08 October 2006

Nalar Femenisme dan Westernisasi di Dunia Timur

Oleh : Yuli Yasin Thayyib

Dalam sebuah artikel yang dimuat di al-Ahram Weekly, penulis pernah mendapatkan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada masyarakat Muslim, mengapa harus bersikap apriori terhadap sesuatu yang berlabel Barat? Jawabannya dengan jelas diabadikan dalam al-Qur'an (2:120), bahwasanya, bangsa Yahudi dan Nashrani tidak akan tinggal diam sampai kalian (umat Islam) mengikuti keyakinan mereka. Atas dasar ayat ini, sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa produk Barat yang diimpor ke Timur memiliki tendensi untuk menghancurkan Islam. Tapi tidak sedikit masyarakat Muslim yang menjadikan Barat sebagai kiblat peradaban dan modernitas. Sebut saja Turki yang mati-matian menghapus nuansa Islam dari negaranya karena ingin diakui eksistensinya di dunia Barat. Dimulai dari pelarangan menggunakan jilbab sampai merubah undang-undang yang tidak sesuai dengan aturan main Barat.

Salah satu produk Barat yang mendapat sambutan hangat di dunia Timur adalah gerakan feminisme. Gerakan ini pertama kali muncul di Prancis tahun 1880 –kemudian diikuti Inggris dan Amerika Serikat pada awal dekade abad 20. Pada awal kemunculannya, gerakan ini menuntut persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, agar perempuan tidak lagi dianggap golongan kelas dua. Tentu saja apa yang diserukan oleh mereka tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan ajarannya yang mengakui persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan hanya kwalitas taqwalah yang membedakan mereka (QS. 49:13).

Karena dominasi Islam di dunia Timur, maka yang diserukan oleh para feministnya adalah bagaimana penguasa mau mengaplikasikan ajaran Islam yang memang sudah mendudukkan perempuan dan laki-laki dalam posisi yang sama. Maka mulailah para feminist di Timur membela hak-hak perempuan yang tertindas dan termarginalkan. Para feminist mengajak untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Quran yang bias gender. Sampai di sini menurut hemat penulis gerakan feminisme masih ada dalam kebenaran. Tapi sayangnya, ketika mereka melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat al Quran, mereka tidak lagi mengacuhkan klasifikasi antara tsawâbit dan mutaghayyirât. Maka muncullah diskusi dan silang pendapat antara para ulama Muslim dalam masalah yang sebenarnya bukan medan ijtihad, validitas saham perempuan yang hanya setengah saham laki-laki dalam warisan dipertanyakan (?) Demikian halnya dengan poligami. Dua contoh masalah ini dianggap oleh kaum feminist sebagai bukti dominasi laki-laki dalam interpretasi teks agama. Mereka beralasan bahwa pemberian saham perempuan hanya setengah saham laki-laki sudah tidak cocok lagi dengan tuntutan hidup sekarang. Alasan pemberian saham laki-laki dua kali lipat saham perempuan karena laki-laki berkewajiban menafkahi keluarga sudah tidak relevan lagi di zaman di mana perempuan bekerja bersama laki-laki untuk menafkahi keluarga. Apalagi kalau kita meruntut secara historis kondisi perempuan ketika ayat mirâts diturunkan, hanya sebagai komiditi yang diwariskan, lain sekali dengan kondisi perempuan saat ini.

Usaha para feminist untuk menyeragamkan saham laki-laki dan perempuan dalam mirâts difahami oleh sebagian ulama Muslim sebagai kendaraan yang ditunggangi Barat dalam menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam. Lihat saja konsekwensi dari alasan yang diutarakan sudah tidak terbatas lagi kepada masalah warisan tetapi sekaligus menyentuh kewajiban nafkah yang dibebankan al Qur'an di pundak suami (QS. 65:7). Secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa bukan hanya laki-laki saja yang mampu mencari nafkah, sekarang perempuan pun mampu. Oleh karenanya, dalam pandangan mereka pemberian nafkah suami terhadap istri merupakan salah satu usaha mendiskriditkan wanita (?)

Demikian halnya dengan poligami. Para Feminist beranggapan poligami hanyalah salah satu cara penindasan laki-laki terhadap perempuan. Maka mulailah mereka menyerukan tuntutan untuk mengharamkan poligami. Usaha mereka membuahkan hasil, beberapa negara Muslim mengharamkan poligami dalam undang-undang nya. Dari sini kita dapat melihat bagaimana para feminist tidak memandang sebuah permasalahan secara integral. Dengan tidak menutup mata atas adanya pelaksanaan poligami yang tidak Islami (poligami dalam Islam memiliki syarat-syarat tertentu, tidak semua Muslim boleh poligami. Jika syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan maka mengakibatkan munculnya poligami yang sekarang digugat oleh para feminist), kita juga tidak bisa memungkiri dalam banyak kasus –pemerannya perempuan juga- poligami bisa dijadikan solusi. Artinya trauma satu dua orang perempuan terhadap pelaksanaan poligami yang tidak Islami tidak dapat dijadikan dasar pengharaman poligami yang bisa menjadi solusi bagi banyak perempuan. Ironisnya, belum lama ini, Turki berniat untuk mengundang-undangkan kriminalitas zina. Telah maklum dalam kasus perzinahan yang menjadi korban adalah perempuan. Tapi herannya yang pertama menentang niat pemerintah Turki untuk mengundangkan kriminalitas zina adalah kaum perempuan? Mereka berteriak bahwa pemerintah tidak berhak untuk ikut campur dalam hal hal yang merupakan urusan personal. Mungkin perempuan di Turki takut, dengan adanya undang-undang yang menyatakan zinah adalah kejahatan yang harus diganjar dengan hukuman, akan kehilangan mata pencaharian. (Na'ûdzubillâh!). Artinya, di mata perempuan Islam (dalam hal ini di Turki) zinah lebih baik daripada poligami (?)

Kaitannya dengan Indonesia, belum lama ini telah muncul draft KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang disusun oleh para Feminist Indonesia yang isinya jauh sekali dari ajaran Islam. Seperti pemberian mahar dan nafkah yang bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan sesuai kesepakatan, penghalalan nikah mut'ah, pembolehan nikah tanpa wali. Semua ini –menurut mereka- dalam rangka mendudukkan perempuan dan laki-laki Indonesia dalam posisi egaliter. Hanya saja usaha mereka terjegal oleh keberanian Mentri Agama baru untuk mempeti-eskan draft tersebut.

Dari deskripsi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Barat dengan isu feminismenya telah demikian berhasil mencuci otak kaum perempuan –Muslimah-. Mereka sudah tidak bisa membedakan mana yang membawa maslahat dan mudharat, yang mereka lakukan hanya mengamini apa yang dikatakan Barat. Di akhir tulisan ini, penulis ingin mengingatkan, bahwa Islam adalah agama yang paripurna, hal ini dijamin oleh Sang Pemilik bumi dan langit. Jadi yakinlah bahwa Islam bari' dari segala bentuk penindasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat Muslim. Akhirnya sebagai kelompok yang bertafaqquh fi al-dîn kita berkewajiban untuk mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Wallâhul Musta'ân

06 October 2006

Refleksi sejarah wanita masa Kerasulan*


Oleh: Ai Sulastri

Diskursus tentang wanita selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan karena dia merupakan separuh dari jiwa masyarakat (nisfu al-mujtama') yang bahkan secara kuantitatif lebih banyak dari laki-laki. Namun sepertinya jarang sekali kita mengangkat tema tentang peranannya dengan perubahan sosial yang ada sehingga tema dalam tulisan ini diharapkan mampu menjawab beberapa pertanyaan yang lahir dari keragu-raguan akan eksistensinya sebagai anggota masyarakat.

