Bunda Maria, Tuhannya lebih banyak di ceritakan dalam al-Qur'an dari pada Injil; diceritakan dengan sangat mulia.

Dalam Q.S.Maryam:17 beberapa orang mengartikan kata hanâ (roh kami) adalah Allah. Ditafsirkan bahwa sebenarnya al-Qur'an juga menyetujui bahwa Allah adalah Bapak Isa. Jelas anggapan ini tidak benar, karena al-Qur'an menyatakan berkali-kali bahwa Isa adalah anak Maryam (Îsa ibnu Maryam) dan bukan anak Allah. Arti hanâ (roh kami) yang sebenarnya adalah malaikat Jibril a.s, bukan Allah. Jadi sekali-kali al-Qur'an tidak pernah menggaris bawahi bahwa Isa adalah putra Allah. Di sini terlihat adanya perbedaan antara al-Qur'an dan Injil tentang status Maryam dan anaknya (Isa); dalam al-Qur'an Maryam adalah seorang perempuan yang suci dan Isa adalah seorang Nabi. Dalam Injil, Maria adalah Tuhan Ibu, dan Yesus (Isa) adalah Putra Allah. Walaupun sama-sama dikatakan dalam al-Qur'an dan Injil bahwa Maryam adalah seorang gadis yang mulia (suci).

Letak kesamaan al-Qur'an dan Injil dalam menceritakan Maryam adalah penceritaan Isa (Yesus) bersamanya. Hampir setiap kalimat dalam al-Qur'an yang menceritakan Maryam. Pasti akan disertai dengan Isa. Begitu juga dalam Injil, yang selalu menceritakan Maria bersamaan dengan Yesus. Wallahu A'lam.

MENELAAH DIALOG INTERAKTIF ANTAR AGAMA

Upaya Menuju Transformasi Nilai-nilai

AA. Arsyul Munir, Lc.

Gaung modernitas yang pada aktualnya sering diidentikkan dengan pencapaian kemajuan teknologi mutakhir, yang memprasyaratkan akal-ilmiah sebagai satu-satunya piranti kontemporer yang paling rasional ternyata, tak bisa terlepas dari proposisi-proposisi monologis yang sepenuhnya —setidaknya, bagi penulis— berbau mitos. Jika kita menyepakati bahwa suatu mitos adalah, sebuah keyakinan-radikal (artinya ialah sesuatu yang mengakar ke dalam) yang diakui keabsahannya secara "begitu saja," maka proposisi bahwa "perolehan modernitas tanpa menentukan posisi identitas Aku, Kamu, Kita, atau Mereka akan berujung pada suatu kegagalan tragis yang sia-sia," adalah tak ayal lagi merupakan sebuah mitos (!) —meskipun adakalanya, mitos sesuatu terkadang memiliki nilai kebenaran juga, semisal "mitos" tentang suatu realitas suci yang transenden.

Pengalaman dunia empiris, membuktikan hal tersebut. Ini terlihat dari bagaimana peta pemikiran kontemporer saat ini semakin diwarnai oleh segregasi afirmatif yang menekankan urgensi identitas yang khas, yang disadari atau tidak, sebenarnya lebih bersifat anti-pluralis daripada demokratis. Pertanyaan-pertanyaan "siapakah Mereka?" menjadi begitu penting dideskripsikan untuk mendefenisikan pernyataan "siapakah Aku?" sehingga bagian dari "mereka" adalah musuh bersama (a common enemy) bagi keseluruhan "aku." Terminologi "kita" tak lagi mengimplikasikan suatu sistem kebersamaan jagat-raya yang utuh, tetapi semata hanyalah akumulasi kepentingan "bersama" yang seringkali ambigu.

