Catatan Kritikal terhadap Makna Keberagamaan Kita Oleh: Yadi Saeful Hidayat
Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang carut-marut, dilanda disintegrasi moral, justru pada saat yang sama, masyarakat Islam di seluruh dunia dihadapkan kembali kepada suatu agenda ritual yang bisa dijadikan momen untuk menilai ulang kembali makna beragama secara utuh dan menyeluruh. Tak lain, karena sampai saat ini, realitas yang sering kita temui pada masyarakat beragama hanya merupakan bias-bias dari kesalahan dan prilaku grasak-grusuk dalam mengartikan makna beragama. Karena itu, tak salah jika momen puasa ini menjadi proses untuk menyegarkan kembali nafas keberagamaan kita.
Kita sering tak sadar bahwa puasa banyak mengandung muatan-muatan agama yang banyak menyinggung pemahaman beragama umat Islam saat ini. Kita sering lupa dan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa puasa adalah ibadah yang hanya memiliki dimensi spiritual, puasa hanya milik Tuhan. Pemahaman ini berpijak kepada beberapa teks agama yang mengabarkan bahwa puasa adalah ritus agama yang hanya memiliki dimensi ketuhanan (ilâhiyyah). Secara emplisit, makna teologis puasa dinyatakan dalam sebuah hadits; dari sekian banyak amal ibadah anak Adam, ibadah puasalah yang segala rahasianya hanya Allah yang mengetahui (HR. al-Bukhâri). Dari konteks ini terlihat adanya aspek dualitas antara Allah sebagai Pencipta dengan makhluk Nya; antara Pemilik otoritas mutlak untuk memerintah dengan yang berkewajiban menaati. Namun, lebih dari itu, pada sisi yang lain puasa justru sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan (insâniyyah) yang terkandung di dalamnya. Ia tidak hanya bersentuhan dengan agama dari sisi vertikal saja, banyak aspek horizontal yang tersirat dalam aplikasinya. Puasa dengan para pelakunya bukan hanya memiliki kaitan habl min al-Allâh (hubungan dengan Allah), tetapi justru banyak menekankan kepada habl min al-nâs (hubungan dengan manusia yang lain).
Memang, pada tataran praksisnya ('amaliyyah), masyarakat Islam tidak sadar bahwa puasa justru lebih banyak mengandung dimensi-dimensi sosial. Ini karena sebagian besar masyarakat kita, termasuk orang-orang shalehnya, masih tetap mengartikan puasa sebagai satu ketetapan Tuhan yang dibebankan kepada umat beragama (Islam) demi mendapatkan sebuah gelar kelangitan yang tidak bisa diraih semua manusia; Ketakwaan (QS. 02;183). Melalui pemahaman seperti ini, masyarakat agama akhirnya hanya mengartikan puasa dari satu sisi saja. Karena itu, wajar jika sikap yang muncul dari umat Islam saat ini tak lebih dari usaha untuk memenuhi kebutuhan agama. Dengan puasa, agama hanya ditampilkan melalui simbol-simbolnya saja tanpa melirik lebih jauh nilai-nilai universal (syumûliyyah) yang terkandung dalam agama itu sendiri. Kita lihat bagaimana prilaku hipokrit para artis, terutama dalam memanipulasi agama demi sebuah kepentingan pribadi atau popuralitas.
Kita sering melihat suatu kejanggalan dari fenomena bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Misalnya, sebuah acara yang meriah yang berbentuk buka bersama para artis, golongan elite politik, dan pengusaha di satu hotel terkenal. Sementara di balik realitas itu, masih banyak orang miskin yang sangat membutuhkan bantuan. Ini contoh kecil bahwa banyak orang berpuasa tetapi secara subtansial tidak menunjukkan orang yang berpuasa. Di mana, pengumbaran hawa nafsu, konsumeris, hedonis, egois dan rakus masih sangat kental mewarnai penampilannya. Setiap tahunnya, dalam sebulan penuh, banyak diantara artis yang serampangan dalam memaknai bulan Ramadhan. Karenanya, berjilbab cukup dilakukan pada momen itu saja, memberi santunan kepada kaum papa cukup di bulan Ramadhan saja. Tak jelas apa tujuan mereka; popularitas, karir, atau mungkin demi menutupi dosa mereka. Namun pastinya, bagi mereka, Ramadhan menjadi begitu penting dan sangat menguntungkan karir, terlebih untuk menutupi sikap kamuflase mereka dalam beragama. Masuk akal jika Muhammad saw. dalam sabda sucinya mengritik prilaku orang-orang yang puasa, padahal mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja. Jika saja ini terus berlanjut, maka dimana makna puasa yang sesungguhnya (?). apakah puasa hanya sekedar ibadah rutinitas dan verbalistik (?). dimana dimensi sosiologis (kemanusiaan/insâniyyah) yang terkandung dalam puasa (?).
Satu hal yang perlu menjadi perhatian umat Islam saat ini adalah bahwa takwa sebagai puncak tujuan seluruh ibadah, tak terkecuali puasa, bukan merupakan sikap takut kepada Tuhan, sebab Tuhan dalam Islam bukan sesuatu yang menakutkan atau perlu ditakuti. Sebaliknya, citra Tuhan dalam Islam adalah Dia yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Pemberi Maaf, Pemelihara, dan Pelindung manusia. Dalam bahasa Fazlur Rahman, takwa adalah kekokohan dalam tensi-tensi moral (batas-batas yang telah ditentukan Tuhan). Dengan demikian, takwa adalah kesadaran akal budi bahwa Tuhan adalah sumber kenormativan.