Ada beberpa hal yang menjadi penyebab keraguan seperti ini, diantaranya lembaran sejarah yang kelam tentang wanita pada umat-umat terdahulu sebelum Islam datang. Meskipun kita tidak menafikan kalau pada masa itu tercatat beberapa kisah yang menggambarkan keterlibatan wanita dalam bermasyarakat, seperti Ratu Bilqis, yang kisahnya diabadikan dalam AlQur'an, namun untuk sekedar menutupi sejarah suram yang begitu panjang tentang dunia perempuan tidak akan mampu merubah pandangan masyarakat tentang ketidakberdayaan perempuan yang digambarkan pada masa itu, yang tidak jauh bedanya dengan barang dagangan, hina dsb. Demikian pula dengan keterkekangan wanita pada masa kemunduran umat Islam, yang pada masa itu dimana agama dirasa sangat membatasi ruang aktifitas wanita yang mungkin hanya berkisar sumur, dapur dan kasur yang tak lain merupakan natijah dari interpretasi terhadap agama yang sempit (taqyied al-Fuqahaa) sebagai manifestasi dari kondisi pemikiran masyarakat pada waktu itu, seperti ditutupnya pintu ijtihad, berkembangnya berbagai aliran madzhab, sempitnya methodology pendidikan yang hanya terpaku dengan methode salafy. (al-Kailany,1983:234) Maka dari sini timbullah sebuah pertanyaan apakah wanita turut andil dalam perubahan social (yang positif) yang terjadi dengan latar belakang perempuan yang serba terbatas itu?.

Untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan wanita dalam perubahan social yang ada, kita tidak bisa terlepas dengan sejarah wanita itu sendiri. Tentang sejarah wanita ini Yusuf Qardhawy membaginya menjadi dua bagian,: sejarah jauh (ams al-ba'ied), yaitub sejarah pada masa kejayaan umat Islam dan sejarah dekat (ams al-qarieb), yaitu sejarah pada masa kemunduran umat Islam. (AMR:2004) Perubahan Sosial (at-Taghyier al-Ijtimaai') adalah sebuah perubahan yang terjadi dalam infrastruktur social atau perubahan kelas social atau perubahan peran kelompok social tertentu seperti kaum wanita atau kaum minoritas. (Hibah Ra'uf 'Izzat, 2003:237).

Sementara Abd. Shabbur Marzuq menyebutkan bahwa para ulama dan pemikir Muslim Arab mengartikannya dengan Kebangkitan (an-Nahdhah), atau kemajuan (at-Taqaddum). (kairo, 2003 : 399).

Dengan demikian, karena wanita adalah separuh dari komponen masyarakat seperti halnya laki-laki, maka keberadaannya tidak bisa diabaikan atau dipisahkan satu sama lain juga keduanya tidak dilebihkan atas yang lain akan tetapi masin-masing memiliki perannya sendiri-sendiri sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing.

Keluarga sebagai institusi terkecil dalam suatu Masyarakat memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap proses perubahn social termasuk peran wanita didalamnya.

Keluarga dalam Perspektif Islam berperan sebagai link masyarakat muslim yang mengikat individu dengan kelompok, sebagai penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya sebagai penghubung dari beberapa tipe kelompok yang berbeda.

Wanita yang merupakan bagian dari suatu keluarga mewmiliki peranan yang sangat vital, baik sebagai isteri maupun sebagai ibu dalam melahirkan sebuah generasi, karena keberadaannya bersama anggota keluarga yang lainnya (anak) lebih dominant dari pada suami, dia adalah penanggung jawab dalam urusan anak dan rumah suaminya. Hafidz Ibrahim mengatakan:
Al ummu madrasah idza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal I'raaq
Ibu sebagai sumber informasi (madrasah) pertama dari suatu generasi membutuhkan persiapan yang memadai, disamping kesiapan alami yang dimilikinya dalam mendidik anak semenjak dalam rahiemnya sehingga punya keekatan sendiri secara otomatis saat dan sesudah kelahirannya.

Namun naluri keibuannya saja tidak cukup sebagai bekal untuk mengemban tugas mulianya sebagai seorang ibu, akan tetapi kesiapan intelektual juga moral disamping kesiapan yang bersifat lahiriah serta sumber dari segala kesiapan itu bermuara pada sejauh mana hubungan vertical dia sebagai Hamba dengan Tuhannya Qs.2: 197. Dengan bekalan seperti ini diharapkan mampu mencetak generasi Rabbani yang tangguh.

Ada satu hal yang perlu dicatat mengingat perananya yang sangat dominant ini, sehingga ada sebagian pihak yang ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pada keluarganya (anaknya), pihak tertuduh prtama adalah wanita, padahal kalu kita perhatikan bagaimana Rasulullah saw menjelaskan tentang peranan orang tua dengan lafadz Abawaahu (menunjukan kedua belah pihak) yang berperan dalam menjadikan tipe anaknya, seorang yahudikah, nasranikah, atau majusi?. Demikian dalm syair diatas dikatakan bahwa keberhasilan peran ibu itu tergantung pada sejauh mana kita mempersiapkan sosk ibu itu.

Keluarga sebagai elemen asasi dalam masyarakat merupakan titik tolak bagi seorang wanita dalam mengemban tugas mulianya sebagai anggota Masyarakat, ketika dia mampu menjalani peran domestic dalam keluarga dengan baik maka dia tidak akan mengabaikan peranannya dalam masyarakat bersama-sama dengan laki-laki dalam mengemban misi manusiawinya sebagai khalifah Allah dibumi. Meskipun dalam peranannya di masyarakat ini ada sebagian yang berpedapat bahwa tempat terbaik wanita adalah di rumahnya (Qs.33:33), kiranya hal ini bisa terjawab dengan realitas sejarah pada masa kenabian yang terdapat dalam Alquran dan Hadits bahwa hampir di semua aspek kehidupan wanita mempunyai peran dalam massyarakat, baik aspek politik, ekonomi, social, budaya dsb.

Siti Khadijah sosok saudagar, Aisyah sosok alim dan raawiyah, Zainab penderma dari hasil usahanya sendiri, Ummu Salamah dalam memberikan solusi kepada Rasullah ketika peristiwa Hudaibiyyah, juga keikutsertaan wanita dalam hijrah dan berperang sebagai juru rawat dan masih banyak lagi peran-peran yang lainnya yang mengindikasikan keikut sertaan wanita dalam berbagai lini kehidupan yang semuanya hanya terdapat pada masa kejayaan umat Islam ('Ahdir Risaalah).

Penyadaran akan Eksistensi wanita akan tugas mulianya ini lebih menjadikannya sebagai seorang wanita yang berkepribadian Islamy. Akan tetapi dia tidak mampu berjalan sendiri, karena permasalahan wanit atidak cukup dimengerti oleh wanita saja melainkan oleh semua pihak yang berinteraksi dengannya sehingga tugas sebagai Khalifah Allah di bumi ini bisa tertunaikan. Wallaahu "alam bishshawwab.

05 October 2006

Redefinisi Fiqih;

Catatan Pribadi tentang warna Fikih Kita

Oleh: Yadi Saeful Hidayat

Seperti tak pernah selesai, ide untuk menggagas fiqih baru seolah menjadi semangat beragama para pemikir muslim saat ini. Dalam beberapa hari terakhir, berbagai konsepsi menyangkut ruang lingkup pembahasan fiqih selalu menjadi wacana yang terus-menerus dipenuhi oleh aksi perdebatan dan lintas pemikiran yang cukup alot. Semua ini terkesan ingin menunjukkan bahwa fiqih memerlukan sebuah inovasi baru, metodologi baru dan wajah yang baru pula. Term fiqih yang selama ini hanya bersifat partisan, tidak elektik, dan terkesan kaku sudah saatnya diganti dengan format yang lebih modern, prosperous, adil dan aman dalam kehidupan yang plural di tengah-tengah era globalisasi. Bukan karena memiliki penyakit latah, tapi hemat penulis, saat ini fiqih memang memerlukan usaha pembaruan dari para pewarisnya. Kita tidak ingin menjadikan karya fiqih ulama terdahulu sebagai "doktrin" dan bahkan juga "dogma" agama.

Namun begitu, kita harus tetap mengakui karya mereka sebagai karya yang luar biasa pada zamannya, sehingga wajar jika saat ini kita memberikan apresiasi atas jerih payah mereka. Hanya mungkin, kondisi semacam ini jangan lantas melahirkan kebekuan pada sikap beragama kita. Penulis sering bertanya, kenapa dewasa ini fiqih sering mengalami stagnasi dalam aplikasinya? Menurut penulis, penyebab utamanya adalah pemahaman mengenai fiqih yang membelenggu diri. Faktor seperti ini akan menyulitkan munculnya terobosan untuk mampu menyentuh penyelesaian permasalahan yang aktual dan muncul ke permukaan. Hal inilah yang menuntut perlunya melakukan redefinisi berfiqih Redefinisi itu perlu bukan saja bagi mereka yang menjadi pengamal fiqih klasik, namun juga bagi mereka yang mengritik praktik fiqih klasik.