Sayangnya, beberapa gelintir pemikir, khususnya yang berlabelkan Barat, dalam hal ini malah menjadikan mitos tersebut sebagai pola pikir paradoksal yang paradigmatik. Sehingga, pluralitas peradaban manusia yang semestinya dipandang "sebagaimana adanya," acapkali ditafsirkan sebagai sesuatu yang pada dasarnya saling kontradiktif. Alih-alih dapat menciptakan sebuah tatanan dunia global yang mutual-komplementer, malah mengharuskan adanya benturan antar peradaban (the clash of civilization). Paling tidak, teori ini dipopulerkan oleh dua pemikir kapitalis yaitu; Francais Fukuyama dan Samuel P. Huntington. Ringkasnya, mitos yang diyakini benar oleh para Huntingtonian tersebut mengatakan bahwa Islam sebagai salahsatu entitas agama yang berperadaban luhur sangat potensial untuk dapat menghegemoni dunia dan karenanya, harus dilihat sebagai sosok monster "haus darah" yang mengerikan. Tentu saja, ini adalah phobia politis yang terlalu dilebih-lebihkan. Namun untuk memahaminya, kita hanya perlu menilik sejarah diskursus Barat vis a vis Timur (baca; Islam) yang menyisakan syndrome trauma yang akut semenjak tragedi crusade antara Islam versus Kristen yang berkepanjangan —perhatikan pula, bagaimana mitos ini bekerja secara begitu efektif pada kebijakan politik AS-Eropa masa kini terhadap beberapa negara "muslim" semisal Afghanistan, Irak, negara-negara Balkan dan sebentar lagi Iran, Suriah, Lebanon, lalu Mesir, Sudan, kemudian menyusul; Arab Saudi, negara-negara petro-dolar Teluk dan negara-negara "muslim" Asia (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, Bangladesh).

Dengan demikian, sosialisasi gagasan dialog antar agama yang lagi semarak itu tak lain merupakan antitesa reaktif dari kondisi pergumuluan antar peradaban yang intens. Sementara peradaban dunia yang ada saat ini hampir merupakan —untuk tidak mengatakan seluruhnya—nilai produk dari suatu rahim agama [setidaknya, walaupun hipotesa tersebut sangat bias kepentingan (vested interest) dan karenanya menjadi sangat subjektif, namun tetap mengandung realitas objektif yang mapan (!)] maka, finalitas sebuah dialog akan menemukan relevansinya pada penjabaran "dokumen" esensial dari rahim agama itu sendiri.

Terminologi dialog berarti mengisyaratkan intensifikasi pengupayaan diri (al-Anâ) untuk mengenal dan memahami eksistensi the other ("al-Akhar") secara lebih objektif, atau sebaliknya. Hal ini dimungkinkan sebab adanya desakan berkehidupan demokratis secara plural. Sehingga masing-masing (agama) diharapkan mampu untuk menerima kehadiran (peradaban) "yang lain" dengan paradigma yang lebih santun dan toleran.

Gagasan-gagasan Dr. Milad Hana, pemikir Kristen Koptik asal Mesir, dalam karyanya Qabûl al-Akhar, paling tidak telah mendukung sepenuhnya wacana ini. Namun tentu saja, dialog yang kapabel harus memenuhi —setidaknya, menurut hemat penulis—dua kriteria yang menentukannya sebagai sebuah dialog yang proporsional. Instrument pertama adalah bahwa sebuah dialog dikatakan berperan efektif hanya jika tak menyentuh keabsahan "mitos" transendental masing-masing agama yang mendasari keyakinan doktrinal-teologisnya. [jika menggugat, maka peristilahan yang tepat untuk dialog seperti itu adalah debat (!)]. Bagian sensitif tersebut merupakan wilayah suci yang dikeramatkan (sacred). Sebab semakin seseorang terbuka (terhadap wacana-wacana politis yang non-dogmatik) maka semakin ia "tertutup," maka berusaha mempertanyakan tataran ini pada forum dialog agama-agama dunia adalah absurd.