Persoalan selanjutnya adalah, sebagai puncak klimaks kesadaran akal budi, pada tataran praksisnya takwa hanya akan memiliki makna dalam konteks sosial. Baik secara vertikal maupun horizontal, takwa mesti dimaknai sebagai prilaku dan semangat manusiawi dalam rangka menundukan diri terhadap segala perintah Allah swt. Dari sinilah implementasi ibadah puasa mendapat ruang signifikansinya. Artinya, dimensi ketuhanan (ilâhiyyah) yang menjadi spirit puasa harus bisa ditransformasikan ke dalam dimensi kemanusiaan (insâniyyah), agar bisa melahirkan sikap sosio-religius, baik secara etik maupun moral.
Agama, Puasa dan Misi Kemanusiaan
Menurut Prof. Dr. Abdul Fatah Mahmud Idris, dalam suatu bentuk pengabdian ('ibâdah), ada tiga hal yang mesti terkandung di dalamnya, yaitu spirit (niat), ritus ('amal) dan hikmah. Spirit bisa diartikan sebagai niat awal seseorang dalam menjalankan ibadah. Sedangkan ritus dapat dimaknai sebagai praktek dari ibadah itu sendiri. Adapun hikmah, ia merupakan implikasi nyata yang lahir dari kedua aspek sebelumnya. Tiga aspek di atas mesti terkumpul dalam sebuah bentuk ibadah guna menghindari keterjebakan umat Islam dalam memaknai puasa secara parsial. Puasa, sejatinya bisa memberikan implikasi nyata terhadap realitas sosial yang dihadapi masyarakat saat ini. Ia tidak hanya menjadi rahasia manusia dan Tuhannya, tetapi lebih kepada ritual yang banyak menyimpan pesan-pesan kemanusiaan.
Memang, realita yang menyejarah dan amat memilukan telah memberikan semangat kepada kita untuk menyikapi persoalan tersebut secara kritis. Perlu diakui, bahwa beragama secara ritual bisa dianggap selesai, setiap kali pemeluk agama tersebut sudah menerapkannya secara sempurna. Majlis Zikir, Muhasabah Tahunan, Itighâtsah dan seabreg kegiataan keagamaan lainnya yang dilakukan secara intens dan mendapat porsi yang cukup besar merupakan bukti bahwa animo masyarakat untuk beragama secara ritual memang semakin meningkat. Pada titik ini, keberagamaan mendapat ruangnya yang sanggat massif dan bisa dikatakan berhasil.
Namun beragama dalam arti bagian dari realitas kemanusiaan masih tetap menyisakan sejua persoalan yang mesti dijawab secara serius. Ini dibuktikan dengan realitas empirik yang menyedihkan ; kemiskinan, kebodohan, korupsi, imprealisme budaya dan beberapa problematika lainnya yang semakin menegaskan bahwa agama belum bisa mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Agama berada di sebuah sebuah sudut, sedangkan problem kemanusiaan di sudut yang lain. Agama tak mampu memberikan jalan keluar bagi kemelut dan krisis, sehingga agama kehilangan fungsinya.
Karenanya, pekerjaan berat yang harus dilakukan masyarakat beragama saat ini adalah mengkaji ulang doktrin-doktrin keagamaan sehingga agama tidak hanya dipandang sebagai manuskrip-manuskrip teologis an sich, tetapi lebih dipahami sebagai doktrin yang senantiasa progresif dan ofensif dalam menjawab problem kemanusiaan, sehingga agama tidak lagi kehilangan konteks dan substansinya.
Islam adalah agama yang membawa pembebasan dan keselamatan (HR. al-Bukhâri). Secara generic, ia merupakan agama pembawa misi kemanusiaan (rahmatan li al-'âlamîn). Islam hadir di muka bumi dalam rangka memberikan moralitas baru bagi transformasi sosial. Islam dikatakan sebagai sumber moral dikarenakan karakter (khashâish) Islam yang metafisik dan humanis. Islam tidak hanya membawa ajaran yang bercorak vertical, tetapi juga membawa ajaran yang menekankan aspek horizontal. Dalam bukunya, Al-Islam Huwa al-Hall, Dr. Muhammad 'Imarah menyebut Islam sebagai ajarah yang berasal dari Tuhan dan berdimensi kemanusiaan (al-Islam ilâhy al-mashdar wa insâniyyat al-maudhû). Atas dasar ini, Islam merupakan agama yang tidak hanya membawa wahyu ketuhanan, melainkan juga sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Saat ini, kita perlu memberikan perhatian penuh terhadap persoalan kemanusiaan yang terkandung dalam ibadah puasa.. Jika selama ini puasa hanya diterjemahkan melalui ritual-ritual yang berhubungan dengan persoalan langit (teosentrisme), maka perlu ada gagasan baru dengan mengalihkan perhatian masyarakat agama kepada persoalan kemanusiaan (antroposentrisme). Ini penting, agar puasa tidak hanya dipandang sebagai ajaran agama yang memiliki hubungan vertical, tetapi lebih dari itu, puasa adalah ritual agama yang sejatinya mampu menjawab segala persoalan-persoalan horizontal. Semoga (!).