Adalah seorang Jamal al-Banna, adik kandung pemimpin Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna, mencoba menawarkan konsep tentang fiqih yang lebih egalitarianistik. Beberapa gagasan dan pemikirannya ia kemas menjadi sebuah buku kontroversial yang diberi judul "Nahwa Fiqh Jadid". Dalam pengantarnya, ia mengatakan, "bahwa fiqh dengan format yang sama sekali baru merupakan sebuah keniscayaan. Ini tidak cukup hanya dengan insiatif ijtihad saja, tanpa sekaligus menggagas metodologinya dengan paradigma baru, apalagi sampai berhenti hanya pada tataran tajdid al-fiqh atau tathwir saja".

Jika melihat pembacaannya, terkesan seperti ada ketidakpuasan pribadi atas fiqih klasik yang lebih bersifat partikular dan kaku. Karena itu, nampaknya, gagasan Jamal untuk menggulirkan fiqih baru lebih didasari pembacaannya atas fenomena sosial yang sedang terjadi dewasa ini. Tentunya, hal ini tak lepas dari arus modernisasi di mana sikap masyarakat Islam sendiri dalam menghadapi hal ini terkesan ragu-ragu. Di tengah kondisi dunia yang serba mewah; sosial, ekonomi, politik maupun budaya, masyarakat Islam justru semakin tepuruk pada jurang kebekuan. Pada situasi seperti inilah, Jamal melihat, masyarakat Islam perlu menentukan sikapnya dalam menghadapi arus modernisasi; antara menerima hal itu dengan terbuka tanpa harus menghilangkan identitas kemuslimannya, atau justru menolak mentah-mentah dan tetap memegang warisan nenek moyang sekalipun harus jatuh ke dalam lembah kejumudan.

Sekali lagi, kita harus tetap memberikan apresiasi atas karya-karya fiqih ulama terdahulu, karena itu merupakan bagian dari khazanah Islam. Akan tetapi, bukan berarti kita sama sekali tidak memiliki otoritas untuk mengotak-atik kumpulan karya mereka, apalagi seiring dengan berputarnya waktu, situasi dan kondisi sebagai konsekuensi logis perkembangan dunia lima abad terakhir ini, menuntut kita untuk sama-sama menentukan pilihan; tetap mempertahankan wajah fiqih klasik yang semakin tidak dinamis, atau mencoba melakukan upaya persenyewaan dengan realitas kehidupan yang semakin menantang dan menggelembung (?)

Dalam satu hal, penulis sependapat dengan pendapat Jamal, ketika ia mengatakan, bahwa tuntutan untuk menggagas fiqih baru bukan merupakan hal yang luar biasa. Justru sebaliknya, adalah luar biasa ketika kita tetap bersikukuh berpijak pada fiqih klasik yang seolah-olah dianggap sebagai karya maha langit, suci, tanpa cacat dan seterusnya. Namun pada sisi lain, ketika fiqih itu sendiri terlalu dimodifikasi, diotak-atik tanpa batas, sehingga warna yang muncul terkesan serampangan, maka saya kurang sependapat. Sebut saja, fiqih lintas agama yang sekarang sering didengung-dengungkan oleh kelompok Islam Liberal. Karena itu, hemat penulis, sekalipun saat ini dibutuhkan metodologi hukum yang benar-benar bisa mempertemukan fiqih dengan realitas yang ada, tetapi pada prakteknya jangan sampai asal hantam. Kita memang niscaya untuk melakukan pembaruan terhadap ruang lingkup fiqih, tetapi harus tetap memperhatikan bagian mana saja yang memerlukan pembaruan (mutaghayyirât), karena tidak seluruh persoalan fiqih perlu ditata ulang, masih ada bahkan banyak ruang fiqih yang masih bisa menyentuh realitas kekinian (tsawâbit).

Terakhir, alangkah indahnya jika kita berani mengkaji pemikiran ulama terdahulu atau hasil keputusan hukum Islam yang dikeluarkan organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis. Lebih dari itu, kita menjadikan critical study sebagai sejarah pemikiran (intellectual history atau history of ideas). Artinya, kita mengkaji setting sejarah pemikiran ulama dahulu dan sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut bisa berpendapat seperti itu. Jika ini bisa kita lakukan, maka budaya klaim-mengklaim, ancam-mengancam, gugat-menggugat yang selama ini melingkari sikap beragama kita akan bisa terkikis sedikit demi sedikit. Semoga (!)

Puasa dan Relasi Horizontal ;

Meninjau kembali Gaya Keberagamaan Umat

Oleh: Ganna Pryadharizal Anaedi Putraa

Ya Allah sampaikan kami -kembali- kepada bulan ramadhan. (al-hadits)

Dari dua belas bulan yang kita jalani tiap tahunnya, Allah menyisipkan satu bulan sebagai "bonus" untuk kita, diharapkan dengan bonus track tersebut kita bisa meraup sebanyak-banyaknya pundi-pundi pahala. Lalu ibarat bengkel, dengan datangnya bulan Ramadhan ini dipercaya kita bisa mendapatkan berbagai macam service, kemudian tersegarkan dan akhirnya kita benar-benar serasa menjadi baru.

Tak ayal lagi, diturunkannya bulan Ramadhan untuk kita tiada lain agar kita menjadi abdi yang bertakwa dan bersyukur (al-Baqarah: 183 & 185). Takwa berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, tetapi dalam pengertiannya yang lebih luas, takwa juga bisa berarti hubungan yang harmonis dan pergaulan yang baik dengan sesama manusia dalam komunitas sosialnya. Karena hal yang demikian juga termasuk salah satu yang diperintahkan Allah kepada kita, maka satu hal inilah yang akan penulis garis bawahi.

Mari kita menoleh sejenak ke belakang, jika kita membuka lembaran sejarah tentang Ramadhan maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang monumental. Bulan Ramadhan adalah permulaan dimana turunnya teks pedoman umat (al-Qurân) dan di bulan tersebut juga meletus perang yang menjadi satu tonggak awal fase dakwah Islam, yaitu perang Badar. Dari dua peristiwa tersebut kita bisa menangkap satu sinyalemen penting yaitu diantaranya pesan mengenai proses perbaikan individu dan masyarakat (ishlâh al-fard wa al-mujtama'). Turunnya al-Quran bisa dijadikan bukti konkrit proses perbaikan individu, lalu perang badar bisa dipahami sebagai wujud nyata proses perbaikan masyarakat (muslim khususnya) dan pengorbanan (salvation) dalam bentuk jiwa serta harta. Seperti kita ketahui, turunnya al-Quran tidak berbarengan dengan terjadinya perang badar, tetapi kita bisa melihat konteks dan mengadopsi semangatnya, bahwa di bulan Ramadhan, sejatinya kita harus mensinergikan antara nilai-nilai ubûdiyyah ilâhiyyah (meminjam istilah Arif Munandar, 'ritual langit') dan muâmalah insâniyyah (interaksi humaniter).

Menuju Dimensi Puasa Humaniter

Kedatangan bulan Ramadhan kali ini, sejatinya harus menjadi wake up call kepada seluruh umat Islam agar menjadi lebih baik dalam segala hal, dan menjadi starting point dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah. Dan idealnya, puasa yang kita jalani haruslah memiliki efek dan implikasinya ke dalam ranah-ranah praksis.

Akan tetapi hampir kebanyakan dari kita –termasuk penulis juga- masih menjalankan puasa hanya sekedar rutinan dan malahan terjebak menjadi agenda tahunan. Tanpa tersadarkan untuk mencoba menyingkap 'ruh' dan efek yang seharusnya timbul dari proses ibadah tersebut.

Di bulan Ramadhan, seluruh umat Islam berpuasa dan berkali-kali khatam al-Quran, namun puasa dan bacaan itu tidak mampu menjadi changing power dalam proses ishlah kehidupan umat. Hingga terkesan ibadah yang mereka kerjakan sekedar memenuhi panggilan Tuhan, dan ditempatkan menjadi sesuatu yang sakral (sacred area). Sehingga tidak aneh bila kita acap kali sering mendengar ungkapan; "puasa sih puasa, tapi ngegosip jalan terus !".