Instrument kedua, keniscayaan wujudnya pengakuan kesetaraan yang mutlak bagi eksistensi the other. Jika ruh yang mendasari dialog ini hilang, maka pada aktualnya akan segera digantikan oleh semangat propaganda egosentrisme yang seringkali berkarakter fasistik, semisal semangat etnosentrisme Eropa yang melahirkan lingkaran sejarah imperialisme-kolonialisme yang biadab [ingat slogan tertingginya adalah 3 G; Gold, Gospel, and Glory (!)], atau kristus-sentrisme Nasrani yang barbarian [ingat sejarah crusade Islam-Kristen; bagaimana terjadinya peristiwa etnis cleansing di Granada Spanyol terhadap anak-anak muslim dan yahudi (!)] atau boleh jadi islamic-sentrisme Islam dan "ego-ego" lain dengan isme-isme yang baru pula. Karenanya, efektifitas dialog pada kondisi demikian akan berubah menjadi mandul, sangat dilematis bahkan sia-sia.

Untuk menghindari kekeruhan suasana deadlocked yang mematikan seperti itu, maka harus ada kekuatan dinamis-pro-aktif yang mampu mencairkan relasi harmoni dialogis dari potensi ancaman ketegangan ideologik yang tajam. Setidaknya, daya potensial tersebut masih (untung) dimiliki bersama oleh seluruh agama di dunia. Adalah sistem moral yang —barangkali—akan mampu mengusung fungsi dinamisme sebuah dialog ke arah yang lebih elegan.

Karya filsuf Kant, terutama tentang sistem hukum moralnya yang canggih, juga prinsip Etika Globalnya Hans Kuhn yang bombastis itu lain mendapatkan anggukan intelektual demi membantu mengembangkan sistem hukum moral agama-agama (termasuk Islam), agar tercipta sebuah poros dialog interaktif-produktif. Jadi, matlamat tertinggi dari sebuah dialog antar agama adalah mentransformasikan nilai-nilai etika tasâmuh dengan segala maknanya, sehingga masing-masing agama dapat —dengan sendirinya—menjadi home culture (rumah kebudayaan) yang menjamin eksistensi kesatuan dalam keragaman berperadaban. Bukannya malah mereduksi agama-agama yang ada ke dalam suatu euphoria unifikasi utopis, menjadi semacam "agama pluralisme" —semisal JiL, Jaringan Islam Emansipatoris, atau jaringan-jaringan Liberal-Ekstrem lainnya—yang samasekali unhistoris (!) Wallâhu A’lam.


Dari Islam Modernis Menuju Islam Moderat

Oleh: Arif Munandar Riswanto


Muktamar ke-13 Persatuan Islam (PERSIS) telah selesai. Ajang puncak musyawarah organisasi tersebut harus menjadi tempat muhasabah kolektif dalam me-review segala bentuk pergerakan yang telah dilakukan oleh organisasi selama lima tahun ke belakang. Meskipun tidak sebesar NU dan Muhammadiyah, nama PERSIS tidak bisa dilupakan begitu saja dalam jagat "mazhab Islam Indonesia". Setidaknya, dalam masa awal pra-kemerdekaan, PERSIS pernah mewarnai khazanah intelektual Islam Indonesia. Ahmad Hassan, Mohammad Natsir, dan Isa Anshari adalah nama-nama klasik yang telah memberikan nafas baru bagi kehidupan beragama umat Islam Indonesia. Tidak bisa dipungkiri lagi, mereka telah memberikan perubahan dan pembaruan bagi praktik-praktik keberagamaan yang penuh takhayul, bidah, khurafat, kasta kyai, fanatisme mazhab, tertutupnya pintu ijtihad, dan taklid.

Memang benar bahwa pada saat sekarang PERSIS sedang "tidur pulas". Pada millenium ke-3 ini umat Islam Indonesia jarang disuguhi produk-produk pemikiran (baca: fiqih) PERSIS yang segar dan baru. Kalaupun disuguhi, produk-produk fiqih tersebut terkesan hanya berpusat pada fiqih ibadah an sich. Hal ini belum ditambah dengan keadaan PERSIS yang "mengisolasi" diri dari pergaulan global. Namun, "tidur pulas" tersebut ternyata membawa keuntungan yang besar sekali kepada PERSIS, yaitu, PERSIS menjadi satu-satunya ormas Islam yang belum terkena liberalisasi!