Gaya keberagamaan dan realita dalam masyarakat kita memang seperti itu, semua orang melaksanakan puasa namun hubungan dengan sesamanya tidak harmonis, konflik dimana-mana, tawuran sering terjadi, saling provokasi, dan lain-lain. Perlu diingat, shaum secara etimologi adalah al-imsâk, yang maknanya menahan diri, tapi juga harus kita pahami bukan hanya menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh saja. Penulis meyakini bahwa makna shaum memiliki spektrum yang lebih luas dari itu, ia juga harus diartikan sebagai proses menahan diri dari hawa nafsu, syahwat dan kecenderungan-kecenderungan jiwa yang memerintah kepada kejelekan (ammâratun bissû). Berangkat dari pemahaman shaum diatas, seyogyanya kita juga bisa mempuasakan hawa nafsu, ego, dan emosi kita. Sehingga untuk nantinya diharapkan tidak akan ada lagi kejadian-kejadian seperti peledakan bom, tawuran dan tindakan destruktif kontra produktif lainnya.

Dan perlu kita ketahui, bahwa salah satu hikmah dibalik penerapan syariat adalah 'keadilan' (tahqîq al-'adâlah). Perhatikan shalat, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, artinya shalat mengandung keadilan antara ubudiyyah vertikal dan relasi horizontal (Syamsi Ali: 2002). Begitu juga dengan puasa, dari fajar hingga maghrib kita menahan diri dari makan dan minum, lalu malamnya shalat taraweh dan pada akhir Ramadhan kita diwajibkan untuk menyetor zakat fitrah, untuk kemudian didistribusikan kepada orang yang berhak mendapatkannya. Keseluruhan hal tersebut merupakan potret dari keadilan antara penghambaan teosentris dengan interaksi antroposentris. Sederhananya, sibuk melaksanakan puasa tetapi dengan tetangga sering gontok-gontokan, maka sia-sialah puasanya itu (laisa lahu min shiyâmihi illâ al-jûi' wa al-athas). Percuma saja kita saleh secara individual, tapi kesalehan sosial kita abaikan.

Oleh karenanya, untuk konteks keindonesiaan –dan juga kita yang di Mesir- yang cukup rawan dengan konflik, di bulan Ramadhan ini diharapkan kita mampu untuk menahan hawa nafsu, sikap egosentris dan sikap anti sosial lainnya yang bisa mengarah kepada patologi sosial. Hingga tidak ada lagi konflik-konflik dan peristiwa yang melibatkan jiwa dan darah umat manusia. Sehingga di bulan Ramadhan yang sekarang ini sampai seterusnya, akan senantiasa terjalin hubungan harmonis antar sesama manusia dan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan kepada asas perikemanusiaan. Hopefully !. Wallahu 'alam bi ash-shawâb.

Puasa dan Refleksi Sosial

Catatan Kritikal terhadap Makna Keberagamaan Kita

Oleh: Yadi Saeful Hidayat

Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang carut-marut, dilanda disintegrasi moral, justru pada saat yang sama, masyarakat Islam di seluruh dunia dihadapkan kembali kepada suatu agenda ritual yang bisa dijadikan momen untuk menilai ulang kembali makna beragama secara utuh dan menyeluruh. Tak lain, karena sampai saat ini, realitas yang sering kita temui pada masyarakat beragama hanya merupakan bias-bias dari kesalahan dan prilaku grasak-grusuk dalam mengartikan makna beragama. Karena itu, tak salah jika momen puasa ini menjadi proses untuk menyegarkan kembali nafas keberagamaan kita.

Kita sering tak sadar bahwa puasa banyak mengandung muatan-muatan agama yang banyak menyinggung pemahaman beragama umat Islam saat ini. Kita sering lupa dan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa puasa adalah ibadah yang hanya memiliki dimensi spiritual, puasa hanya milik Tuhan. Pemahaman ini berpijak kepada beberapa teks agama yang mengabarkan bahwa puasa adalah ritus agama yang hanya memiliki dimensi ketuhanan (ilâhiyyah). Secara emplisit, makna teologis puasa dinyatakan dalam sebuah hadits; dari sekian banyak amal ibadah anak Adam, ibadah puasalah yang segala rahasianya hanya Allah yang mengetahui (HR. al-Bukhâri). Dari konteks ini terlihat adanya aspek dualitas antara Allah sebagai Pencipta dengan makhluk Nya; antara Pemilik otoritas mutlak untuk memerintah dengan yang berkewajiban menaati. Namun, lebih dari itu, pada sisi yang lain puasa justru sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan (insâniyyah) yang terkandung di dalamnya. Ia tidak hanya bersentuhan dengan agama dari sisi vertikal saja, banyak aspek horizontal yang tersirat dalam aplikasinya. Puasa dengan para pelakunya bukan hanya memiliki kaitan habl min al-Allâh (hubungan dengan Allah), tetapi justru banyak menekankan kepada habl min al-nâs (hubungan dengan manusia yang lain).

Memang, pada tataran praksisnya ('amaliyyah), masyarakat Islam tidak sadar bahwa puasa justru lebih banyak mengandung dimensi-dimensi sosial. Ini karena sebagian besar masyarakat kita, termasuk orang-orang shalehnya, masih tetap mengartikan puasa sebagai satu ketetapan Tuhan yang dibebankan kepada umat beragama (Islam) demi mendapatkan sebuah gelar kelangitan yang tidak bisa diraih semua manusia; Ketakwaan (QS. 02;183). Melalui pemahaman seperti ini, masyarakat agama akhirnya hanya mengartikan puasa dari satu sisi saja. Karena itu, wajar jika sikap yang muncul dari umat Islam saat ini tak lebih dari usaha untuk memenuhi kebutuhan agama. Dengan puasa, agama hanya ditampilkan melalui simbol-simbolnya saja tanpa melirik lebih jauh nilai-nilai universal (syumûliyyah) yang terkandung dalam agama itu sendiri. Kita lihat bagaimana prilaku hipokrit para artis, terutama dalam memanipulasi agama demi sebuah kepentingan pribadi atau popuralitas.

Kita sering melihat suatu kejanggalan dari fenomena bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Misalnya, sebuah acara yang meriah yang berbentuk buka bersama para artis, golongan elite politik, dan pengusaha di satu hotel terkenal. Sementara di balik realitas itu, masih banyak orang miskin yang sangat membutuhkan bantuan. Ini contoh kecil bahwa banyak orang berpuasa tetapi secara subtansial tidak menunjukkan orang yang berpuasa. Di mana, pengumbaran hawa nafsu, konsumeris, hedonis, egois dan rakus masih sangat kental mewarnai penampilannya. Setiap tahunnya, dalam sebulan penuh, banyak diantara artis yang serampangan dalam memaknai bulan Ramadhan. Karenanya, berjilbab cukup dilakukan pada momen itu saja, memberi santunan kepada kaum papa cukup di bulan Ramadhan saja. Tak jelas apa tujuan mereka; popularitas, karir, atau mungkin demi menutupi dosa mereka. Namun pastinya, bagi mereka, Ramadhan menjadi begitu penting dan sangat menguntungkan karir, terlebih untuk menutupi sikap kamuflase mereka dalam beragama. Masuk akal jika Muhammad saw. dalam sabda sucinya mengritik prilaku orang-orang yang puasa, padahal mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja. Jika saja ini terus berlanjut, maka dimana makna puasa yang sesungguhnya (?). apakah puasa hanya sekedar ibadah rutinitas dan verbalistik (?). dimana dimensi sosiologis (kemanusiaan/insâniyyah) yang terkandung dalam puasa (?).

Satu hal yang perlu menjadi perhatian umat Islam saat ini adalah bahwa takwa sebagai puncak tujuan seluruh ibadah, tak terkecuali puasa, bukan merupakan sikap takut kepada Tuhan, sebab Tuhan dalam Islam bukan sesuatu yang menakutkan atau perlu ditakuti. Sebaliknya, citra Tuhan dalam Islam adalah Dia yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Pemberi Maaf, Pemelihara, dan Pelindung manusia. Dalam bahasa Fazlur Rahman, takwa adalah kekokohan dalam tensi-tensi moral (batas-batas yang telah ditentukan Tuhan). Dengan demikian, takwa adalah kesadaran akal budi bahwa Tuhan adalah sumber kenormativan.

Persoalan selanjutnya adalah, sebagai puncak klimaks kesadaran akal budi, pada tataran praksisnya takwa hanya akan memiliki makna dalam konteks sosial. Baik secara vertikal maupun horizontal, takwa mesti dimaknai sebagai prilaku dan semangat manusiawi dalam rangka menundukan diri terhadap segala perintah Allah swt. Dari sinilah implementasi ibadah puasa mendapat ruang signifikansinya. Artinya, dimensi ketuhanan (ilâhiyyah) yang menjadi spirit puasa harus bisa ditransformasikan ke dalam dimensi kemanusiaan (insâniyyah), agar bisa melahirkan sikap sosio-religius, baik secara etik maupun moral.

Agama, Puasa dan Misi Kemanusiaan

Menurut Prof. Dr. Abdul Fatah Mahmud Idris, dalam suatu bentuk pengabdian ('ibâdah), ada tiga hal yang mesti terkandung di dalamnya, yaitu spirit (niat), ritus ('amal) dan hikmah. Spirit bisa diartikan sebagai niat awal seseorang dalam menjalankan ibadah. Sedangkan ritus dapat dimaknai sebagai praktek dari ibadah itu sendiri. Adapun hikmah, ia merupakan implikasi nyata yang lahir dari kedua aspek sebelumnya. Tiga aspek di atas mesti terkumpul dalam sebuah bentuk ibadah guna menghindari keterjebakan umat Islam dalam memaknai puasa secara parsial. Puasa, sejatinya bisa memberikan implikasi nyata terhadap realitas sosial yang dihadapi masyarakat saat ini. Ia tidak hanya menjadi rahasia manusia dan Tuhannya, tetapi lebih kepada ritual yang banyak menyimpan pesan-pesan kemanusiaan.

Memang, realita yang menyejarah dan amat memilukan telah memberikan semangat kepada kita untuk menyikapi persoalan tersebut secara kritis. Perlu diakui, bahwa beragama secara ritual bisa dianggap selesai, setiap kali pemeluk agama tersebut sudah menerapkannya secara sempurna. Majlis Zikir, Muhasabah Tahunan, Itighâtsah dan seabreg kegiataan keagamaan lainnya yang dilakukan secara intens dan mendapat porsi yang cukup besar merupakan bukti bahwa animo masyarakat untuk beragama secara ritual memang semakin meningkat. Pada titik ini, keberagamaan mendapat ruangnya yang sanggat massif dan bisa dikatakan berhasil.

Namun beragama dalam arti bagian dari realitas kemanusiaan masih tetap menyisakan sejua persoalan yang mesti dijawab secara serius. Ini dibuktikan dengan realitas empirik yang menyedihkan ; kemiskinan, kebodohan, korupsi, imprealisme budaya dan beberapa problematika lainnya yang semakin menegaskan bahwa agama belum bisa mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Agama berada di sebuah sebuah sudut, sedangkan problem kemanusiaan di sudut yang lain. Agama tak mampu memberikan jalan keluar bagi kemelut dan krisis, sehingga agama kehilangan fungsinya.

Karenanya, pekerjaan berat yang harus dilakukan masyarakat beragama saat ini adalah mengkaji ulang doktrin-doktrin keagamaan sehingga agama tidak hanya dipandang sebagai manuskrip-manuskrip teologis an sich, tetapi lebih dipahami sebagai doktrin yang senantiasa progresif dan ofensif dalam menjawab problem kemanusiaan, sehingga agama tidak lagi kehilangan konteks dan substansinya.

Islam adalah agama yang membawa pembebasan dan keselamatan (HR. al-Bukhâri). Secara generic, ia merupakan agama pembawa misi kemanusiaan (rahmatan li al-'âlamîn). Islam hadir di muka bumi dalam rangka memberikan moralitas baru bagi transformasi sosial. Islam dikatakan sebagai sumber moral dikarenakan karakter (khashâish) Islam yang metafisik dan humanis. Islam tidak hanya membawa ajaran yang bercorak vertical, tetapi juga membawa ajaran yang menekankan aspek horizontal. Dalam bukunya, Al-Islam Huwa al-Hall, Dr. Muhammad 'Imarah menyebut Islam sebagai ajarah yang berasal dari Tuhan dan berdimensi kemanusiaan (al-Islam ilâhy al-mashdar wa insâniyyat al-maudhû). Atas dasar ini, Islam merupakan agama yang tidak hanya membawa wahyu ketuhanan, melainkan juga sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Saat ini, kita perlu memberikan perhatian penuh terhadap persoalan kemanusiaan yang terkandung dalam ibadah puasa.. Jika selama ini puasa hanya diterjemahkan melalui ritual-ritual yang berhubungan dengan persoalan langit (teosentrisme), maka perlu ada gagasan baru dengan mengalihkan perhatian masyarakat agama kepada persoalan kemanusiaan (antroposentrisme). Ini penting, agar puasa tidak hanya dipandang sebagai ajaran agama yang memiliki hubungan vertical, tetapi lebih dari itu, puasa adalah ritual agama yang sejatinya mampu menjawab segala persoalan-persoalan horizontal. Semoga (!).

Persis Sebagai Islam Basis Kota

Oleh: Arif Munandar Riswanto*


Tulisan ini diilhami oleh acara "Pelantikan dan Dialog Publik" yang diadakan oleh Pwk. Persis Kairo-Mesir pada tanggal 26 November sampai dengan 5 Oktober 2004. Hadir pada acara dialog tersebut adalah generasi muda Persis sekaligus mantan ketua umum PP. Pemuda Persis, Atif Latiful Hayat SH. L.LM.. Dalam rangkaian dialog yang diadakan oleh anak muda Persis tersebut, Atif sering menyebut bahwa Persis adalah "Islam basis kota".

Ungkapan tersebut tidaklah keliru. Karena, ketika awal berdirinya, Persis telah menjadikan kota sebagai pusat perjuangan dakwahnya. Inilah yang melatarbelakangi Persis diberi julukan oleh berbagai kalangan sebagai organisasi pembaru dan modernis.

Menurut Atif, setidaknya ada dua ciri yang menjadikan Persis sebagai Islam basis kota:

Pertama, basis intelektualisme yang merupakan cikal bakal berdirinya Persis.

Kedua, "kegelisahan" founding fathers Persis terhadap praktik-praktik keagamaan yang sudah menyimpang dari tuntunan Nabi dan telah dianggap mapan oleh umat Islam Indonesia.

Basis Intelektualisme yang Anti-Kemapanan

Persis lahir bermula dari kegiatan intelektualisme yang bersifat kenduri. Topik pembicaraan dalam kenduri itu bermacam-macam. Misalnya, masalah-masalah agama yang dimuat di majalah Al-Munir yang terbit di Padang, majalah Al-Manar yang terbit di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jamiat Khair di Jakarta, dan berbagai persoalan lainnya (Wildan: 2000). Kegiatan tersebut terutama dimotori oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Setelah Ahmad Hassan bergabung ke dalam study club tersebut, tradisi intelektualisme yang dibangun oleh Persis pun semakin besar. A. Hassanlah orang yang selama ini memobilisasi kajian keagamaan tersebut menjadi lebih hidup. Kita bisa melihat bagaimana polemik A. Hassan-Mohammad Natsir—murid A. Hassan—dengan Soekarno pada tahun 30-an tentang sekularisme dan nasionalisme. Bahkan, tidak bisa dipungkiri lagi, A. Hassanlah "guru agama" Soekarno. Hal ini bisa dilihat dari kumpulan surat-menyurat antara Soekarno dan A. Hassan dan direkam oleh Soekarno sendiri dalam bukunya yang berjudul "Di Bawah Bendera Revolusi".

Sedangkan anti-kemapanan adalah gejolak hati para diskusan kajian keagamaan tersebut. Para pendiri Persis tersebut gelisah dengan status quo, kemapanan, taklid, dan kejumudan umat Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya. Baik dalam bentuk taklid, bidah, khurafat, bathiniyyah, isira’iliyyat, tawashshul dalam arti syirik, fanatisme mazhab, kasta kiyai, "kitab kuning" yang terlalu diagung-agung dll.

Para diskusan tersebut menginginkan perubahan, pembaruan, dan modernisasi. Dengan demikian, diskusi tersebut dibangun atas dasar pembaruan (tajdid), rekonstruksi (i'adah al-nazhr), dan kritik (naqd) terhadap wacana agama yang berkembang saat itu. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya diskursus "kembali kepada Quran-Sunnah" yang diusung oleh Persis. Diskursus tersebut tiada lain merupakan terjemahan dari basis intelektualisme yang anti-kemapanan dan dimobilisasi oleh Persis.

Karena basis kota itulah, Persis memiliki berbagai paradigma fiqih (khashaish fiqhiyyah) yang bernafaskan pembaruan. Jika hendak dirunut, paradigma fiqih tersebut antara lain: bebas dari mazhab (taharrur min ta`ashshub al-madzahib), moderat (al-wasathiyyah), memegang tradisi dan kemodernan (al-alshalah wa al-mu`ashirah), mudah (taysir), dan realistis (al-waqi`iyyah).