Berbeda dengan NU dan Muhammadiyah, arus liberalisasi telah menggerogoti dua ormas Islam terbesar tersebut dengan sangat kuat, terutama terhadap generasi-generasi mudanya. Atas nama pembaruan, HAM, kontekstualisasi, kemaslahatan, kesetaraan gender, kebebasan berekspresi, pembacaan baru atas teks, dll. mereka sering melakukan dekonstruksi terhadap agama. Padahal, di antara "mazhab Islam Indonesia" itu ada yang hidup dalam iklim keberagamaan yang super tradisionalis—taklid, kasta agamawan, rigid, fanatisme mazhab, takhayul, bidah, khurafat.

Selain mengurus hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, liberalisme Islam harus menjadi salah satu tema krusial perjuangan PERSIS ke depan. Karena terbukti, NU dan Muhammadiyah pun mengalami tarik-ulur internal yang kuat untuk menghadapi hermeneutik sekular dan gerakan ini. Hal ini dilakukan tiada lain untuk membangunkan tidur pulas PERSIS. Karena, sesuai dengan perubahan konteks, ada banyak agenda jihad, ijtihad, dan mujahadah baru yang harus dilakukan oleh PERSIS di saat sekarang. Termasuk agenda radikalisme hermeneutik liberal-sekular Barat yang hendak diterapkan kepada agama Islam oleh cendekiawan-cendekiawan Muslim liberal.

Tidak adanya liberalisasi di PERSIS akan menuntut PERSIS—terutama generasi mudanya—untuk menghadirkan wacana Islam yang moderat (wasathiyyah). Jauh dari sikap liberal-sekular yang desktruktif dan manipulatif, serta jauh dari sikap jumud yang rigid dan tidak mengikuti perkembangan konteks yang terus berubah. Sikap moderat inilah yang akan menuntut PERSIS bersikap adil dan proporsional dalam menghadapi teks-konteks, teks-maslahat, inklusifisme-ekslusifisme, akal-naql, agama-negara, privat-publik, tradisi-kemodernan, turats-tajdid, jihad-toleransi, simbol-substansi, ats-tsawwabit-al-mutaghayyirat, hak-kewajiban, masyarakat mayoritas-masyarakat minoritas, universal-lokal, muhkamat-mutasyabihat, dll.

Dalam sikap moderat, selamanya dualisme kutub di atas tidak akan bertentangan satu dengan yang lain. Karena, Islam memandang bahwa dualisme tersebut adalah pasangan, bukan lawan (clash) dan hal yang perlu disamaratakan (syncretism). Dualisme tidak perlu dimusuhi, tetapi harus disinergikan. Karena, ia adalah dua hal sinergitas yang komplementer. Ini persis seperti sistem tata surya yang berjalan di atas porosnya masing-masing. Agar hidup ini berjalan di atas fitrah dan keseimbangan. Dengan kata lain, agar hidup ini berjalan di atas nilai-nilai Islam (QS 2: 143, 11: 112-113).

Penyinergian dualisme tersebut tiada lain adalah bias dari sifat moderat agama Islam. Ini berarti bahwa Islam adalah agama yang selalu berjalan di tengah. Memberikan kepada suatu hal dengan kadar yang adil dan jauh dari sikap berlebihan. Baik dalam bentuk terlalu membanyakan (ifrat) ataupun menyedikitkan (tafrith).

Di sinilah kita akan melihat relevansi ketika Islam tidak menerima sikap keberagamaan yang ekstrem (al-ghulluw). Karena, ekstremisme hanya memberikan kadar kepada suatu hal seraya menelantarkan hal lainnya. Bahkan, secara tegas, Nabi mewanti-wanti bahwa ekstremisme adalah salah satu faktor dari sekian faktor kebinasaan umat-umat terdahulu (QS 4: 171, 5: 77, HR An-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad). Pada zaman sekarang, ekstremisme tersebut hadir dalam wajah ektremisme liberal-sekular dan ekstremisme fundamentalisme. Ekstremisme yang terlalu kontekstualis (akal) dan tidak mau diikat oleh teks (naql), serta ekstremisme tekstualis dan tidak tahu dengan perkembangan konteks. Jauh-jauh sebelum itu, sarjana-sarjana

Muslim seperti Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Rusyd telah menegaskan bahwa akal dan naql tidak akan paradoks satu dengan yang lain.