Dan, yang lebih jauhnya, nafas pembaruan tersebut tidak hanya diterjemahkan ke atas ranah fiqih an sich. Namun, diterjemahkan juga ke atas ranah lembaga, struktur organisasi, manajemen, program jihad, pesantren, hubungan guru-santri, ulama-jamaah, dan kurikulum pendidikan.

Dua karakteristik itulah yang menjadikan Persis sebagai organisasi civilized. Para penghuninya adalah orang-orang kota yang hidup dalam bangunan strata kehidupan sosio-kultural yang berperadaban. Atau, dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun menulis bahwa "orang kota adalah orang-orang yang memperhatikan keelitisan dan kesempurnaan. Baik dalam kondisi ataupun tradisi mereka."

Masa Depan

Saat sekarang, saya melihat bahwa kedua karakteristik tersebut sudah mulai "memudar" dalam diri Persis. Antitesisnya, pada saat sekarang, Persis menjadi organisasi yang tidak berbasis intelektualisme dan selalu merasa "nyaman" dengan berbagai praktik keagamaan yang ada. Kalaupun Persis "gelisah" dengan praktik-praktik keagamaan yang ada, kegelisahan itu biasanya "tidak realistis" dengan problematika kehidupan beragama kontemporer yang terus berkembang. Sebuah hal yang justru merupakan antitesis bagi paradigma Persis selama ini.

Implikasinya dari hal itu, pada saat sekarang, kegiatan Persis pun menjadi terkonsentrasi di desa—baca: "terpinggirkan". Inilah hal yang menyebabkan miskinnya daya jual produk-produk keagamaan kontemporer yang lahir dari generasi-generasi Persis saat ini. Berbeda dengan generasi awal yang pernah mewarnai jagat intelektualisme Islam Indonesia dengan memboomingkan berbagai produk keagamaan yang realistis untuk konteks-realita ketika itu.

Namun, meskipun seperti itu, ada generasi muda Persis yang ingin mengembalikan dua semangat di atas. Mereka adalah tunas-tunas muda yang memiliki kegiatan inetelektualisme modern, kegelisahan jiwa, anti-kemapanan, dan menginginkan perubahan. Semangat-semangat segar tersebut tiada lain merupakan warisan yang mereka dapatkan dari guru-guru pertama mereka.

Namun, seperti hukum alam lainnya, seluruh hal tersebut sering mendapatkan "halangan" dari generasi tua. Yaitu, orang-orang yang tidak gelisah, merasa nyaman, pro-status quo, dan anti-perubahan. Inilah yang menyebabkan muncul friksi tajam antara generasi tua dan muda.

Saya berpendapat, friksi tersebut harus dijembatani dengan baik. Dan, salah satu jembatan yang telah diajarkan oleh Al-Quran adalah dialog (QS 16: 125). Generasi tua harus mau mendengar keinginan yang berasal dari generasi muda. Begitu pun sebaliknya. Mempertahankan ego masing-masing dengan menganggap bahwa pendapatnya adalah yang paling benar bukanlah sebuah solusi bijak.

Dialog tersebut tiada lain merupakan cerminan masyarakat kota. Yaitu, masyarakat yang memiliki tingkat keterbukaan, partisifasi, oposisi, dan koreksi yang sangat tinggi. Hal-hal tersebutlah yang pernah ditulis oleh Robert Bellah (Beyond Belief: 1976) telah mengantarkan masyarakat Madinah menjadi masyarakat modern. Bahkan, masyarakat Madinah tersebut, untuk zaman dan tempatnya terlalu modern hingga hanya mampu bertahan selama tiga puluh tahun saja.

Basis intelektualisme yang dimiliki oleh Persis bisa menjadi bahan bargainning dengan NU dan Muhamadiyyah—yang memiliki basis massa—untuk melakukan dakwah kolektif (QS 3: 103). Sebuah peta perjuangan yang selama ini menjadi motto Persis. Namun, jika basis intelektualisme dan anti-kemapanan terhadap praktik keagamaan—yang terus berkembang dari waktu ke waktu—tidak bisa dihidupkan kembali oleh Persis, tidak berlebihan jika kita berpendapat bahwa masa depan Persis akan berubah menjadi "Islam desa". Wallahu a`lam bish-shawab.

Manusia Dijital

Oleh : Moch.As'ad Mubarak


Upaya untuk tampil terdepan disegenap momen dalam menjalani hidup harus senantiasa ada, karena itu tanda kehidupan dan dinamika manusia. Hidup akan terasa hidup dengan berjuang dan terus berjuang, mengimbangi tuntunan peradaban yang terus berkembang. Statisme dan stagnasi adalah kondisi buruk yang sering menjelma menjadi hantu parasit dalam menghambat perkembangan peradaban manusia.

Bagaimana untuk tampil lebih maju? Bagaimana menciptakan kehidupan yang kita inginkan? Lebih dari hal itu adalah bagaimana menjalani kehidupan yang kita hidup di dalamnya? Pertanyaan itulah yang sering mengusik benak manusia, mengerutkan dahi, hingga termotivasi untuk berkontestasi. Kompetitif dalam menjalani hidup merupakan tuntutan, bahkan sebelum manusia dalam wujudnya, sperma-sperma berpacu untuk lebih dulu mencapai sel telur. Dari milyaran sel sperma tersebut hanya satu terbaiklah yang mampu mencapai sel telur. Jadi, setiap manusia merupakan hasil seleksi dari sperma yang terbaik. Begitu juga adanya kehidupan dan kematian pada realita diri manusia merupakan jawaban dari siapa yang terbaik di antara mereka dalam memenuhi amal hidupnya. Al Qur'an mengungkapkan dengan bahasa fastabikul khoirat, berlomba menuju kebaikan.

Tidak terkecuali, seorang muslim juga dituntut untuk senantiasa kompetitif mengisi waktu yang terus bergerak, tak kenal henti, tak peduli seberapa pun manusia yang mengeluh waktu berhenti, tak menghiraukan hasrat ribuan manusia yang memohon untuk mengulang waktu kan dipenuhi dengan segenap amal yang bemutu tinggi, amal sholeh, walaupun hanya dengan waktu yang amat sangat sebentar, sebagai mana keluhan para munafik yang diabadikan dalam al Quran surat al-Munafiqun. Salah satu dari job description hidup seorang muslim pada akhirnya adalah mampu mewujudkan apa yang diungkapkan al Qur'an mengenai tujuan penciptaan hidup dan mati adalah untuk mengetahui siapa yang the best behaviour/terbaik amalnya ( al Mulk : 2 ).

Sejenak kita teropong dunia yang saat ini mengalami perkembangan yang begitu pesat, hampir memenuhi segenap aspek dimensi fasilitas hidup manusia. Dimulai dari alat hitung, media komunikasi, komputer hingga sarana penerbangan antariksa., hingga orang namakan zaman sekarang dengan Era Digital. Terjadi apa yang dinamakan Quantum Leap atau lompatan waktu yang sangat mengagumkan terutama di bidang tehnologi dimana manusia begitu gampang untuk memenuhi hasratnya dengan cepat dan praktis.

Era Digital bermula dari ditemukannya bilangan Biner, yaitu angka nol dan satu. Bilangan biner tidak mengenal angka lain kecuali angka nol dan satu. Bilangan Biner telah merubah zaman dimana manusia hidup sekarang ini., akan tetapi Era Digital datang menemui orang-orang bermental kerdil, masih marginal, sehingga terjadi kepincangan. Mereka menggunakan handphone, laptop, jaringan internet dan lain sebagainya, tetapi banyak diantara mereka yang mengalami stres, gangguan kejiwaan, serta amoral yang melanda di mana-mana. Dunia penuh orang pintar yang tidak melaksanakan tugas hidupnya.

Mengapa manusia yang mampu terbang setinggi burung, lari secepat macan dan berenang sedalam ikan, namun tak mampu berjalan sebagaimana manusia berjalan? Mengapa kerusakan alam sudah tidak terhutung kerugiannya? Mengapa masih banyak penyalagunaan tehnologi untuk kejahatan? dan lain sebagainya. Mengapa ? Mengapa? Dan mengapa? Apakah ini memang sudah seharusnya terjadi? Kemajuan tehnologi memperbesar resiko rapuhnya tatanan moral? Ataukah hal itu terjadi dikarenakan tingkat digital baru melanda pada peralatan yang manusia pakai, belum pencapai mental dan jiwa manusia itu sendiri, dalam artian bilangan Biner belum membentuk manusia digital, yaitu manusia ber-peradaban tinggi?. Manusia digital adalah manusia yang hanya mengenal angka nol dan satu pada prinsip hidupnya.

Angka nol adalah cermin dari kebersihan jiwa dan pikiran, sedangkan angka satu adalah lambang keEsaan Tuhan, dengan kata lain berprinsip hanya untuk Allah yang tiada sekutu bagiNya, lâ ilâha (0) illallâh (1). Inilah yang harus tertancap kokoh dan mengakar kuat dalam hati sanubari manusia, hingga apa yang dia lakukan, apa yang dia katakan merupakan cermin dari keikhlasan dan ketulusan, berprinsip hanya kepada Allah. Terciptalah manusia digital mewujudkan tuntutan dari kalimat lâ ilâha illallâh di segenap hidupnya. Dia akan senantiasa sejalan dengan rambu-rambu menjalani hidup yang telah Allah berikan.

Manusia Digital melewati "zero mind process" dalam diri untuk menjadikan god spot (suara hati) sebagai kopas hidup, bisikan jiwa yang senantiasa mengajak untuk meniru Sang Pemiliknya… Allah Tuhan alam semesta. Dengan demikian akan menghasilkan daya out put yang tak terhingga, sebagaimana sejalan dengan teori matematik bahwa selamanya hasil dari pembagian satu per nol adalah tak terhingga. Demikian yang dikatakan mas Ari Ginanjar dalam bukunya ESQ Power.

Dunia mendambakan datangnya sosok pribadi tertanam akidah yang benar, mampu menerapkan syari'at Allah dan berakhlak karimah dalam bersikap, hingga bukan lagi sebagai objek teknologi atau matrialisme, bukan merupakan objek hedonisme atau keduniawian, bukan manusia analog yang kehilangan jati diri, menjadi korban kemilaunya dunia selaku hamba dari teknologi digital. Sahabat Abu Bakar Ash Shiddik ra. menyikapi hal ini dalam sebuah doa yang cukup indah, "allâhummaj'al dunyâ fî aidînâ wa lâ taj'al fî qulûbinâ".

Kemampuan manusia dalam mensinergikan potensi madiyah dan ruhiyah atau emosional,spiritual serta intelegensi merupakan modal besar yang akan mampu menjalankan misi hidup di dunia. Yang sangat menakjubkan adalah statement Rasulullah empat belas abat yang lalu, pada masa sebelum manusia peduli dan memperhatikan intelegensi, emosional dan spiritual quetion. Beliau mengajarkan kita untuk memanfaatkan potensi-potensi ini dalam sebuah doa dengan bahasa yang begitu indah, "allâhumma a'innî 'alâ dzikrika wa sykrika wa husni 'ibâdatika".

Semuanya itu dikelola untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu beribadah kepada hanya kepada Allah dan menjadi kholifah di muka bumi untuk memakmurkannya dengan manhaj Rabbani.

Maka terciptalah lingkungan ke arah peradaban yang sesuai dengan hati nurani terdalam, penuh cahaya Ilahi berupa sinar keadilan, kebersamaan, kedamaian dan kasih sayang yang didambakan oleh seluruh insan manusia di belahan bumi manapun. Disinilah puncak peradaban yang kelak akan terhampar di muka bumi. Iptek berbasis digital didukung Imtak digital, yaitu lahirnya manusia berprinsip nol dan satu, bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Namun pertanyaan selanjudnya mengapa kaum muslimin mengalami kemunduran, tersisihkan dan tergilas dari peradaban? Bukankah seharusnya lebih maju dari pada orang kafir yang paling maju? Paling kreatif dari pada orang sekuler yang paling kreatif? Sangat disiplin waktu dari pada orang atheis yang paling disiplin sekalipun? Lebih, lebih dan lebih…namun realita kita..? Akankah muslimin kembali jaya? Kembali tampil terdepan di segenap peradaban? Akan kah? Siapa lagi kalau bukan kita ?

Kawanku…Allah tidak menciptakan kita menjadi orang yang kalah . Jangan kecewakan dunia yang sangat menanti kehadiran Manusia Digital. Allahu a'lam.

Humanisme Islam

Oleh: Arif Munandar Riswanto


ADA perbedaan problematika yang melilit negara maju dengan negara berkembang. Problematika krusial yang melilit masyarakat maju adalah kehilangan nilai-nilai spiritual. Sedangkan, problematika yang melilit negara berkembang adalah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada negara maju, agama telah dipinggirkan karena dianggap sebagai ajaran yang skeptis. Namun, meskipun begitu, pada masyarakat maju, buta huruf, putus sekolah, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kolusi, nepotisme, suap, baku hantam lalu lintas, dan pencemaran lingkungan memiliki kadar tingkat yang sangat rendah.

Sebaliknya, pada masyarakat berkembang, agama masih dianggap sebagai ajaran sakral. Namun, pada masyarakat berkembang, buta huruf, putus sekolah, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kolusi, nepotisme, suap, baku hantam lalu lintas, dan pencemaran lingkungan memiliki kadar tingkat yang sangat tinggi.

Itulah dua drama kehidupan sosial yang sekarang sedang menghiasi dunia. Antara dunia pertama dan dunia ketiga. Dunia yang kehilangan nilai-nilai ruhani dan dunia yang kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.

Bagi kita selaku manusia yang hidup di tengah-tengah negara berkembang, sudah saatnya tidak hanya menampilkan agama dalam bentuk kewajiban (spiritual) saja, tetapi juga dalam bentuk hak (kemanusiaan). Karena, sebagaimana dicatat oleh Al-Quran, tujuan diturunkannya Nabi ke dunia ini adalah untuk menjawab problem-problem kemanusiaan.

Namun tentunya, menampilkan kemanusiaan tidak berarti harus menghilangkan nilai-nilai spiritual yang sakral (epistemologi). Spiritual harus tetap kita jaga, dan kemanusiaan harus kita ciptakan. Spiritiual adalah moral kita terhadap Pencipta, sedangkan kemanusiaan adalah moral kita terhadap sesama. Keduanya harus disinergikan, bukan dipisahkan atau dibenturkan.

Penyinergian tersebut tiada lain bias dari kemoderataan (wasath) agama Islam. Kemoderatan tersebut berarti bahwa Islam pandai menyinergikan antara satu ajaran dengan ajaran lain. Menempatkannya pada tempat yang sesuai agar kehidupan ini berjalan di atas keseimbangan (mizan). Ini persis seperti sistem tata surya yang berjalan di atas porosnya masing-masing. Atas dasar itu pulalah kita tidak bisa menerima konsep humanisme Barat yang lepas dari nilai-nilai agama.

Hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan kita lebih dikarenakan pandangan kita yang "sempit" terhadap ibadah. Selama ini kita hanya mengidentikan ibadah dengan zikir, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan, disiplin, tepat waktu, tertib dalam lalu lintas, kebersihan lingkungan, menolong orang miskin, gelandangan, putus sekolah, dan pengangguran tidak pernah kita anggap sebagai ibadah. Kita tidak pernah menganggap bahwa kemanusiaan adalah bagian integral dari ibadah. Itulah hal yang menyebabkan membengkaknya fenomena-fenomena kemanusiaan di tengah-tengah kehidupan kita.

Kita yakin, jika nilai-nilai kemanusian dihadirkan dan diracik dengan nilai-nilai spiritual yang selama ini kita anut, sebuah tatanan masyakarat maju dan saleh pasti akan tercipta. Sebuah masyarakat civilized yang dulu pernah dibangun oleh Nabi. Yaitu, masyarakat yang bermoral terhadap Tuhannya dan sesamanya. Dan, keyakinan kita terhadap hal itu bukanlah cek kosong, tetapi janji Al-Quran itu sendiri. AMR

01 October 2006

Bila FOSPI Menjadi Pwk-Persis

Oleh: Arif Rahman Hakim


Pada tahun ini, Persis genap menginjak usianya yang ke delapan puluh. Usia yang sudah bisa dibilang tua. Meski sarat umur, organisasi yang lahir pada 12 September 1923 ini, bisa dibilang masih tetap kalah besarnya dengan ormas yang serupa dan sewarna yaitu Muhamadiyah dan NU. Hal ini selain disebabkan karena Persis sebagai ormas Islam yang tidak terlalu mementingkan kuantitas (lebih mementingkan kualitas) juga karena visi dan misinya yang agak berbeda dengan ormas Islam lainnya. Kalau Muhamadiyah condong kepada upaya peningkatan sosial masyarakat dan NU lebih kepada gerakan kultur masyarakat, maka Persis lebih condong kepada upaya pemurnian kembali akidah dan ibadah mayarakat yang sudah terkontaminasi oleh penyakit syirik dan bid'ah. Kendati kecil, Persis tidak bisa dipandang sebelah mata, buktinya organisasi yang sudah memiliki 230 cabang ini sering dilirik oleh orpol-orpol yang ada. Tidak hanya itu, malah sudah banyak ketua orpol yang datang meramal Persis agar bersedia menjadi pendukungnya. Ini menunjukkan bahwa peran persis di panggung politik khususnya patut diperhitungkan.