Moderat inilah yang menjadi imunisasi PERSIS sehingga anak-anak mudanya tidak terkena epidemi liberalisasi. Dalam berfiqih misalnya, PERSIS memiliki beberapa paradigma moderat antara lain: bebas dari mazhab (la madzhabiyyah), moderat (al-wasathiyyah), sinergitas tradisi dan kemodernan (al-ashalah wa al-mu'ashirah), mudah (taysir), dan realistis (al-waqi'i).

Islam Moderat: Kembali ke Asli

Islam moderat bukanlah "Islam baru" seperti Islam liberal yang ingin membuat syariat baru—bidah. Namun, Islam moderat adalah Islam asli. Ia adalah usaha untuk mengembalikan umat Islam kepada Islam original sesuai dengan tuntunan Nabi. Islam moderat sesuai dengan adigium "kembali kepada Quran-Sunnah" yang menjadi kredo perjuangan PERSIS dan ormas-ormas Islam modernis lainnya. Secara substansi, keduanya sama, yang membedakan hanya perubahan konteks saja.

Moderat berarti istiqamah. Panceg di tengah dengan tanpa berpihak kepada salah satu hal seraya mengorbankan hal yang lain. Moderat adalah pesan yang termaktub di dalam surat Al-Fatihah dan sering dibaca oleh umat Islam sebanyak tujuh belas kali dalam sehari. Atau, di dalam surat Hud ayat 112 dan 113, moderat adalah anitetesis bagi sikap melampaui batas (thaghau). Ia menjadi jalan istiqamah yang ditempuh oleh orang-orang yang bertobat.

Jalan yang menjadi antitesis bagi jalan yang ditempuh oleh orang-orang zalim, yaitu, jalan yang tidak akan mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah. Karena, zalim tiada lain adalah melampaui batas itu sendiri.

Moderat dalam Islam bisa dilihat dari sikap tengah Islam terhadap ajarannya yang berupa akidah, ibadah, akhlak, ruhani-materi, hukum, dan privat-publik. Moderat di dalam Islam sangat cocok untuk agama abadi seperti Islam. Moderat di dalam Islam berarti adil, istiqamah, bukti kebaikan, personifikasi keamanan, bukti kekuatan, dan pusat persatuan (Kairo: 2003). Dalam berbagai teks, Allah dan Nabi sering memuji orang-orang yang bersikap moderat. Pepatah Arab mengatakan "Aku tidak melihat hal yang melampaui batas, kecuali selalu ada hak yang hilang."

Kehadiran nilai-nilai moderat Islam tiada lain untuk melakukan kontekstualisi nilai-nilai Islam terhadap sosio-kultural yang terus berubah. Ia sama dengan kaidah universal "fatwa bisa berubah seiring perubahan waktu, tempat, dan adat budaya" yang dibuat oleh sarjana-sarjana Muslim klasik. Serta, sesuai juga dengan paradigma fiqih PERSIS yang sarat dengan nilai-nilai moderat Islam.

Jika dulu PERSIS memusatkan perjuangannya untuk menyinergikan nilai-nilai modernisme yang dibawa oleh Belanda dengan agama Islam, saya rasa di paruh millenium ketiga ini perjuangan tersebut harus dipusatkan terhadap nilai-nilai moderat Islam. Ini dilakukan tiada lain untuk menghadapi perubahan kontekstualisasi. Terutama untuk menghadapi gerakan liberalisme dan fundamentalisme Islam yang semakin masif. Wallahu a`lam bish-shawab.

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com