Organisasi yang besar, dalam menjaga eksistensinya, tentulah tidak lepas dari upaya melakukan regenerasi dan kaderisasi guna mencapai visi dan misi yang diembannya. Karena visi dan misi yang harus dicapai, tentu tidak langsung tercapai dengan mudah dan dalam waktu yang sebentar. Tetapi memerlukan tenaga yang ekstra dan waktu yang lama. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi kewajiban itu lebih banyak dari waktu yang tersedia.

Tujuan yang dicita-citakan para founding father organisasi tidak bisa langsung dicapai oleh mereka, akan tetapi memerlukan perjuangan yang kontinyu. Di sinilah pentingnya regenerasi dan kaderisasi digalakan. Hal tersebut tiada lain untuk membina para pewaris organisasi yang akan meneruskan perjuangan selanjutnya. Semakin bertambahnya umur sebuah organisasi dengan diiringi berbagai kemajuan, menunjukkan keberhasilan para pendahulu organisasi dalam mengadakan regenerasi dan kaderisasi.

Persis sebagai ormas yang konsen bergerak di bidang dakwah dan tarbiyah –yang mana dakwah dan tarbiyah merupakan proses yang memerlukan estafeta usaha yang kontinyu- memandang penting regenerasi dan kaderisasi yang intensif. Agar melahirkan para penerus yang mampu mengejewantahkan visi, misi dan falsafah organisasi sekaligus mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap perjuangan Persis.

Berbicara mengenai regenerasi, Persis sebenarnya sudah memiliki sarana yang mengarah ke sana. Banyaknya pesantren yang tersebar di setiap pelosok daerah yang ada di Indonesia merupakan sarana yang tepat untuk menggalakan usaha regenerasi guna melahirkan kader-kadernya yang tangguh dan berloyalitas tinggi. Pasalnya, santri-santri yang menuntut ilmu di pesantren-pesantren tersebut adalah benih-benih segar yang siap dipetik buahnya di kemudian hari. Dan sekarang semuanya tinggal bergantung pada usaha Persis itu sendiri, sejauh mana keseriusan dan keintensifan dalam upaya melakukan proses regenerasi tersebut.

Terlebih kini, melihat animo banyaknya santri-santri lulusan pesantren Persis yang meneruskan studi ke perguruan-perguruan tinggi baik itu perguruan tinggi Islam maupun umum seharusnya merupakan fenomena yang sangat menguntungkan. Karena di sini terlihat kesadaran kader-kader Persis untuk terus meningkatkan citra diri masing-masing dan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kinerja masing-masing dalam menyelesaikan tugas-tugas yang akan diembannya nanti. Tapi sayang, kenyataan justru berkata lain. Tidak sedikit para lulusan pesantren Persis yang telah menamatkan studinya lebih memilih aktif di organisasi lain atau malah membuat yayasan sendiri, seolah kacang lupa kulitnya. Kelemahan dan kekurangan dalam tubuh Persis yang selama ini berhasil terditeksi oleh mereka, bukan semakin menyadarkan mereka untuk kembali ke rumah dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, akan tetapi malah asyik mencari dan memilih rumah yang baru.

Nampaknya ikatan yang dibangun selama mereka menuntut ilmu di pesantren hanya sebatas menjalani pendidikan saja, selepas itu ma'as salamah. Atau barangkali diakibatkan kekurang-pekaan pesantren-pesantren tersebut dalam memposisikan dirinya sebagai sarana untuk mentransformasikan visi dan misi organisasi Persis kepada para santrinya. Tentu hal ini sangat disayangkan.

Deskripsi fenomena di atas sekedar pengantar untuk memberikan gambaran yang jelas dan utuh kenapa FOSPI (Forum Silaturahmi Persatuan Islam) sebagai sebuah wadah para santri alumni Pesantren Persis yang sedang melanjutkan studinya di timur tengah khususnya Mesir, berkeinginan untuk merubah statusnya menjadi Perwakilan Pimpinan Pusat PERSIS Mesir, setelah hampir tujuh tahun baru menjalin hubungan sebatas link moral an sich dengan PP. Persis di Indonesia.


FOSPI menjadi Pwk-Persis?

Semakin banyaknya alumni pesantren Persis yang meneruskan studinya ke Mesir, merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Persis, sekaligus harapan di masa depan memiliki kader-kader yang sedang mematangkan intelektualitasnya di negeri orang.

Tetapi kebahagiaan itu bisa saja sirna dan harapan akan pupus, ketika justru para kadernya tidak merasa dirinya sebagai kader dan organisasinya sendiri tidak mampu memanfatkan potensi yang ada. Karena tidak adanya hubungan secara sturktural dan sistem dengan Persis sendiri. Maka tidak aneh kalau di antara jebolan timur tengah asal Persis tidak kembali ke "rumah" karena merasa tidak punya hubungan apa-apa dengan Persis.

FOSPI yang bertujuan ingin menghimpun dan menjadi wadah bagi para alumni pesantren Persis yang sedang meneruskan sekolahnya di Mesir agar bisa menyambungkan jalur hubungan antara mereka dengan Persis, agar mereka merasa sebagai kader Persis yang harus kembali ke "rumah" untuk membenahi dan mamajukannya. Tetapi hal itu kurang dirasakan hasilnya karena selama ini hubungan FOSPI dengan Persis tak lebih dari hubungan emosional belaka yang bisa pasang dan surut sesuai keadaan hati masing-masing. Jadi tujuan untuk membangun sebuah jembatan itu tiada lain untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan yang kita harapkan.

Maka diperlukan adanya jembatan yang lebih kuat dan permanen untuk bisa menghubungkan para lulusan mesir ini dengan Persis. yaitu dengan membangun hubungan yang bersifat struktural dan berdasarkan kepada sistem yang berlaku di Persis. Bukan hanya sebatas hubungan emosional belaka. Maka menjadi harapan kita bersama setelah FOSPI meresmikan dirinya menjadi sebuah jembatan permanen secara struktural ke Persis dalam bentuk organisasi perwakilan Persis di Mesir, benar-benar bisa menciptakan kader-kader Persis yang unggul yang ingat pulang ke "rumah" untuk membangun dan memajukannya.

Tetapi tentu itu harus diawali dengan perencanaan yang matang, dilaksanakan dengan pengawasan yang jeli dan tentunya evaluasi yang teliti. Melalui konsep pengkaderan yang jelas tentunya kita bisa membangun jembatan yang kita harapkan bersama itu.

Kita sebagai duta Persis di sini setelah resmi dilamar haruslah semakin bersifat dewasa. Karena sekarang kita bertindak bukan atas nama sendiri tapi atas nama "bapak" kita. Dan itu merupakan tanggung jawab yang besar yang harus kita junjung tinggi.

Perannya sebagai duta Persis mudah-mudahan bisa diusung dengan sebaik-baiknya. Mengadakan hubungan diplomasi dengan KBRI sebagai wakil negara di sini dan membangun hubungan kerja sama dengan institusi-institusi islam yang memiliki tujuan yang sama di Mesir ini.

Mudah-mudahan setelah resminya FOSPI beralih status menjadi Pwk. Persis Mesir bisa melaksanakan amanah sesuai dengan tujuan dijalinnya hubungan stuktural dengan Persis, yaitu menjadi sarana untuk regenerasi dan kaderisasi yang benar-benar disadari oleh semua anggota serta menjadi duta Persis di wilayah Timur Tengah khususnya Mesir. Amin. [F]

The Fray - How To Save a Life

Music Code provided by Song2Play.Com